Tantangan di Tengah Kian Maraknya Investasi di Energi Terbarukan

Jakarta, 22 September 2021 – Listrik diproyeksikan menjadi sumber energi dominan pada sistem energi masa depan karena adanya kendaraan listrik dan elektrifikasi sektor industri.  Untuk itu, perlu dipastikan agar sumber energi dalam elektrifikasi sektor tersebut berasal dari energi yang ramah lingkungan. Namun pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih menjumpai berbagai tantangan baik dari sisi teknis, maupun dari segi regulasi, ekonomi, sosial dan lingkungan. 

Hal tersebut dipaparkan oleh Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR), Handriyanti Diah Puspitarini dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 hari ketiga, Rabu (22/09/2021). Yanti mengatakan dari sisi regulasi, Indonesia belum memiliki peraturan komprehensif yang mendukung pembangunan energi terbarukan secara penuh. 

“Peraturan belum secara komprehensif mengatur tarif, insentif, subsidi, dan pengurangan risiko yang berhubungan dengan segala aktivitas pengembangan energi baru terbarukan. Beberapa peraturan terkait, seperti tarif, sedang disiapkan tapi belum diluncurkan,” kata Yanti dalam acara yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan IESR tersebut.

Selain itu, dari sisi investasi, Yanti kemudian memaparkan tantangan lainnya, yaitu kurangnya ketersediaan pendanaan dari institusi keuangan lokal dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable atau memenuhi persyaratan bank untuk mendapatkan kredit usaha.

Menurut Yanti, untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan dukungan regulasi yang jelas terlebih dahulu. Selain itu, masyarakat juga perlu ditingkatkan kesadarannya untuk mendukung potensi energi terbarukan. 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan dalam kajian ESDM dipaparkan bahwa solusi terkait teknis bisa ditemukan selama teknologi energi baru Indonesia ekonomis. 

“Karena kita punya teknologi dan sumber daya untuk menyerap emisi, kita dapat memaksimalkan apa yang kita miliki untuk menekan emisi,” ujar Dadan.

Selanjutnya, Dadan mengungkapkan pula berkaitan dengan pendanaan proyek, saat ini justru banyak investor sudah mengantri untuk berinvestasi di energi terbarukan. Agar pembiayaan berjalan efektif, menurut Dadan saat ini pemerintah masih perlu membuat prioritas tentang jenis energi terbarukan yang akan dikembangkan. 

“Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (hijau-red) yang sudah ditandatangani tersebut, kita akan memberikan fokus lebih luas terhadap PLTS. Sementara untuk proyek yang sudah ada seperti proyek panas bumi akan terus diekspansi, demikian juga untuk PLTA,” jelasnya.

Senada dengan Dadan, CEO Pertamina Power Indonesia, Dannif Danusaputro membenarkan bahwa saat ini banyak pihak yang ingin berinvestasi dalam proyek EBT di Indonesia. Sebab, dukungan pendanaan dari investor makin terbatas untuk berinvestasi di proyek energi fosil dengan semakin menguatkan komitmen iklim banyak negara di dunia.

“Masalahnya mereka mencari proyek yang sizenya cukup besar, dan kita belum terlalu banyak proyek dengan ukuran besar, katakanlah di atas 50 MW. Proyek yang di atas itu yang perlu dikembangkan agar bankable,” kata Dannif. 

Ulrike Lehr, Kepala Sosial Ekonomi dan Kebijakan, IRENA, menyoroti rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan lebih tinggi di tahun 2050 jika mendorong pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon. Permasalahan sosial yang mungkin muncul terkait hilangnya pekerjaan di industri tambang fosil dan bahan bakar fosil dapat dikompensasi dengan mudah dengan terbukanya lapangan pekerjaan di industri lainnya yang akan tumbuh lebih cepat. 

“Tentu membutuhkan seperangkat kebijakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, mengintegrasikan regulasi dalam sistem jaringan, perubahan yang struktural, dan kebijakan transisi energi yang berkeadilan, serta menjaring dukungan dan penerimaan penuh dari masyarakat luas terhadap energi terbarukan,” tutur Ulrike.

