Kontan | IESR: Indonesia perlu siapkan peta jalan transisi batubara

Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Menteri ESDM di COP-26 perlu diapresiasi dalam mendorong transisi energi yang berkeadilan melalui pengembangan energi terbarukan seluasnya dan melakukan penghentian secara bertahap PLTU batu bara sebagai bagian dari aksi Indonesia untuk mencegah krisis global. Ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir kalau Indonesia tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan

Baca selengkapnya di Kontan

Sepakati Deklarasi Global Tinggalkan Batubara, Indonesia Perlu Siapkan Peta Jalan Transisi Batubara

Jakarta, 05 November 2021- Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26, Indonesia menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih). Pada hari yang sama Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, juga menyatakan bahwa pemerintah mengkaji peluang mempensiunkan dini PLTU batubara dengan kapasitas total 9,3 GW sebelum tahun 2030 (4/11/2021) yang bisa dilakukan dengan dukungan pendanaan mencapai $48 miliar. 

Meski Indonesia memutuskan untuk tidak terikat pada butir ketiga Global Coal to Clean Power Transition, yang salah satunya menuntut untuk menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan), Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia, khususnya kepemimpinan yang ditunjukan oleh Menteri ESDM di COP-26, untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan melalui pengembangan energi terbarukan seluasnya dan melakukan penghentian secara bertahap (phase out) PLTU batubara sebagai bagian dari aksi Indonesia untuk mencegah krisis global. 

“Keterbukaan pemerintah Indonesia untuk melakukan transisi energi, melalui salah satunya mengurangi PLTU secara bertahap patut diapresiasi. Pasca-Glasgow pemerintah dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengakselerasi penyusunan peta jalan dan strategi transisi energi di Indonesia secara komprehensif. Ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir  kalau kita tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Fokus kebijakannya bukan lagi batubara sebagai pilihan pertama (coal as the first option), tapi energi terbarukan yang harus menjadi pilihan utama. Jadi transisi energi perlu dirancang benar-benar, dengan prioritas kembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan efisiensi energi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang inevitable (tak terhindarkan), tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim tapi juga dari sisi keekonomian teknologi.   

“Terutama dengan adanya inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan (storage) sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission  menjadi semakin layak,” ungkap Fabby.

Hasil analisis IESR dari kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia memproyeksikan energi terbarukan yang dilengkapi dengan baterai penyimpanan akan meningkat signifikan pada tahun 2045. Pangsa baterai akan mencapai  52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen sebesar 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%. Pangsa permintaan listrik yang dicakup oleh penyimpanan energi meningkat secara signifikan dari sekitar 2% pada tahun 2030 menjadi 29% pada tahun 2045. Sedangkan untuk pengguna utama penyimpanan baterai akan berasal dari sistem skala utilitas, dan dalam skala yang lebih kecil dari kawasan komersial dan industri, serta sistem perumahan.

Mengenai pensiun dini 9,3 GW PLTU batubara dengan rincian 5.5 GW pensiun dini tanpa pergantian ke pembangkit listrik energi terbarukan dan 3.2 GW pensiun dini dengan pergantian pembangkit energi terbarukan, Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi IESR, memandang ini merupakan langkah progresif untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia. Namun, menurut hitungan IESR, untuk mengejar target Persetujuan Paris dan menahan kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5 C,  ada sekitar 10,5 GW PLTU yang perlu dipensiunkan sebelum 2030. 

“Masih ada selisih 1,2 GW yang perlu dipensiunkan dan ini bisa ditargetkan mencakup PLTU di luar wilayah usaha PLN,” ungkap Deon.

Mengacu pada kajian Dekarbonisasi Energi Sistem Indonesia, setidaknya membutuhkan investasi energi terbarukan dan energi bersih lainnya sebesar USD 20-25 miliar per tahun hingga tahun 2030 dan semakin meningkat setelahnya untuk pembiayaan phase out batubara dan pengembangan energi terbarukan untuk mencapai bebas emisi pada 2050. Namun, semakin cepat phase out PLTU batubara akan dapat menghindarkan risiko kerugian finansial dari aset terdampar sektor PLTU batubara yang mencapai USD 26 miliar setelah tahun 2040.

