COP 26, Indonesia Tidak Punya Terobosan Aksi Iklim yang Ambisius

Jakarta, 3 November. Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26 tidak mengeluarkan pernyataan tegas  tentang peningkatan ambisi iklim Indonesia. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa pemerintah Indonesia seharusnya memanfaatkan kesempatan ini  dalam memimpin negara G20 untuk mendorong aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris. Namun pada pidatonya di  COP 26, Presiden Jokowi seolah menyerahkan tanggung jawab pada negara maju untuk menentukan tercapainya kondisi netral karbon di Indonesia lebih cepat. Hal ini secara langsung menunjukkan sikap yang kurang ambisius dari pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan krisis iklim. 

“Indonesia seharusnya menyampaikan ambisi iklimnya secara lugas, peningkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) dan menyampaikan kebutuhan pendanaan dari negara-negara maju untuk mencapai emisi puncak sebelum 2030 dan dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal. Sayangnya Presiden tidak secara jelas menyatakan target dan rencana aksi mitigasi yang lebih ambisius dalam pidatonya,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, yang saat ini juga sedang berada di Glasgow menghadiri perhelatan COP 26.

Berdasarkan laporan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021, dengan tidak memutakhirkan target NDC pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia lebih besar dari 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) justru akan berkontribusi pada peningkatan emisi (selain emisi dari penggunaan lahan) hingga 535% di atas level tahun 1990, atau sekitar 1.817 MtCO2e pada tahun 2030. Sementara, agar tetap di bawah batas suhu 1,5˚C, emisi Indonesia tahun 2030 harus sekitar 461 MtCO2e (atau 61% di atas level tahun 1990). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan ambisi sebesar 1.168 MtCO2e. 

“Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam dan mineral yang cukup besar, seperti misalnya nikel, Indonesia sebenarnya mampu untuk menaikkan ambisi iklimnya melebihi target 29% pada 2030. Selain itu, jika Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar telah menerapkan konservasi dan efisiensi energi sejak dini maka tanpa kebutuhan pendanaan yang bergantung dengan negara maju, Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon lebih besar dari target yang ada di NDC,” jelas Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Selain itu, IESR mengamati bahwa rencana Indonesia, yang diutarakan oleh Jokowi pada kesempatan yang sama, untuk bertransisi energi menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit. Jokowi mengemukakan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara, namun hingga kini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap masih tertahan di Kementerian Keuangan. Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) yang dinantikan sejak awal tahun 2021, belum juga rampung.

“Seharusnya, pemerintah Indonesia secara beriringan menerbitkan segera regulasi yang tepat untuk menciptakan ekosistem pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, juga mendorong masuknya investasi negara maju. Regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan,” tambah Lisa.

Tidak hanya itu, dalam pidatonya Jokowi juga menekankan pentingnya peranan pasar karbon dan harga karbon dalam menuntaskan persoalan iklim. Bulan Oktober ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon bertarif  Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas emisi (cap and tax)  yang ditetapkan. 

“Penetapan harga pajak karbon di angka Rp30 per kg (USD 2 per ton) masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran  USD 35-100t/CO2e. Bahkan laporan IPCC memaparkan bahwa tarif pajak karbon di tahun 2020 berada di kisaran US$ 40-80/tCO2. Dengan kecilnya tarif pajak karbon maka tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan melalui pajak karbon ini tidak akan tercapai,” tandas Lisa. 

Laporan Climate Transparency 2021: Dampak Perubahan Iklim Nyata, Indonesia Perlu Tingkatkan Aksi Iklimnya

Jakarta, 28 Oktober 2021 – Beberapa hari menjelang COP 26 di Glasgow, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021. Secara khusus, laporan tahunan tentang aksi iklim negara-negara G20 ini, menyoroti aksi iklim Indonesia yang meliputi adaptasi, mitigasi dan mobilisasi keuangan untuk penanganan perubahan iklim. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa peluncuran laporan Climate Transparency ini sangat relevan dengan COP26 karena laporan ini mengukur  pencapaian  aksi iklim Indonesia apakah selaras target Persetujuan Paris atau tidak.

“Waktu kita tinggal kurang dari satu dekade untuk memastikan kenaikan temperatur global di bawah 1,5 derajat celcius. Indonesia juga disorot selain karena kita negara anggota G20, juga karena Indonesia berada di peringkat 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia,” jelas Fabby. 

Untuk itu, menurut Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang juga merupakan pakar di bidang lingkungan hidup, para pembuat kebijakan di Indonesia perlu menetapkan kebijakan politik yang mampu menurunkan emisi karbon dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 demi kelangsungan hidup generasi mendatang. 

