Hitung Cermat Pembiayaan Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 24 November 2021 – Transisi menuju energi bersih merupakan suatu keniscayaan. Teknologi energi bersih yang semakin berkembang membuat harga listrik dari energi bersih semakin kompetitif dengan energi fosil yang saat ini masih banyak ditemukan dalam sistem energi. Mengutip laporan Climate Transparency 2021, sistem energi Indonesia hingga tahun 2021 masih didominasi oleh energi fosil yang mencapai lebih dari 80% produksi listrik. Tingkat ketergantungan pada energi fosil yang tinggi ini, membuat transisi energi di Indonesia perlu dilakukan dengan cermat dan direncanakan serta dijalankan dengan baik. 

Agar proses transisi energi dapat berjalan tanpa menimbulkan kontraksi ekonomi yang signifikan, pemerintah perlu menyiapkan strategi pembiayaan yang berkelanjutan. Hal tersebut menjadi pembahasan dalam diskusi bertajuk “Peran dan Implementasi Sustainable Finance Menuju Transisi Energi dan Net Zero Emission di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia.

Sunandar, Asisten Deputi Utilitas & Industri Manufaktur, Kemenko Perekonomian, berpendapat perlu perhitungan yang cermat sehingga dapat memitigasi risiko ekonomi dari transisi energi. Terutama, pembiayaan transisi energi yang membutuhkan dana besar akan terpusat pada penghentian pembangkit batubara dan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan.

“Dengan kondisi saat ini dimana energi kita masih banyak batubara dan EBT baru sekitar 11,2% melakukan transisi terlalu cepat akan membutuhkan dana besar karena kita harus menghentikan pembangkit batubara yang masih beroperasi sekaligus harus membangun pembangkit EBT. Karena itu, kita memerlukan perencanaan mekanisme transisi energi. Serta lebih penting lagi memastikan ketersediaan pendanaan yang terjangkau bagi semua pihak yang ingin berkontribusi dalam transisi energi,” terang Sunandar. 

Kondisi ini membuat Indonesia harus melihat skema pembiayaan apa yang cocok untuk diterapkan bagi transisi energi Indonesia. Studi Deep Decarbonization IESR menunjukkan bahwa kebutuhan investasi untuk bertransisi mencapai 287-360 triliun rupiah/tahun. Disampaikan oleh Dewa Putu Ekayana, ahli muda PKPPIM  Kementerian Keuangan bahwa kekuatan APBN untuk membiayai transisi energi hanya sekitar 32,6%. 

“Untuk mengisi kekurangan pembiayaan ini, pemerintah membuat skema blended finance dengan menerbitkan green bond dan green sukuk serta ikut mengundang keterlibatan investor dalam proyek-proyek perubahan iklim atau energi terbarukan,” jelas Dewa. 

Jenis pembiayaan lain yang juga sedang dijajaki oleh pemerintah adalah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk mengembangkan infrastruktur energi bersih di Indonesia.

“Skema ini akan mengurangi beban APBN/D dalam membiayai transisi karena sebagian atau seluruh proyek akan dikerjakan dengan sumber daya milik Badan Usaha, dengan pembagian risiko antar para pihak (Badan Usaha dan Pemerintah),” jelas Suryo Wijiono Pambudi, Perencana Pengembangan Pendanaan Pembangunan, Bappenas

Suryo menambahkan kapasitas Pemerintah Daerah perlu untuk ditingkatkan supaya mereka dapat menyiapkan transisi di level akar rumput, serta mencari atau memetakan peluang ekonomi hijau apa yang dapat dikembangkan di daerah tersebut. 

“Selain itu dibutuhkan satu set kebijakan khusus terkait pengembangan EBT yang meliputi lembaga khusus, pembagian wilayah pelayanan serta roadmap pembangunan EBT nasional,” kata Suryo.

