10 Rekomendasi IETD 2021 untuk Capai Target Dekarbonisasi Indonesia

Jakarta, 24 September 2021 – Mendorong upaya pencapaian target dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) merangkum 10 rekomendasi kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan mengacu pada dinamika diskusi selama lima hari penyelenggaraan the 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), Senin-Jumat, (20-24/09/2021).

Pertama, pembentukan perundangan yang kuat sebagai wujud dukungan politis Indonesia untuk mendorong dekarbonisasi dan pengembangan teknologi rendah karbon. 

“Kalau kita lihat hari ini beberapa kebijakan yang berkorelasi dengan upaya dekarbonisasi belum memadai. Kalau kita lihat KEN dan RUEN pada 2050 masih cukup besar porsi energi fosil, energi terbarukan masih rendah, maka target ini perlu diubah,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam penyampaian 10 rekomendasi tersebut di IETD 2021.

Fabby mengatakan proses dekarbonisasi energi akan memakan waktu setidaknya tiga dekade mendatang. Oleh karena itu, dekarbonisasi perlu didukung oleh kepastian kebijakan jangka panjang yang konsisten dan tidak berubah arah. 

Kedua, penetapan kebijakan yang menciptakan kesetaraan (level playing field) antara energi terbarukan dan fosil. Sebab, keekonomian energi terbarukan sudah dapat bersaing dengan energi fosil. 

“Energi surya dan angin bisa bersaing dengan energi fosil. Tapi masih ada kebijakan eksisting yang membuat energi fosil dikesankan murah atau rendah, oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan untuk mencabut subsidi energi fosil,” kata Fabby. 

Dengan mencabut subsidi pada energi fosil atau menetapkan harga karbon yang tepat untuk mendorong keekonomian energi terbarukan, akselerasi dekarbonisasi dengan pengembangan energi terbarukan dapat terjadi.

Ketiga, pembuatan rencana energi nasional dengan basis penurunan emisi karbon dan mempertimbangkan potensi pengembangan teknologi rendah karbon yang ada. Fabby mengatakan telah ada beberapa rencana pemanfaatan teknologi. Akan tetapi rencana itu perlu memperhatikan kecepatan inovasi pada masing-masing teknologi rendah karbon di dunia.

“Selain itu perlu juga diperhatikan bagaimana harga teknologi rendah karbon ini hingga 2050 mendatang. Oleh karena itu kebijakan energi khususnya yang berkaitan dengan harga harus mempertimbangkan jangka panjang. Apa yang murah hari ini, karena ada distorsi pasar, bisa saja kedepannya mahal,” kata Fabby. 

Keempat, penetapan rencana pensiun PLTU optimal berdasarkan analisis data pada tiap unit PLTU. Analisis tersebut dapat digunakan untuk menentukan beberapa strategi dan waktu pelaksanaan yang tepat diterapkan untuk tiap unit PLTU. 

“Kemudian kita juga harus memikirkan seberapa besar kapasitas yang ditinggalkan dan harus kita isi ketika PLTU pensiun,” kata Fabby. 

Strategi yang dapat diterapkan untuk masalah tersebut diantaranya adalah pendanaan ulang untuk mempercepat waktu pensiun PLTU, modifikasi (retrofitting) PLTU, serta mengalihkan pendanaan dan investasi dari energi termal ke energi terbarukan.

Kelima, peningkatan bankability proyek energi terbarukan dengan memperbesar skala proyek dan dukungan regulasi yang komprehensif. Sebab, pengembangan energi terbarukan dalam skala besar telah terbukti dapat mendorong harga energi terbarukan yang sangat kompetitif. 

Keenam, peningkatan adopsi kendaraan listrik dengan membangun ekosistem kendaraan listrik. Fabby melanjutkan bahwa ada kombinasi dari beberapa kebijakan diperlukan untuk mengakselerasi penetrasi kendaraan listrik. Diantaranya adalah penetapan disinsentif terhadap pemakaian bahan bakar fosil seperti pelarangan pemakaian kendaraan fosil dan penetapan standar efisiensi bahan bakar kendaraan fossil. 

Ketujuh, penentuan peran bahan bakar bersih menuju 2050 dalam dekarbonisasi menyeluruh sistem transportasi. Sebab, kendaraan listrik sudah mutlak akan mendominasi dalam sektor kendaraan penumpang (passenger vehicle). 

“Tetapi peran bahan bakar bersih juga perlu dipersiapkan untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi yang tidak dapat digantikan dengan kendaraan listrik,” tandas Fabby.

Kedelapan, Indonesia perlu membuat dukungan kebijakan yang terintegrasi dari berbagai pihak. Selain itu, Indonesia butuh kolaborasi dari berbagai pihak untuk mendorong iklim investasi terhadap energi terbarukan. 

“Dalam jangka pendek ini hingga 2025 perlu ada upaya untuk memperbaiki iklim investasi dan mendorong deployment energi terbarukan. Saat ini sudah ada banyak sumber pendanaan nasional dan internasional yang siap untuk mendukung itu. Akan tetapi, Indonesia kini hanya menunggu komitmen pemerintah terhadap target energi terbarukan melalui kebijakan pemerintah,” kata Fabby. 

Kesembilan, pemerintah perlu melakukan pengembangan industri rendah karbon sebagai industri prioritas nasional. Sebab, potensi industri rendah karbon Indonesia yang sudah teridentifikasi perlu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Misalnya, industri baterai, industri kendaraan listrik dan industri bahan bakar bersih. 

