IDX Channel | Triliunan Subsidi Energi Disebut Jadi Penghambat Transisi ke Energi Terbarukan

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata (level playing field) bagi energi terbarukan. Selain itu, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan, pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak.

Baca selengkapnya di IDX Channel

Tirto | Indonesia, Klausul Ketiga & Keinginan untuk Tak Bangun PLTU Baru

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa kepada Tirto di Glasgow, Skotlandia, Jumat (5/11/2021), menyebut rencana penghapusan batu bara dan penandatanganan pernyataan baru ini merupakan “lompatan besar” bagi Indonesia. Ia juga menekankan komunikasi publik terkait rencana penghapusan batu bara. Menurutnya, informasi yang salah dapat menimbulkan persepsi “liar” dan opini yang justru kontraproduktif dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Baca selengkapnya di Tirto

Warta Ekonomi | IESR Sebut Subsidi Energi Fosil dapat Menghambat Transisi Energi

Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini. Agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batubara harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037. Berdasarkan kajian IESR, biaya untuk mentransformasi sistem energi di Indoneseia diperlukan dana USD 25 miliar per tahun hingga 2030 dan meningkat tajam setelahnya menjadi USD 60 triliun per tahun

Baca selengkapnya di Warta Ekonomi

Katadata | Pengamat: Transisi EBT RI Terhambat Besarnya Subsidi Energi Fosil

Pada saat awal pandemi negara G20 menggelontorkan dana setidaknya USD 318,84 miliar untuk menyokong energi fosil dan subsidi fosil ini kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi. Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi enerfi untuk mencapai energi terbarukan 23% di 2026

Baca selengkapnya di Katadata

Subsidi Energi Fosil Menghambat Transisi Energi

press release

Jakarta, 12 November- Di balik komitmen untuk meningkatkan aksi iklim dan mencapai target Perjanjian Paris agar suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celcius, negara G20, termasuk Indonesia, masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan. Institute for Essential Services Reform (IESR) berpandangan subsidi energi fossil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini. 

Di masa awal pandemi, negara G20 mengucurkan sedikitnya USD 318.84 miliar untuk menyokong energi fosil. Sementara Indonesia, menurut catatan Climate Transparency 2021, telah menghabiskan USD 8,6 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik. 

Indonesia sempat berhasil melakukan reformasi subsidi bahan bakar minyak dan listrik pada 2014-2017, tapi masih memberikan alokasi subsidi energi fosil yang cukup besar. Subsidi energi naik 27% pada kurun waktu 2017-2019.  

“Pemberian subsidi energi fosil tidak saja menghambat rencana dan upaya memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi, tetapi juga menghasilkan inefisiensi penggunaan energi, dan menciptakan pemborosan akibat subsidi yang tidak tepat sasaran, dan membuat energi terbarukan sukar bersaing,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata (level playing field) bagi energi terbarukan. Selain itu, menurutnya, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan, pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak. 

“Reformasi subsidi energi pada sisi konsumsi tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga membuat orang miskin tidak mendapatkan akses energi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Sebaliknya reformasi dilakukan dengan diikuti dengan pengumpulan dan pemanfaatan basis data keluarga miskin dan skema penyaluran subsidi yang tepat sasaran, ” jelas Fabby.

Fabby berpendapat bahwa penetapan kebijakan harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) dan gas untuk PLN merupakan salah satu bentuk subsidi dan telah membuat harga listrik dari PLTU dan PLTG tidak mencerminkan biaya sebenarnya. Kebijakan ini juga membuat PLN akan memprioritaskan penggunaan PLTU ketimbang energi terbarukan, yang lebih murah.

“Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini. Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby.  

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batubara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040. Pada tahun 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batubara tanpa teknologi CCS/CCUS dikurangi menjadi nol. Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batubara harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai USD 25 miliar per tahun hingga 2030, dan akan meningkat tajam setelahnya menjadi USD 60 triliun per tahun.

“Subsidi energi fosil yang memperbesar dampak buruk dari emisi GRK akan menambah beban negara karena adanya kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim. Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025,”  ungkap Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinan Indonesia di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan terhadap energi fosil.