Implementasi dan Lesson Learned Pembiayaan Berkelanjutan

Teknologi energi terbarukan yang terus berkembang selain membuat harga energi yang dihasilkannya semakin kompetitif, juga menghasilkan kadar emisi yang lebih rendah. Tidak heran, energi terbarukan mulai dilirik untuk menggantikan energi fosil yang kadar emisinya tinggi serta cadangannya makin menipis. Sejumlah skema pembiayaan ditawarkan dengan beragam risiko dan konsekuensinya. 

Evy Susanty, Chief Finance Officer, PT Surya Utama Nuansa menjelaskan bahwa energi surya dapat menjadi pilihan prioritas penggunaan energi terbarukan dalam berbagai skala. 

“Untuk memfasilitasi konsumen dalam memasang PLTS PT SUN Energy menyediakan 3 skema pembiayaan yaitu solar purchase, performance based rental, dan solar lease. Dari ketiga skema ini, performance based rental adalah yang paling digemari konsumen sebab skema ini memungkinkan calon konsumen dari sektor bisnis dan industri untuk memasang PLTS atap tanpa modal awal,” kata Evy

Selain surya, Pemerintah Indonesia juga mengembangkan potensi energi terbarukan lain seperti biogas. Dari proyek biogas yang sedang berjalan terdapat beberapa pembelajaran, salah satu yang terpenting adalah kesesuaian kesepakatan PPA (Power Purchase Agreement) dengan dokumen proyek yang lain seperti perjanjian penggunaan lahan, pernyataan ketersediaan suplai feedstock, kontrak operasional dan perawatan, serta kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction).

“Dalam proyek biogas ini beberapa hal perlu kepastian yang bersifat kebijakan seperti kesesuaian lahan, perijinan, pendapatan sesuai kesepakatan PPA, hingga jaminan ketersediaan suplai limbah cair kelapa sawit/POME (Palm Oil Mill Effluent),” Kirana Sastrawijaya, Senior Partner in Project, Energy & Finance, UMBRA Partnership menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dari aspek legal hukum proyek biogas.

PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), salah satu special mission vehicles (SMV) Kementerian Keuangan untuk pembiayaan infrastruktur, mencatat sejumlah kendala dalam pembiayaan proyek-proyek hijau di Indonesia. Terbatasnya jumlah proyek hijau dan tidak ada insentif yang menarik dari pemerintah bagi proyek-proyek hijau membuat investor berpikir ulang untuk ikut berinvestasi di Indonesia.

“Dalam implementasi proyek-proyek hijau tidak jarang dibutuhkan waktu dan biaya tambahan untuk melakukan kajian terkait sustainability, dan seringkali tenaga profesional untuk mengerjakannya masih jarang, sehingga mau tidak mau harus bekerjasama dengan pihak lain,” terang Pradana Murti, Head of Sustainable Financing PT SMI.

Dalam proses transisi energi perlu adanya penyamaan persepsi serta pengembangan kapasitas dari pihak-pihak terkait, baik dari sektor energi maupun non-energi. “Sustainable finance dapat menjadi solusi atas beberapa bottleneck yang ada dari proses transisi energi,” ungkap Deni Gumilang, Deputy Programme Manager CASE Indonesia.

Sinergi Pembangunan Lestari dan Potensi Surya di Gorontalo

Gorontalo, 26 November 2021- Potensi energi terbarukan tersebar merata di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk di antaranya di Provinsi Gorontalo. Potensi ini dapat dimanfaatkan oleh provinsi di seluruh Indonesia dalam memainkan peranannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan menciptakan keuntungan ekonomi, sosial dan lingkungan yang berkelanjutan di wilayahnya masing-masing.

Provinsi Gorontalo menurut analisis IESR dalam kajian “Beyond 443 GW” mempunyai potensi teknis tenaga surya yang besar mencapai 11,97 GWp (sama dengan 17.47 TWh energi yang terbangkitkan)  dan potensi penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES) hingga 14,4 GWh. Peneliti Senior IESR, Handriyanti Diah Puspitarini menghitung bahwa dengan asumsi per keluarga berjumlah 4 orang maka terdapat 292.921 rumah tangga di Gorontalo. Jika satu rumah membutuhkan daya 1,72 MWh, maka total kebutuhan listrik di Gorontalo sebesar 503,8 GWh.