Kebijakan Pensiun PLTU Batubara Penting Untuk Akselerasi Dekarbonisasi Sistem Energi Indonesia

Jakarta, 22 September 2021 – Sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia yakni sebesar 32% selama 20 tahun, dekarbonisasi sektor energi secara menyeluruh penting untuk mencapai target bebas emisi sejalan dengan Persetujuan Paris. Sektor pembangkit listrik terutama PLTU batubara merupakan sumber emisi terbesar sektor energi, sehingga perlu penerapan kebijakan yang tepat terhadap PLTU batubara.

Berdasarkan analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), terdapat dua kebijakan untuk menekan emisi dari PLTU batubara agar sesuai dengan Persetujuan Paris yakni melakukan moratorium PLTU dan mempensiunkan  PLTU  dari umur pakainya yang biasanya 30 tahun menjadi 20 tahun. Hal ini disampaikan oleh Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam pemaparannya di Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR).

Deon mengemukakan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut perlu peta jalan yang optimal untuk menekan biaya dan dampak yang timbul serendah-rendahnya. Menurutnya hal tersebut dapat bersandar pada data dan analisis yang mendalam dilakukan untuk setiap unit PLTU di Indonesia.

“Yang perlu dianalisis adalah umur PLTU karena terkait kontrak, efisiensi terkait emisi, biaya operasi dibandingkan dengan biaya untuk mempensiunkan PLTU, kesiapan perencanaan sistem ketenagalistrikan, dan aspek non-teknis seperti lapangan pekerjaan, polusi & kemampuan SDM,” urai Deon.

Lebih lanjut, dalam menyusun peta jalan untuk mempensiunkan PLTU batubara, Deon menuturkan ada banyak strategi yang bisa dipertimbangkan, diantaranya melakukan pengalihan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, melakukan peralihan tujuan (repurposing) dan memodifikasi (retrofitting) PLTU.

“Saat ini secara ekonomi, pembangkit energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan PLTU batubara. Bila kebijakan ini tidak segera dilakukan, PLN diproyeksikan menjadi perusahaan dengan aset terbesar kedua yang punya kemungkinan stranded asset sampai USD 15 miliar,” tambah Deon.

PLN, melalui Herry Nugraha, Kepala Pusat Keunggulan, mengatakan bahwa pihaknya merespon RUPTL dan menyiapkan peta jalan dekarbonisasi dengan melakukan berbagai kajian dan menganalisa data PLTU batubara di Indonesia.

“Kami secara rutin mencatat berapa kapasitas, kapan retirement (pensiun), performa dari tiap-tiap PLTU, keandalan, produksi CO2 dari masing-masing unit dihitung setiap tahunnya untuk menjadi bahan evaluasi,” urai Herry.

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar menjelaskan bahwa dalam Energy Transition Mechanism (ETM) telah termuat mekanisme mengganti kapasitas PLTU yang akan dihentikan dengan energi baru terbarukan.

“Tentu saja perlu dilakukan studi, bekerja sama dengan Asian Development Bank. Kami juga sudah melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan di industri batubara terkait mekanisme tersebut,” ungkapnya.

Architrandi Priambodo, Energi Senior Spesialis, Asian Development Bank (ADB) mengakui pihaknya tengah mengembangkan ETM yang memastikan aspek transisi energi yang berkeadilan (just energy transition).

“Pada akhirnya, yang menerima dan menikmati listrik adalah komunitas (masyarakat-red). sehingga kita memastikan bahwa pensiun PLTU batubara tidak berdampak buruk terhadap pekerja, lingkungan dan menyokong aspek sosial, termasuk inklusivitas,” tandas Chitra.

Roy Torbert, principal dari Rocky Mountain Institute, menambahkan bahwa dana yang didapat dari proses refinancing bisa dimanfaatkan untuk investasi ke energi terbarukan dan membantu masyarakat yang terdampak, misalnya pekerja untuk bertransisi ke pekerjaan baru. 

