Dekarbonisasi Sistem Energi Perlu Mempertimbangkan Secara Matang Pilihan Teknologi Rendah Karbonnya

Jakarta, 21 September 2021 – Percepatan dekarbonisasi mendalam di sektor energi penting dilakukan untuk mencapai netral karbon tahun 2060 atau lebih cepat, seperti yang pemerintah targetkan. Berbagai pilihan teknologi rendah karbon dapat menjadi opsi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di antaranya energi terbarukan, Carbon Capture and Storage/ Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), bahkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun pemerintah perlu mempertimbangkannya secara matang sebab masing-masing teknologi mempunyai karakter dan tingkat risiko yang berbeda.

Ditinjau dari segi perkembangannya di dunia, Mycle Schneider, seorang analis independen kebijakan dan energi nuklir, dalam paparannya mengatakan bahwa perkembangan PLTN stagnan dalam sepuluh tahun terakhir, berbanding jauh dengan energi terbarukan yang justru meningkat pesat. Ia mencontohkan bahwa di Prancis, bauran listrik dari nuklir mencapai rekor terendahnya pada tahun 2020 selama 30 tahun terakhir. Adanya opsi pembangkitan energi terbarukan yang lebih murah menjadi penyebabnya.

“Berinvestasi pada PLTN bahkan dapat menggagalkan tercapainya target perubahan iklim karena seharusnya pendanaan yang ada dialokasikan kepada opsi teknologi yang sudah tersedia, murah, dan dapat diimplementasikan dengan cepat,”jelas Schneider pada hari kedua Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (21/09/2021).

Senada dengan Schneider, Craig Morris, Konsultan Independen Transisi Energi mengatakan bahwa sulit untuk memprediksi harga listrik dari PLTN mengingat PLTN tidak terlalu merespon harga pasar.

“Jika kita kembali ke tahun 2000 dan memproyeksikan pengembangan energi di tahun 2050, maka kita sudah berada di tahun 2050 dengan mengandalkan energi terbarukan dan penyimpanan energi. Namun kita memutuskan untuk menggunakan nuklir dan CCS, maka kita akan kembali ke tahun 2000,” tutur Morris.

Selain itu, penggunaan teknologi CCS//CCUS menjadi salah satu strategi global untuk menekan emisi karbon. Samantha McCulloch, Head of Carbon Capture Utilization and Storage Technology, International Energy Agency mengatakan CCS/CCUS dapat menjadi salah satu solusi di Asia Tenggara untuk memperbaiki infrastruktur energi yang ada di kawasan. Meskipun demikian, energi terbarukan akan menjadi pilihan utama dalam melakukan dekarbonisasi dalam waktu dekat. Sementara pengembangan CCS/CCUS akan berperan untuk menghindari penguncian (lock in) emisi akibat infrastruktur yang baru dibangun dan memungkinkan opsi mitigasi emisi di masa depan.

Peluang lain untuk CCUS di wilayah ASEAN adalah seputar produksi hidrogen rendah karbon dari gas dan CCUS. Saat ini, opsi tersebut dapat lebih murah dibandingkan produksi hidrogen menggunakan elektrolisis air di lokasi produksi gas alam yang bisa menjadi storage karbon di saat yang bersamaan. Keekonomian opsi ini perlu tetap memperhatikan potensi produksi hidrogen menggunakan elektrolisis yang juga diekspektasikan mengalami penurunan harga signifikan dalam beberapa tahun kedepan

Mempunyai pandangan yang serupa dengan Samantha, Rachmat Sule, Dosen Senior Fakultas Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB) memandang pengembangan CCUS dapat membantu penurunan emisi, seperti pada PLTU batubara yang berdekatan dengan lapangan migas. Namun ada keterbatasan dalam pengembangannya, agar bisa lebih ekonomis maka selayaknya lokasi sumber emisi (source) dan lokasi tampungan (sink) mesti berdekatan. Selain itu, perlu penerapan strategi lainnya seperti hub clustering atau menggunakan infrastruktur dukungan CCUS seperti pipa gas bersama-sama untuk menekan biaya CAPEX.

Di kesempatan yang berbeda, Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi, IESR mendorong untuk lebih memprioritaskan teknologi energi terbarukan untuk melakukan dekarbonisasi mendalam di sektor energi.

“Upaya dekarbonisasi sektor energi perlu terjadi dengan cepat dan dimulai sekarang juga agar sesuai dengan Persetujuan Paris. Di Indonesia sendiri, teknologi rendah karbon yang sudah siap secara komersial dan cepat dibangun adalah energi terbarukan, sedangkan teknologi yang lain seperti PLTN dan CCS masih dalam tahap pengembangan dan pilot. Waktu yang kita punya tidak banyak untuk memitigasi krisis iklim ini,” tegasnya.

Menyikapi ragam teknologi rendah karbon dalam kerangka energi baru dan terbarukan, Zaki Su’ud dari Fakultas Matematika dan Sains Institut Teknologi Bandung (ITB) merekomendasikan beberapa kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendukung tercapainya target dekarbonisasi Indonesia pada 2060 atau lebih cepat. Pertama, semua sumber daya energi harus dimanfaatkan secara optimal dengan mengutamakan kualitas.dan keamanan energi di Indonesia. Kedua, kebijakan bauran energi harus dilaksanakan dan dievaluasi dengan baik terhadap ketersediaan energi yang handal, murah, berkelanjutan, dan harus mematuhi isu lingkungan global khususnya perubahan iklim. Ketiga, pemerintah perlu mengalokasikan dana penelitian terkait EBT yang cukup serta mengintegrasikan secara optimal seluruh elemen potensial EBT Indonesia.