“Jadi sebenarnya potensi solar di Provinsi Gorontalo dapat menutupi seluruh kebutuhan listrik rumah tangga di Gorontalo,” jelas Hardiyanti.

Tentu saja, untuk meraih manfaat tersebut, pemerintah Provinsi Gorontalo perlu untuk membangun ekosistem yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan, terutama pembangkit energi tenaga surya (PLTS) hingga ke seluruh kabupatennya. Sebagai salah satu tuan rumah penyelenggaraan Festival Kabupaten Lestari 4,  Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo memiliki upaya yang sinergis dengan besarnya potensi energi terbarukan. Kabupaten Gorontalo telah secara aktif mendorong pembangunan lestari melalui alokasi penganggaran hijau dan penggunaan energi terbarukan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca.

Cokro R Katilie, Kepala BAPPEDA Kabupaten Gorontalo menegaskan dalam pidato pembukaannya pada rangkaian Festival Kabupaten Lestari agar upaya mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan secara lebih maksimal.

“Di Kabupaten Gorontalo ada banjir di awal November, (hal ini) menjadi suatu hikmah, walaupun berkolaborasi dan upaya lingkungan (sudah dilakukan), intensitas cuaca (yang mengakibatkan banjir) yang lebih tinggi. Tentu harus ditingkatkan upaya mitigasi,” ungkap Cokro.

Mengundang secara daring Institute for Essential Service Reform (IESR) pada sisi Inovasi Pengarusutamaan Teknologi dalam menekan emisi dan melestarikan lingkungan, puluhan peserta dari berbagai daerah dan institusi menyimak penjelasan Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR tentang teknologi PLTS atap.

Marlistya memaparkan bahwa PLTS merupakan cerminan dari demokratisasi energi karena potensinya tersebar di seluruh Indonesia, siapa saja bisa menggunakannya tanpa memandang strata atau profesi, pemasangannya bisa di mana saja sebab PLTS punya beragam tipe bisa di atap, di atas tanah, maupun terapung.

“Selain itu, pemasangannya juga tidak memakan waktu lama dan bisa dikerjakan oleh tenaga kerja terampil. Yang tidak kalah penting, harga teknologinya yang semakin turun,” jelasnya bersemangat.

Lebih lanjut, Marlistya menjelaskan hasil survei pasar IESR di Jabodetabek menemukan bahwa 7 dari 10 orang mengatakan PLTS atap menarik bagi mereka. Meskipun demikian, hanya 8 % dari responden yang mengatakan bahwa PLTS atap relevan dengan kebutuhan mereka. Ketertarikan mereka untuk mengadopsi PLTS atap pun bermacam-macam. Terbanyak adalah karena penghematan listrik dan sesuai dengan gaya hidup berkelanjutan dan lestari.

“Di Indonesia sendiri, perkembangan PLTS sudah menggembirakan, sudah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun, masih ada kendala soal mendapatkan panel surya,” ungkapnya.

Saat ini penyedia jasa PLTS atap masih terbatas di kota-kota besar. Menurutnya, pekerjaan rumah kedepannya adalah menghubungkan masyarakat yang berada di wilayah mana pun di Indonesia dengan penyedia jasa PLTS atap. IESR berusaha menjembatani jurang informasi tersebut dengan membangun portal solarhub.id.

“Sebenarnya ini dapat menjadi peluang dengan pemanfaatan dana desa untuk energi terbarukan. BUMDES dapat mengelola bisnis energi terbarukan, sebagai penyedia panel surya. Tentu akan menjadi lebih menarik jika objek wisata di tempat ini menggunakan energi terbarukan dan lestari,” tandasnya lagi.