Sektor Komersial dan Industri Siap Dorong Penggunaan PLTS Atap

Jakarta, 15 Maret 2022 – Perkembangan PLTS atap di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sangat pesat. Mengutip catatan Kementerian ESDM, terdapat kenaikan kapasitas terpasang yang cukup signifikan dari kurang dari 1,6 MW pada tahun 2018 menjadi 48,79 MW pada tahun 2021. Hal ini tentu merupakan hal yang menggembirakan. Tenaga surya telah menjadi energi bersih yang biayanya salah satu yang termurah saat ini. Penggunaan energi surya secara masif menjadi strategi pemerintah Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Selain proyek PLTS skala besar, pemerintah mencanangkan PLTS atap sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) sebesar 3,6 GW.

Selain memanfaatkan potensi teknis energi surya di daerah tempatnya beroperasi, terdapat kebutuhan di sektor komersial dan industri untuk menggunakan energi yang bersih dalam produksi maupun operasional bisnisnya. Nurul Ichwan, Deputi Perencanaan Penanaman Modal – BKPM dalam webinar “Business Going Green” yang diselenggarakan Kementerian ESDM dan Institute for Essential Services Reform, menyebutkan bahwa sebanyak 349 perusahaan multinasional yang beberapa anak perusahaannya juga di Indonesia, telah mengeluarkan komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan dalam aktivitas bisnisnya (RE100). 

“Selain itu, aturan lain seperti carbon border adjustment mechanism yang akan mulai diterapkan di Uni Eropa tentu mendorong perusahaan untuk beralih pada energi terbarukan supaya dapat kompetitif dengan tuntutan pasar, yang paling mudah ya PLTS atap,” jelas Ichwan.

Ichwan juga menambahkan bahwa sebagai offtaker, PLN memegang peran penting dalam proses transisi energi ini. 

“Pertimbangan besarnya ada di PLN, jika mereka tidak bisa menerima pasokan energi terbarukan dengan maksimal, proses transisi ini juga tidak akan berjalan cepat,” jelasnya.

Kebutuhan sektor industri untuk mengurangi emisi karbon dibenarkan oleh Karyanto Wibowo, Direktur Sustainable Development DANONE, yang menjelaskan bahwa perusahaannya terus berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari aktivitas bisnisnya, mulai dari efisiensi energi, carbon offsetting, dan pemasangan PLTS atap pada fasilitas pabrik.

“Kami berencana untuk menggunakan 100% energi terbarukan (RE100) pada tahun 2030, saat ini kami sudah memasang PLTS atap dengan total kapasitas sebesar 6,2 MWp di 5 lokasi. Dengan instalasi ini, energi bersih yang dihasilkan baru sebesar 15%, kami masih harus mengejar 85% lainnya sampai 2030,” jelas Karyanto.

Karyanto melanjutkan inovasi regulasi untuk skema power wheeling akan sangat membantu sektor industri dalam pemanfaatan energi terbarukan. 

Dari sisi pengembang, George Hadi Santoso, Vice President Marketing Xurya Daya menyoroti beberapa kendala pemasangan PLTS atap terkait perizinan dari PLN.

“Kendala banyak kami temui di Jawa Barat dan Jawa Tengah. PLN tidak responsif, dan belum menjalankan regulasi yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Pernah juga kami diminta untuk menjadi konsumen premium terlebih dahulu,” jelas George.

Ketersediaan kWh ekspor impor juga masih menjadi permasalahan lambatnya alur pemasangan PLTS atap. 

Aries, Divisi APP PLN, yang juga hadir secara daring mengklarifikasi bahwa untuk aturan yang saat ini dijalankan PLN masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM 49/2018 yang diturunkan dalam Peraturan Direksi PLN nomor 18 dan 49. Aturan turunan untuk Peraturan Menteri ESDM nomor 26/2021 yang merupakan pembaruan Permen 49/2018 tentang PLTS atap masih dalam proses penyusunan oleh PLN. 

“Pelayanan di unit-unit PLN sangat dipengaruhi dengan kondisi antrian. Memang perlu diatur lagi mekanisme pelayanan di tiap unit supaya semua konsumen dapat dilayani dengan baik,” terang Aries.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia mengingatkan bahwa Permen ESDM nomor 26/2021 sudah resmi berlaku per 22 Januari 2022, jadi mestinya per tanggal tersebut sudah dilaksanakan.

“Harapan saya kondisi ini bisa segera diselesaikan sehingga ada kejelasan untuk pengurusan perizinan dari awalnya 15 hari menjadi 5 hari,” tukas Fabby.

Industri yang bergerak di bidang jasa yang hadir dalam forum ‘Business Going Green’ ini membagikan kiatnya untuk ikut ambil bagian dalam upaya dekarbonisasi ini. Antonius Augusta, Direktur Eksekutif Deloitte Indonesia, menyatakan bahwa di lembaganya aksi pengurangan emisi diturunkan pada aksi individual.

