Refleksi 11 Tahun Kecelakaan Fukushima

Jakarta, 11 Maret 2022 – 11 Maret 2011 gempa berkekuatan 8,9 SR mengguncang Tohoku. Reaktor nuklir secara otomatis berhenti beroperasi dan digantikan pembangkit diesel untuk mendinginkan reaktor inti. Namun, tsunami setinggi 14 meter yang datang kemudian menghentikan pembangkit diesel dan membanjiri PLTN. Akibatnya 3 inti nuklir meleleh dan melepaskan material radioaktif. Bencana Fukushima dikategorikan dalam bencana nuklir level 7 (level tertinggi yang dibuat Badan Nuklir Internasional), dan yang terbesar setelah bencana Chernobyl tahun 1986.

Meski 11 tahun berlalu sejak kecelakaan reaktor nuklir di Fukushima, dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat Jepang. Selain itu, kejadian ini mempengaruhi a sistem energi Jepang yang saat itu banyak bergantung pada pembangkit nuklir dan perkembangan energi nuklir di seluruh dunia.

Tercatat sejak kejadian tragis itu, kapasitas pembangkit nuklir di dunia terus menurun, sejumlah negara mengkaji ulang rencana energi jangka panjangnya. Jerman misalnya, memutuskan untuk melakukan phase-out PLTN, 3 PLTN terakhirnya akan dipensiunkan pada akhir tahun 2022. Beberapa negara lain juga merencanakan phase-out PLTN pada 2025 – 2030. World Nuclear Industry Status Report 2021 mencatat Jepang sempat menghentikan sementara penggunaan pembangkit nuklirnya bahkan mencapai 0 pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2015, Pemerintah Jepang mengoperasikan lagi pembangkit nuklirnya, dan saat ini sebanyak 10 unit PLTN beroperasi dan memasok 3,9% bauran energi Jepang.

Tatsujiro Suzuki, Profesor dan Wakil Direktur Research Center for Nuclear Weapon abolition Nagasaki University (RECNA), dalam webinar bertajuk “Dinamika Pengembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima” yang digelar Jumat, 11 Maret 2022, mengatakan bahwa dampak kecelakaan Fukushima belum selesai sampai hari ini. Sejumlah area di Fukushima masih ditutup, meski luas daerah terdampak berkurang. Kontaminasi pada air dan hasil pertanian juga masih terjadi hingga saat ini. 

“Dari sisi operasional pembangkit nuklir yang saat ini berjalan, terdapat tambahan biaya untuk memastikan keamanan operasional tiap-tiap pembangkit,” jelas Suzuki.

JCER (Japan Center for Economic Research) memperkirakan kebutuhan untuk pemulihan pasca kecelakaan Fukushima mencapai 322 – 719 triliun USD. Angka ini lebih besar dari perkiraan pemerintah Jepang yaitu sebesar 74.3 – 223.1 triliun USD. Perhitungan pemerintah lebih rendah sebab biaya pembuangan akhir limbah tidak dimasukkan dalam perhitungan. 

Persepsi masyarakat Jepang pada PLTN juga berubah arah setelah kecelakaan Fukushima. Lebih dari separuh penduduk Jepang (56.4%) menyatakan bahwa PLTN harus dihentikan operasinya dan ditutup segera.

Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim, menyoroti biaya investasi pembangkit nuklir yang cenderung semakin meningkat, dan risiko keamanannya yang tinggi.

“LCOE dari nuklir tinggi sebesar 8-12 sen USD menurut badan nuklir dunia, bahkan mencapai 12-16 sen USD menurut Schneider. Adanya PLTN juga menimbulkan perasaan tidak aman bagi penduduk sekitar,” jelas Herman.

Pembangkit listrik energi nuklir (PLTN) diwacanakan sebagai salah satu strategi Indonesia untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dengan pemanfaatan energi terbarukan besar-besaran (75% variabel energi terbarukan masuk dalam jaringan listrik), pengembangan sistem penyimpanan energi sehingga mengurangi biaya pengembangan energi terbarukan akan membuat tren penurunan LCOE (Levelized Cost of Electricity) untuk energi surya dan bayu dengan baterai akan lebih ekonomis daripada biaya pembangunan PLTN. 

M.V Ramana, Profesor dan Direktur Liu Institute for Global Issues dari British Columbia University, sepakat bahwa pembangkit nuklir mengandung risiko besar. Saat ini tidak ada pembangkit nuklir dengan ‘zero risk accident’ bahkan teknologi SMR (Small Modular Reactor) yang digadang-gadang aman pun masih mempunyai potensi kecelakaan.