“Komitmen negara G7 untuk memberikan pendanaan iklim sejumlah USD 100 miliar sampai dengan tahun 2025 masih belum cukup. Oleh karena itu negara G20 harus ikut berkontribusi, salah satunya dengan cara melakukan reformasi keuangan ke arah energi terbarukan yang mendukung ekonomi hijau. Indonesia sebagai pemimpin negara G20 di 2022 dapat mendorong negara anggota G20 untuk melakukan reformasi keuangan,” tegas Lisa.

Menurutnya, setiap kebijakan finansial yang mengarah pada dukungan terhadap energi fosil harus mendapat perhatian dan diinventarisasi secara ketat oleh Global Stocktake (GST) sebagai bagian pengawasan aksi iklim yang tidak terpisahkan dari Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan Independent Global Stocktake (iGST), sebuah konsorsium masyarakat sipil untuk mendukung GST, justru GST dapat menawarkan platform bagi negara-negara untuk berkolaborasi dalam mereformasi subsidi konsumsi bahan bakar fosil.

“Informasi yang diinventarisasi ke dalam GST harus juga memasukkan elemen sosial di dalamnya sehingga tujuan pendanaan ikim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan inklusif sosial dapat tercapai. Proses GST ini harus mengikutsertakan organisasi yang mewakili elemen ekonomi, lingkungan, energi, dan sosial terutama isu gender dan masyarakat rentan lainnya untuk menjamin transisi berlangsung secara berkeadilan,” ujar Lisa.

Tunjukkan Komitmen, Indonesia Siap Pensiunkan Dini PLTU Batubara

Sepanjang tahun 2021, merespon desakan global terhadap aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia telah memutakhirkan beberapa dokumennya seperti NDC yang menargetkan netral karbon di tahun 2060 lebih cepat dan merilis ‘green’ RUPTL yang diklaim memberi ruang lebih banyak bagi energi terbarukan. Terbaru, Indonesia mengumumkan untuk mengkaji peluang memensiunkan PLTU batubara lebih dini. Meski belum ambisius untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris, keputusan Indonesia tersebut patut diapresiasi dan dikawal implementasinya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, pada gelaran KTT Perubahan iklim COP-26, menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Statement. Menteri ESDM menyetujui 3 dari 4 butir deklarasi yaitu, (1) mendorong pengembangan energi terbarukan & efisiensi energi; (2) transisi meninggalkan PLTU pada 2040an; dan (3) memperkuat upaya domestik dan internasional untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Arifin menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan simulasi untuk melakukan pensiun PLTU sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Sebanyak 3,7 GW dari 9,2 GW pembangkit akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan. Rencana progresif ini menuntut peta jalan yang komprehensif untuk transisi batubara. 

Ditemui terpisah, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menegaskan bahwa transisi untuk meninggalkan batubara di Indonesia perlu dipersiapkan dengan matang. 

Menurutnya, peta jalan transisi batubara yang komprehensif perlu disiapkan untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi adalah transisi yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari ditinggalkannya batubara untuk suplai energi, serta memastikan semua orang mendapat akses energi yang tangguh (reliable) dan terjangkau (affordable).

Dalam acara “From Coal to Renewables: the Energy Transition in Emerging Markets” yang diselenggarakan oleh Accenture dalam rangkaian COP-26 di Glasgow, Fabby Tumiwa menjelaskan, sebagai salah satu  negara penghasil  batubara terbesar di dunia, 60% batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Hal penting lain yang harus dicatat adalah, 85% produksi batubara Indonesia hanya terkonsentrasi pada 4 provinsi. 

“Peran batubara di Indonesia bukan sekedar sebagai penghasilan bagi negara, namun juga penghasilan pokok untuk provinsi penghasil batubara. Ketika dilakukan transisi, dan batubara perlahan akan ditinggalkan, daerah-daerah ini perlu diperhatikan sebab jika tidak akan terancam collapse,” jelas Fabby. 

Sebagai negara yang banyak bergantung pada energi fosil dan dengan situasi yang cukup kompleks, keterbukaan pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat, dinilai sebagai suatu maju dan dapat dicapai oleh Fabby Tumiwa.

“86% listrik di Indonesia dihasilkan oleh PLTU batubara. Melakukan transisi ke energi terbarukan dalam situasi ini tentu tidak mudah. Namun bukan berarti tidak mungkin,” tutur Fabby.