“Pengembangan industri itu perlu diselaraskan dengan rencana riset dan pengembangan teknologi dalam negeri. Selain itu, komersialisasi dan peningkatan skala proyek teknologi domestik untuk meningkatkan demand dari teknologi. Lalu perlu diprioritaskan sehingga memaksimalkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan,” jelas Fabby.

Kesepuluh, pemerintah perlu melakukan penyiapan tenaga kerja lokal untuk industri rendah karbon masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung industri dalam negeri dan memaksimalkan dampak positif sosial ekonomi dari potensi pengembangan industri teknologi rendah karbon di Indonesia.

“Industri teknologi rendah karbon yang dimaksud adalah manufaktur panel surya, manufaktur baterai, dan produksi hidrogen. Selain itu, dibutuhkan pelatihan dan penyiapan tenaga kerja yang antisipatif dan selaras dengan perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun,” tutup Fabby.

Acara IETD 2021 berlangsung selama 5 hari yang memuat 13 sesi utama dan beberapa sesi tambahan. IETD 2021 melibatkan  lebih dari 80 pembicara dan panelis terkemuka internasional dan nasional, serta partisipasi lebih dari 1500 pengguna dari seluruh dunia.

Pembiayaan Energi Terbarukan Butuh Dukungan Kebijakan Nyata Pemerintah

Jakarta, 24 September 2021 – Dunia tengah bergerak dalam percepatan transisi energi menuju energi bersih untuk mengejar target Persetujuan Paris dalam mencegah naiknya suhu rata-rata bumi melebihi 1,5 derajat Celcius. Pembiayaan energi terbarukan di Indonesia makin terbuka luas seiring meningkatnya komitmen negara maju membantu transisi energi terbarukan di negara berkembang. Pembiayaan tersebut membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang dapat meminimalisir risiko pendanaan dan meningkatkan minat investasi ke energi terbarukan.

Hal tersebut dikatakan oleh Deni Gumilang selaku penasehat Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dalam Indonesia Energi Transition Dialogue (IETD) 2021 hari kelima, Jumat (24/09/2021). 

Deni mengatakan, saat ini sudah tersedia berbagai macam instrumen de-risking (pengurangan risiko) pendanaan energi terbarukan untuk Indonesia, diantaranya penyediaan jaminan, green bond (sukuk hijau), dan pinjaman lunak (concessional debt). Namun, menurut Deni instrumen derisking ini perlu didukung dengan kebijakan dan regulasi yang dapat mengurangi risiko investasi energi terbarukan, diantaranya dengan penetapan target energi terbarukan yang jelas.

“Selama ini masih ada banyak perbedaan target penurunan emisi di dalam pemerintah. Jika ada konsistensi dalam target, maka kerjasama antar seluruh pemangku kebijakan akan  lebih mudah dijalankan,” imbuh Deni.

Selanjutnya, Deni menjabarkan bahwa Indonesia perlu memperhatikan dukungan teknis pembangunan energi terbarukan yang terintegrasi, menciptakan iklim perizinan yang mendukung proyek skala kecil, dan meningkatkan kredibilitas proyek energi terbarukan agar bisa bankable dalam memperoleh pendanaan. 

Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT SMI, Edwin Syahruzad, mengatakan PT SMI sudah menyediakan proyek derisking dengan pemberian dukungan teknis. Hal itu memudahkan pengembang untuk mengakses teknologi dan pembiayaan suatu proyek energi terbarukan. 

Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Faisal Basri menyampaikan, energi terbarukan dibutuhkan untuk mendorong perkembangan ekonomi Indonesia. Sebab, apabila tidak segera dilakukan dekarbonisasi, Indonesia diprediksi mengalami defisit energi yang cukup besar.

“Kalau kita tidak segera melakukan dekarbonisasi maka tahun 2040 kita akan defisit energi sebesar USD 80 miliar. Karena kita lebih banyak mengimpor daripada ekspor energi. Itu terjadi karena kebutuhan kita akan naik luar biasa. Oleh karena itu kita butuh rencana jangka panjang makro ekonomi dengan cara dekarbonisasi lebih cepat,” kata Faisal. 

Namun menurut Faisal, pada kenyataannya selama ini kebijakan pemerintah belum berpihak pada energi terbarukan. Hal tersebut tercermin dari APBN yang masih memberi subsidi ratusan triliun untuk energi fosil. 

Faisal berpendapat pemerintah perlu mengedepankan kebijakan yang nyata untuk mendukung riset energi terbarukan dan memastikan perkembangan industri energi terbarukan agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen saja.

Mendukung pernyataan Faisal, Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR mengungkapkan bahwa sinergitas pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi penting untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.

“Ada beberapa kesempatan (opportunities) yang dapat dikembangkan seperti melalui pengembangan kendaraan listrik, melakukan efisiensi energi, menciptakan industri hijau sehingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja hijau,” tandas Lisa.

Arunabha Ghosh, Founder dan CEO, Council on Energy, Environment, and Water (CEEW) menambahkan pentingnya menyelaraskan pengembangan sumber daya manusia agar bisa segera memenuhi lapangan pekerjaan hijau (green jobs) yang akan tercipta seiring dengan transformasi energi dan ekonomi negara.

“Di India, kita mempunyai dewan keterampilan (skill council) untuk pekerjaan hijau yang dibentuk untuk mendorong tenaga kerja di energi terbarukan. Di dalam dewan keterampilan tersebut, terdapat berbagai program untuk melatih puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang, tidak harus lulusan universitas ternama,” urainya.