“Secara teknis, tidak ada desain universal untuk berbagai tempat dan situasi geografis untuk pembangunan PLTN. Risiko kecelakaan, dan limbah radioaktif membutuhkan sistem yang dirancang secara kontekstual dengan lokasi dan situasi setempat. Hal ini membutuhkan kajian mendalam,” jelas Ramana.

Ramana menyinggung persepsi yang berkembang mengenai pembangkit nuklir sebagai  salah satu solusi untuk mengatasi masalah perubahan iklim sebab dapat menghasilkan energi dengan emisi yang rendah. Menurutnya, justru biaya pembangunan pembangkit nuklir lebih tinggi dibandingkan teknologi yang saat ini tersedia  seperti pembangkit surya ataupun bayu (angin) yang  lebih aman, dan terjangkau

Ramana memaparkan secara statistik, jumlah pembangkit nuklir di dunia terus berkurang. Salah satunya karena nuklir tidak lagi ekonomis. Puncak perkembangan pembangkit nuklir lebih dari 3 dekade lalu, setelah itu jumlah pembangkit yang dibangun terus menurun. 

“Ke depannya, dalam skenario paling optimis sekalipun, pembangkit nuklir hanya akan berkontribusi 10% pada bauran energi global,” Ramana menjelaskan.

CNBC | Ahli Nuklir Jepang: PLTN Tak Lagi Dapat Diandalkan dan Mahal

Hal tersebut diungkapkan oleh Suzuki setelah melihat adanya dampak kerusakan yang cukup parah dari ledakan PLTN Fukushima di Jepang pada 11 tahun lalu atau tepatnya 11 Maret 2011. “Energi nuklir bukan lagi sumber listrik utama yang paling andal dan paling murah di Jepang,” ujar Suzuki dalam Webinar yang diselenggarakan IESR, Jumat (11/3/2022).

Baca selengkapnya di CNBC

Alinea | Pengamat Sebut Keamanan PLTN Tidak Mudah

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, PLTN memang bisa menjadi sumber energi yang sangat besar dan bebas polusi. Kendati demikian, harga yang harus dibayar untuk bisa memastikan PLTN beroperasi dengan aman tidak mudah.

Baca selengkapnya di Alinea

Kumparan | Dewan Energi: Indonesia Bisa Capai Net Zero Emission Tanpa PLTN

“Indonesia punya EBT melebihi keperluan hingga tahun 2050 bahkan cukup hingga 2100, di masa depan biaya listrik nuklir akan tetap lebih tinggi daripada oil and gas, hydro, atau geothermal. Solar dan angin dengan storage juga bisa lebih murah daripada nuklir power,” ujarnya saat webinar IESR, Jumat (11/3).

Baca selengkapnya di Kumparan

Pembelajaran dari Fukushima, Pengembangan PLTN Telah Memasuki Masa Senja

press release

Jakarta, 11 Maret 2022  Di tengah upaya dekarbonisasi energi untuk mencapai netral karbon secepatnya pada pertengahan abad atau pada tahun 2060, pemerintah Indonesia mempertimbangkan untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun, beberapa kecelakaan PLTN di dunia seperti Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986), dan Fukushima (2011) mengindikasikan PLTN sarat risiko keamanan serta dampak yang merugikan secara ekonomi. Memperingati 11 tahun pasca kecelakaan PLTN Fukushima, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Masyarakat Rekso Bumi (Marem) melaksanakan Webinar “Dinamika Perkembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima”.

Meski telah diatur pada PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang nuklir sebagai pilihan terakhir, pemerintah dan PLN tetap mewacanakan PLTN, seperti teknologi small modular reactor, sebagai salah satu solusi pada peta jalan net zero yang sedang disusun. Namun Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memandang dalam kebijakan energi seharusnya pemerintah lebih mengutamakan teknologi yang andal dan, dapat dibangun dengan cepat sehingga bisa mengatasi krisi iklim yang mendesak.

“Apabila pemerintah mengandalkan teknologi yang tidak reliable (andal)  maka hanya akan menghabiskan sumber daya yang harusnya bisa digunakan untuk mendorong pengembangan energi lain yang lebih aman, reliable dan efektif mengatasi perubahan iklim,” ungkap Fabby.