Meninggalkan PLTU batubara berarti membutuhkan inovasi teknologi energi terbarukan yang akan menggantikannya. Muhamad Reza, Ahli Teknik, Pengembangan Bisnis & Manajer Lini Bisnis Sistem Energi, Tractebel Engineering Indonesia mengemukakan bahwa saat variable renewable energy (VRE) masuk dalam sistem, bukan hanya beban yang fluktuatif namun dari sisi pembangkitan juga akan sedikit fluktuatif. 

“Antisipasinya, kita harus mencari teknologi yang dapat mencukupi kebutuhan itu, dan perlu memastikan kelayakan teknis dan nilai ekonomisnya,” ujar Reza. Menurutnya, teknologi penyimpanan energi atau baterai akan sangat menolong permasalahan tersebut. 

Menyoal kesiapan PLN, Djoko Prasetijo, Wakil Ketua Conseil International des Grands Réseaux Électriques (CIGRE) Indonesia menyatakan bahwa PLN tidak perlu merasa khawatir untuk mengatasi masuknya VRE. 

“Sebetulnya teman-teman di PLN sudah biasa berhadapan dengan variabilitas contohnya permintaan dari pagi sampai malam juga beda. Kalau misalnya ada masuk sekian ribu MW (PLTS -red) di Jawa, grid (jaringan) kita mestinya cukup akomodatif untuk bisa meng-handle 3.000 – 4.000 MW sepanjang Solar PV  (PLTS)  itu tersebar secara geografis,” tutupnya.

Acara IETD 2021 bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman.  Info lebih lanjut dapat diakses di ietd.info.

Kontan | Investasi pembangkit tenaga nuklir dapat gagalkan tercapainya target perubahan iklim

Berbagai pilihan teknologi rendah karbon dapat menjadi opsi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) diantaranya energi terbarukan, Carbon Capture and Storage/ Carbon Capture, Utilization, and Storage. Namun, pemerintah perlu mempertimbangkannya secara matang sebab masing-masing teknologi mempunyai karakter dan tingkat resiko yang berbeda. Namun ditinjau dari sisi perkembangannya di dunia, PLTN stagnan dalam sepuluh tahun terakhir. Apabila dana berfokus kepada PLTN maka dana untuk CCS atau mengatasi karbon dari PLTU akan berkurang dan tidak mengurangi emisi karbon yang diemisikan oleh PLTU itu sendiri

Baca selengkapnya di Kontan

Kompas | Pajak Karbon Penting untuk Menekan Pertumbuhan Emisi Gas Rumah Kaca

Fabby, Direktur Eksekutif IESR, menuturkan pemerintah perlu menetapkan target penurunan emisi dan mengkaji nilai atau harga karbon efektif yang dapat mendukung pencapaian target. Aspek penting lainnya dalam transisi energi yang perlu diperhatikan adalah politik, basis hukum yang kuat, dan strategi yang komprehensif. Ditengah penyempurnaan regulasi mengenai transisi energi, Darnel Ibrahim, Dewan Energi Nasional mewanti-wanti agar implementasi dekarbonisasi perlu pula memitigasi risiko ekonomi dan menjaga ketahanan energi nasional.

Baca selengkapnya di Kompas

Antara | IESR: Kebijakan pensiunkan PLTU batu bara untuk dukung dekarbonisasi

Dekarbonisasi sektor energi secara menyeluruh penting untuk mencapai target bebas emisi sejalan dengan Persetujuan Paris. Salah satu sumber emisi terbesar adalah dari sektor pembangkit listrik terutama PLTU batubara. Menurut kajian IESR, terdapat dua kebijakan untuk menakan emisi dari PLTU batubara agar sesuai dengan persetujuan Paris yakni melakukan moratorium PLTU dan memensiunkan PLTU dari umur pakainya yang biasanya 30 tahun menjadi 20 tahun. Ada banyak strategi yang bisa dipertimbangkan seperti melakukan pengalihan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, melakukan peralihan tujuan (repurposing) dan memodifikasi (retrofitting) PLTU

Baca selengkapnya di Antara