“Energi baru terbarukan masih terus berkembang dan membutuhkan kebijakan yang tepat dan konsisten dari pemerintah supaya bisa mendukung keamanan energi nasional dan tercapainya target dekarbonisasi Indonesia,” jelas Zaki pada IETD 2021.

IETD 2021 berlangsung selama lima hari, dari 20-24 September. Acara ini bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman. Info lebih lanjut dapat diakses di ietd.info.

Memasuki Masa Energi Terbarukan, Paket Kebijakan Pendukung Perlu Disusun Segera

Jakarta, 21 September 2021– Mencapai target netral karbon Indonesia di tahun 2060 atau lebih cepat, seperti yang pemerintah Indonesia targetkan, perlu kebijakan dan strategi yang jelas, termasuk di sektor energi sebagai salah satu sektor penghasil emisi terbesar di Indonesia. Paket kebijakan dekarbonisasi sektor energi tersebut sedang dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan transisi energi  yang berjalan secara mulus dan berkeadilan.

Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN Bappenas, menuturkan bahwa terdapat beberapa strategi  yang  Bappenas siapkan untuk merealisasikan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, di antaranya pengembangan energi berkelanjutan, pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular, dan pengembangan industri hijau. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ada tiga hal penting dalam mewujudkan transisi energi yakni komitmen politik (political will), basis hukum yang kuat, dan strategi yang komprehensif.

“Komitmen politik sudah didapatkan, strategi yang baik sudah dituangkan yang terdapat pada RPJMN untuk bertransformasi menuju energi hijau, sementara basis hukum yang kuat sudah disiapkan melalui RUU EBT,” ungkap Arifin pada hari kedua Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (21/09/2021). 

Menanggapi hal tersebut Sugeng Suparwoto,  Ketua Komisi VII DPR RI menjanjikan bahwa RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) akan disahkan pada tahun 2021.

“Masa energi terbarukan sudah menjadi suatu keharusan. Dalam RUU EBT ada semacam insentif pengembangan EBT dan disinsentif bagi pengembangan energi yang masih menyumbang karbon terbesar,” jelasnya .

Herman Darnel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional mewanti wanti agar implementasi dekarbonisasi sistem energi perlu pula memitigasi risiko ekonomi, serta menjaga ketahanan energi nasional, khususnya untuk menjaga harga energi tetap terjangkau. Selain itu menciptakan level playing field antara energi terbarukan dan energi fosil juga diperlukan, diantaranya dengan memanfaatkan instrumen pajak karbon.

Menyinggung pendanaan yang diperlukan untuk mewujudkan netral karbon dengan energi terbarukan yang cenderung tinggi, Febrio N. Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Republik Indonesia membandingkan bahwa setidaknya butuh Rp 3500 triliun untuk mencapai target NDC di tahun 2030. 

“APBN kita hanya 40% dari kebutuhan itu maka jelas ini harus melibatkan pemda, swasta, dan dukungan internasional,” ujarnya.

Mengatasi hal tersebut, Febrio mengungkapkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan instrumen keuangan green sukuk (Green Bond) dengan bunga rendah yang direspon baik oleh pasar global. Kementerian Keuangan pun saat ini juga sedang melakukan harmonisasi perpajakan agar selaras dengan prinsip pengurangan emisi karbon. 

“Jadi kita butuh mekanisme pasar karbon untuk menghubungkan sektor yang belum net zero emission dengan yang sudah net zero emission,” kata Febrio.

Febrio menambahkan, jika mekanisme pasar karbon di Indonesia sudah terbentuk, maka sinyal pajak karbon untuk aktor batubara juga makin kuat. Dengan begitu, Indonesia akan dilirik oleh pasar energi baru global. Hal ini tentu akan membantu proses pendanaan proyek energi terbarukan di Indonesia, sehingga bisa mempercepat pencapaian target dekarbonisasi Indonesia.

Dewa Putu Ekayana, Analis Kebijakan, Kementerian Keuangan Indonesia menyatakan bahwa Indonesia saat ini sudah hampir final untuk rancangan peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon (NEK).

“Aspek fiskal dari NEK bukan sebagai pajak karbon tapi pungutan atas karbon. Perluasan makna tersebut diharapkan tidak hanya mencakup pajak tapi juga instrumen lain. Pertimbangan berikutnya adalah keseimbangan keuangan pemerintah pusat dan sub-nasional. Usul kami dari Kementerian Keuangan bagaimana nantinya financing mechanism tersebut dibayar dengan kredit karbon (carbon credit) atau sertifikat karbon (carbon certificate),” jelas Dewa.

Dalam kesempatan terpisah, menanggapi kebijakan nilai ekonomi karbon, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menuturkan bahwa pemerintah perlu menetapkan target penurunan emisi dan menentukan target di masing-masing sektor, serta mengkaji nilai atau  harga karbon efektif yang dapat mendukung pencapaian target tersebut.

“Harga karbon harus dihubungkan dengan target penurunan emisi dan harus mendorong pelaku ekonomi mengubah pilihan teknologi. Jika harga karbon terlalu rendah, dikuatirkan tidak memberikan sinyal yang memadai untuk mendorong upaya penurunan emisi yang substansial,” jelas Fabby.

Menyangkut pelaksanaan pajak karbon, menurutnya pemerintah perlu secara terbuka menyampaikan pentingnya instrumen pajak karbon untuk menahan pertumbuhan emisi karbon, menetapkan mekanisme dan instrumennya, serta sektor-sektor ekonomi yang akan terkena dampak dari penerapan pajak karbon.

IETD 2021 yang berlangsung selama lima hari, dari 20-24 September. Acara ini bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman.  Info lebih lanjut dapat diakses di ietd.info.