Belajar dari pengalaman Jepang, Tatsujiro Suzuki,  Profesor di Research Center for Nuclear Weapons Abolition di Nagasaki University, yang juga pernah menjabat sebagai Japan Atomic Energy Commission (JAEC) (2010-2014) mengemukakan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima telah mengubah sektor energi dan persepsi publik Jepang. Sebelum tragedi Fukushima, terdapat 54 unit PLTN yang beroperasi, namun jumlah ini jauh berkurang menjadi 10 unit pada tahun 2021. Persepsi publik Jepang pun berubah drastis dari 87 persen (2010) beranggapan PLTN merupakan pembangkit listrik yang diperlukan menjadi hanya 24 persen di tahun 2013. Akibat kecelakaan tersebut, investasi terhadap keamanan dan biaya kecelakaan PLTN meningkat sehingga membuat biaya PLTN tidak lagi menjadi termurah di Jepang. Berdasarkan data Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI) biaya pembangkitan rata-rata PLTN  pada tahun 2021 menjadi sekitar 11 yen/kWh, lebih tinggi dari pada energi surya dan angin yang berada di angka 8-9 yen/kWh.

Lebih jauh, Suzuki memaparkan kecelakaan Fukushima merugikan negara dengan total biaya kecelakaan sekitar USD 322 miliar hingga USD 719 miliar menurut data dari Japan Center for Economic Research. Perhitungan pemerintah lebih rendah yakni USD 74,3 miliar hingga USD 223,1 miliar, karena belum memasukkan biaya disposal dari sisa bahan bakar radioaktif PLTN. Tidak hanya itu, limbah radioaktif dari PLTN Fukushima mengkontaminasi air, tanah dan makanan. Sementara itu, dari 35 ribu pengungsi (per April 2021) hanya 2,5 persen orang yang kembali ke kota terdampak seperti Kota Okuma dan 9,2 persen ke Kota Tomioka.

“Pembangunan PLTN perlu melakukan mitigasi dan kajian risiko secara menyeluruh, tidak hanya dari sudut pandang teknis namun juga sosial, ekonomi, politik dan etis. Selain itu, pemerintah perlu melibatkan institusi ilmiah yang independen untuk memberikan masukan sehingga meningkatkan kepercayaan publik,”tandas Suzuki.

Ia menambahkan pula bahwa sesungguhnya  PLTN ibarat obat keras yang memiliki efek samping yang kuat, yang sebaiknya tidak diminum jika tidak diperlukan.  

Senada dengan Suzuki, M.V. Ramana, Professor dan Director of Liu Institute for Global Issues dari University of British Columbia menekankan bahwa  era emas PLTN sudah lewat, sekitar 3 dekade yang lalu. Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhi menurunnya pembangunan PLTN diantaranya biaya pembuatan reaktor terlalu mahal dibandingkan harga tenaga surya dan angin yang terus menurun. Ramana menjelaskan inovasi Small Modular Reactor (reaktor nuklir yang dirancang dalam ukuran kurang dari 300 MW dan terdiri dari modul/bagian yang dapat dibangun terpisah) juga tidak mampu menyelesaikan semua masalah dalam satu desain.

“Butuh produksi ratusan bahkan ribuan reaktor kecil (SMR) untuk dapat menekan harga produksi (per MW) agar setara satu reaktor besar, yang pada kenyataannya reaktor skala besar saat ini juga tidak kompetitif secara ekonomi terhadap matahari atau angin,” kata Ramana.

Ramana memandang daripada membangun PLTN dengan segala resikonya sebaiknya menggunakan investasi tersebut untuk solusi berkelanjutan lainnya.

“Dua puluh tahun lalu, orang masih menganggap bauran energi surya dan angin yang melebihi 20 persen di jaringan akan membuatnya menjadi tidak stabil. Namun sekarang, jaringan dapat stabil bahkan dengan bauran 80-90 persen energi terbarukan dengan selebihnya mengandalkan teknologi penyimpanan energi (storage),” jelasnya.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional dalam kesempatan yang sama menuturkan tanpa nuklir pun Indonesia mampu mencapai netral karbon di tahun 2060 dengan memaksimalkan energi terbarukan;  tenaga air, panas bumi dan biomassa dan mengembangkan energi surya besar-besaran dengan kapasitas ratusan GW.

“Kondisi yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi adalah penemuan teknologi yang sukses untuk penetrasi hingga 75% dari  ke jaringan listrik, keberhasilan pengembangan penyimpanan energi yang lebih murah yang memungkinkan pengembangan Variable Renewable Energy (VRE) dengan kapasitas penyimpanan, serta Levelized Cost of Electricity (LCOE) energi surya dan angin dengan penyimpanan beberapa hari lebih murah daripada LCOE energi nuklir,” tutupnya.