“Nasib generasi muda pada tahun 2050 tergantung pada keputusan politik yang kita buat sekarang. Jangan hanya memikirkan keuntungan ekonomi saat ini, karena generasi muda ini yang akan menanggung konsekuensi dari pilihan yang tidak mereka buat. Pikirkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia apabila dampak perubahan iklim semakin buruk,” ucap Emil Salim.

Memaparkan laporan aksi iklim Indonesia, Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR menggarisbawahi bahwa aksi iklim Indonesia masuk dalam kategori “highly insufficient” atau sangat tidak memadai dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Penggunaan energi fosil mencapai 82% pada tahun 2020 membuat sektor energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di indonesia (45,7% selain emisi dari hutan dan penggunaan lahan).

Berdasarkan temuan Climate Transparency, Lisa menjelaskan bahwa tahun 2020 seharusnya menjadi puncak penggunaan batubara dan mulai tahun 2030-2040 penggunaannya harus sedikit demi sedikit dikurangi hingga tidak lagi digunakan.

“Selain itu, untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi, Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 40-60% pada tahun 2040 atau 70-90% pada tahun 2050,” jelas Lisa terkait sub sektor penghasil emisi terbesar kedua yakni transportasi. 

Laporan Climate Transparency juga mendorong penciptaan ekosistem yang mendukung pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menghentikan subsidi pada energi fosil.

“Pencabutan subsidi akan membantu energi terbarukan bersaing dengan energi fosil,” imbuh Lisa. 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, Budi Haryanto, Epidemiologis Universitas Indonesia, memaparkan tingginya angka kematian akibat kenaikan suhu bumi.

“Diperkirakan pada 2030-2050, perubahan iklim akan menyebabkan tambahan kematian per tahun sebanyak ¼ juta orang akibat malnutrisi (kekurangan nutrisi), malaria, stres akibat gelombang panas,” terangnya.

Lebih jauh, Budi mendorong agar pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan mempunyai data kesehatan yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim.

Secara frekuensi, bencana akibat iklim semakin meningkat. Hal ini disampaikan oleh Raditya Jati, Deputi Sistem dan Strategi, Badan Nasional Penanganan Bencana. Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki risiko cukup tinggi terhadap bencana alam.

“7 dari 10 bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan frekuensinya tahun ini lebih tinggi dari tahun 2020,” tutur Raditya. 

Agar emisi GRK berkurang secara signifikan, transformasi juga perlu dilakukan di sektor ekonomi, dengan beralih ke ekonomi hijau. Eka Chandra Buana, Direktur Perencanaan Makro Ekonomi dan Analisis Statistik, Bappenas menyampaikan bahwa ekonomi hijau menjadi game changer bagi perekonomian Indonesia pasca Covid-19. Menurutnya, pembangunan rendah karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan akan menjadi tulang punggung untuk mencapai target ekonomi hijau Indonesia dan net-zero emission pada tahun 2060.

“Perhitungan Bappenas, untuk mencapai net-zero pada tahun 2060, Indonesia harus meningkatkan penggunaan EBT hingga 70% pada tahun 2050, dan 87% pada 2060. Perhitungan ini masih dalam proses,” tutur Eka Chandra.

Suksesnya pembangunan rendah karbon tentu memerlukan peran serta semua pihak, terutama pemerintah kota.  Bernardia Tjandradewi, Sekretaris Jenderal United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) mengemukakan tanggung jawab pemerintah kota menjadi vital, terutama secara statistik, 60-80% emisi gas rumah kaca di dunia ini dihasilkan di daerah perkotaan. 

“UCLG ASPAC mendorong peran para kepala daerah (walikota) dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan pelatihan pada pemerintah kota tentang perencanaan aksi iklim, akses pada pembiayaan terkait iklim, dan adopsi dan pengembangan perangkat monitoring,” jelas Bernardia.

Apapun solusi untuk menurunkan emisi GRK, termasuk melakukan transisi energi menuju energi terbarukan, haruslah dilakukan secara adil. Desi Ayu Pirnasari, Peneliti di Universitas Leeds, menekankan transisi yang berkeadilan akan membentuk ketahanan iklim dan inklusi sosial di masyarakat. 

“Strategi hendaknya mengedepankan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan ownership (kepemilikan) pada agenda yang kita buat, untuk membantu kita mencapai target. Keadilan iklim tidak hanya pada mitigasi atau aksi, namun juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang rentan,” tegasnya. 