Menyadari kebutuhan dana yang besar untuk kebutuhan penghentian PLTU batubara secara bertahap, Indonesia bekerja sama dengan ADB telah meluncurkan program Energy Transition Mechanism (ETM) diharapkan akan dapat mengumpulkan sekitar $2,5 hingga $3,5 miliar untuk menghentikan 2-3 pembangkit listrik tenaga batu bara per negara.

“Keberadaan ETM yang akan menyediakan platform pembiayaan diharapkan mampu memberi kejelasan sumber dana untuk mempensiunkan PLTU dan mendorong masuknya aliran investasi yang lebih besar di energi terbarukan. Hal ini penting agar Indonesia dapat merencanakan transformasi sistem energinya dengan optimal,” pungkas Deon.***

COP26: Pertunjukan “Sepi” dari Jokowi

Banyak pihak menantikan pidato Presiden Joko Widodo dalam gelaran COP26. Jokowi diharapkan mengumumkan komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim yang lebih ambisius serta menjabarkan langkah konkret menuju net-zero emission. Posisi strategis Indonesia sebagai pemimpin negara G20 pada 2022 seharusnya membuat Indonesia mengambil satu langkah di depan untuk memimpin upaya penurunan emisi bagi negara anggota G20.

Sayangnya, dalam pidatonya di sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, Presiden Jokowi tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi ataupun komitmen konkret dalam mendukung target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Laporan IPCC AR6 telah menyatakan dengan gamblang bahwa waktu kita untuk menjaga kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat Celcius hanya tinggal kurang dari satu dekade. Kesempatan untuk menaikkan ambisi iklim Indonesia masih terbuka dan tentu harus diambil Pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.  

Upaya penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim harus dilihat sebagai tanggung jawab dan kesempatan untuk mentransformasi sistem ekonomi Indonesia dari yang karbon intensif menjadi sistem ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Menurut kajian Deep Decarbonization IESR, transformasi sistem energi akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan. Komitmen yang ambisius dengan menetapkan target penurunan ambisi yang lebih besar dari NDC saat ini serta membangun peta jalan transisi energi yang komprehensif akan mengirimkan sinyal baik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi lebih kompetitif secara global. 

Sebelumnya dalam KTT G20 yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2021, pemimpin negara G20 sepakat untuk mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini. Namun komitmen ini belum juga disertai dengan target untuk phase-out PLTU batubara. Memegang peran strategis dalam kepemimpinan G20, Jokowi sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk mendorong negara G20 untuk menghentikan operasi PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan. Tentu saja, dalam hal ini, Indonesia perlu pula menerapkan kebijakan meninggalkan batubara sehingga dapat memberikan teladan bagi negara G20 lainnya. 

Selain itu, terdapat perbedaan antara aksi dan fakta lapangan dalam pidato Jokowi di COP 26. Ia   menyebutkan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi emisi di sektor energi. Namun, hingga COP 26 berlangsung dukungan kebijakan yang suportif untuk ekosistem PLTS seperti Revisi Permen 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun Perpres tentang energi baru terbarukan belum diterbitkan secara resmi. . 

Aksi iklim yang lebih ambisius sangat dibutuhkan saat ini karena efek perubahan iklim semakin sering terjadi seperti La Nina yang kembali datang. Laporan Climate Transparency 2021 menyebutkan Perubahan pola La Nina dan El Nino akan berdampak pada permulaan dan durasi musim hujan di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada sektor pertanian seperti produksi beras. Analisis risiko global World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat dua belas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian relatif tinggi akibat banjir dan panas ekstrem. Menempati peringkat kelima negara dengan jumlah populasi yang tinggal di area yang lebih rendah dari zona pesisir, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

Indonesia mampu berkontribusi signifikan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat krisis iklim. Memanfaatkan  luasnya hutan sebagai penyerap karbon, memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 7879,4 GW, dan memainkan peran strategis di G20 Indonesia seharusnya dapat mencapai dan melampaui target NDC mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.  Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menyelamatkan lingkungan namun juga mentransformasi sistem ekonomi, sekaligus menunjukkan inovasi kepemimpinan pada anggota negara G20.