Pemetaan Potensi Energi Terbarukan di Indonesia untuk Perencanaan Transisi Energi yang Lebih Tepat

Jakarta, 25 Oktober 2021 – Demi mendorong akselerasi pengembangan  energi terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan kajian berjudul Beyond 443 GW: Indonesia’s Infinite Renewables Energy Potentials. Kajian ini berisi data pemetaan potensi teknis energi terbarukan di Indonesia menggunakan Sistem Informasi Geografis (Geographical Information System). 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya mengharapkan agar kajian ini dapat menjadi masukan konstruktif untuk pemerintah dan pemangku kebijakan dalam membuat perencanaan dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan sebesar-besarnya baik secara regulasi kebijakan maupun dukungan dari APBN. 

“Pemetaan potensi ini kami harap juga membantu pemerintah daerah yang mendapat amanat untuk memanfaatkan potensi sumber daya energi terbarukan. Mereka juga diharapkan bisa mendorong pemanfaatan energi terbarukan sehingga upaya untuk mencapai dekarbonisasi dapat dilakukan bersama-sama,” tutur Fabby. 

Dalam kajian ini disebutkan bahwa total potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 7.879,4 GW (skenario 1) atau 6.811.3 GW (skenario 2) terdiri dari PLTS (7.714,6 GW skenario 1 dan 6.749,3 GW skenario 2), PLTMH (28,1 GW skenario 1 dan 6,3 GW skenario 2), PLTB (19,8 GW – 106 GW), PLTBm (30,73 GW). 

Handriyanti Diah Puspitarini, Penulis kajian Beyond 443 GW dalam paparannya menjelaskan bahwa data potensi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan  yang tertera dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 443 GW.

“Potensi energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah, bahkan lebih dari yang dibutuhkan untuk mencapai dekarbonisasi mendalam (atau target nol emisi 2050),” jelas Handriyanti.

Melalui kajian Beyond 443 GW ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk (1) memperbarui dan meninjau data potensi teknis energi terbarukan secara berkala seiring berkembangnya teknologi; (2) melengkapi peta potensi teknis perlu dengan analisis singkat seputar intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan; (3) mempertimbangkan sistem desentralisasi dan koneksi antar pulau untuk menjamin akses dan ketersediaan listrik dari energi terbarukan; (4) memberi dukungan untuk inovasi teknologi energi terbarukan agar membuka peluang pemanfaatan yang lebih besar.

Hadir sebagai penanggap, Hariyanto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi (P3TEK) Kementerian ESDM, menyatakan bahwa hasil kajian ini dapat memperkaya data potensi energi terbarukan karena saat inipun Kementerian ESDM sedang melakukan pemutakhiran data potensi teknis energi terbarukan di Indonesia meliputi surya, bayu (angin), hidro, dan bioenergi. 

“Dari hasil yang dipaparkan, sementara ini ada angka-angka yang sama dan ada yang berbeda karena saya melihat ada  perbedaan asumsi dan skenario. Sebagai contoh potensi surya yang awalnya sebesar 207,8 GW ketika di update potensinya menjadi 189 – 3.294,4 GW dengan berbagai asumsi. Kita masih akan diskusikan dengan semua stakeholder apakah angka tersebut bisa jadi potensi yang dipraktikkan,” jelas Hariyanto.

Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, menyambut baik kajian ini dan menyatakan hasil dari kajian ini juga data yang saat ini sedang diperbarui oleh Kementerian ESDM  dapat menjadi landasan bagi pemerintah nasional dan daerah dalam mengembangkan energi terbarukan. Menurutnya, pemerintah nasional dapat menggunakan hasil pemetaan potensi teknis energi terbarukan yang paling mutakhir sebagai pertimbangan dalam penyusunan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), yang saat ini sedang dilakukan oleh DEN.

Sementara bagi pemerintah daerah, hasil pemetaan ini dapat dijadikan landasan dalam menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

“DEN saat ini tengah memfasilitasi daerah-daerah untuk menyusun Perda RUED., Hasil pemetaan ini akan sangat berguna dalam menyusun Perda RUED yang nantinya akan menjadi dasar bagi Pemda dalam mengembangkan EBT di daerah masing-masing,” Djoko menambahkan.

Masih dalam kesempatan yang sama, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma menekankan pentingnya untuk selalu memperbarui data-data potensi energi terbarukan secara berkala. 

“Perkembangan teknologi yang cepat dan perbedaan asumsi yang digunakan bisa membuat angka berubah-ubah, tapi itu tidak masalah. Tugas kita adalah mencari alternatif  supaya potensi-potensi ini dapat direalisasikan dan betul-betul dimanfaatkan,” ungkap Surya Darma.

Katadata | 43 Proyek Pembangkit yang Tertunda Kunci Capai Bauran EBT 23% di 2030

Rencana transisi Indonesia menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit. Padahal regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan. Pendanaan publik harus mulai mengarah kepada aksi yang mampu mengatasi perubahan iklim yang lebih serius

Baca selengkapnya di Katadata