“Secara global, kami berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan pada 2030 di gedung kantor dan menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional. Di Indonesia sendiri, aksi sustainability dilakukan dengan melihat lagi metode kerja untuk mengurangi perjalanan dinas. Beberapa karyawan juga sudah ada yang menggunakan PLTS atap sebagai inisiatif pribadi untuk ikut mengurangi emisi,” jelas Augusta.

Pemilihan vendor dan supplier yang juga memiliki komitmen sustainability yang kuat menjadi salah satu strategi Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia. Marina Mallian, Human Capital Business Partner PwC Indonesia menjelaskan bahwa pihaknya lebih menitikberatkan sustainable action yang terintegrasi dalam aktivitas sehari-hari karyawan, seperti mengutamakan destinasi pertemuan lokal juga melakukan carbon offsetting.

“Untuk instalasi energi terbarukan seperti PLTS kami agak sulit ya karena gedung (kantor) bukan milik kami. Untuk penggantian kendaraan ke EV (electric vehicle) pun, ada kekhawatiran di kami akan ketersediaan infrastruktur pengisian baterai.”

IPP Track: Capai Target Perjanjian Paris melalui Dukungan Penggunaan PLTS oleh Swasta

Jakarta, 15 Maret 2022 – Indonesia memiliki sumber daya alam potensial guna mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Selain itu, keberadaan PLTS sebagai pembangkit listrik energi terbarukan dapat dikembangkan dengan cepat dan secara harga pun sudah kompetitif dapat mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan serta target penurunan emisi Indonesia. Melihat berbagai potensi tersebut maka perlu adanya komitmen dan dukungan terhadap akselerasi pengembangan PLTS.

Menjelang pergelaran Indonesia Solar Summit (ISS) 2022, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengadakan empat kegiatan pendahuluan, salah satunya adalah IPP Track yang dilaksanakan pada Selasa, 15 Maret lalu.

Direktur Eksekutif Fabby Tumiwa mengatakan ISS  bertujuan untuk membahas lebih lanjut kontribusi akselerasi energi terbarukan, khususnya surya, terhadap green jobs dan upaya mencapai target 20 gigawatt melalui pipe line project  yang akan berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi hijau Indonesia pasca pandemi.

Ida Nuryatin Finahari, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan KESDM turut menyampaikan bahwa pemerintah akan berkomitmen pada target Perjanjian Paris. Salah satu  strateginya ialah melalui penetapan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. 

Dengan kecenderungan PLTS yang lebih murah dan masa pembangunan yang lebih cepat, maka pemerintah melalui RUPTL 2021-2030 menambahkan target PLTS sekitar 4,7 gigawatt,” ungkap Ida.

Lebih lanjut, ia mengatakan target kapasitas pembangkit EBT di tahun 2030 dalam RUPTL sebesar 51,6% merupakan angka yang lebih besar dibandingkan target Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Sejalan dengan itu, perwakilan dari Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Ridha Yasser mengatakan kalau transisi energi ke energi terbarukan akan menjadi tren global dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah ini telah menyiapkan Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mendorong perekonomian yang didasarkan pada teknologi hijau serta membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. Hal ini merupakan respon terhadap tuntutan pasar global agar produksi dilakukan dengan memanfaatkan energi ramah lingkungan.

“Namun demikian, di tengah tren permintaan panel surya yang tinggi, fabrikasi panel surya di Indonesia masih mengalami kendala dan di satu sisi juga harus bersaing dengan manufaktur solar yang berasal dari luar negeri,” ujarnya. 

Acara IPP Track tersebut turut menghadirkan beberapa pengembang listrik independen (IPP), pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), serta pengelola kawasan industri, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam diskusinya seperti PT PLN, Akuo Energy, PT Cikarang Listrindo, PT Tunas Energi, PT Energi Prima Nusantara, PT Bitung Inti Cemerlang, dsbg.

Umumnya, pihak swasta yang hadir mengungkapkan mereka sudah mendukung penggunaan EBT untuk operasionalisasi industrinya. Namun, pihak swasta juga masih menemukan kendala seperti perizinan, kurang siapnya dalam penggunaan PLTS atap, kemungkinan adanya permasalahan limbah akibat penggunaan battery storage energy system, dan belum terjangkaunya harga PLTS di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).

“Yang ingin ditekankan adalah konsistensi dari peraturan dan procurement yang ada, dari sisi implementasi perlu ada transparansi. Dan dari sisi TKDN, kami mendukung namun juga perlu melihat realitas lapangan agar persyaratan TKDN ini tidak menjadi kendala dalam mengembangkan PLTS di Indonesia. Jadi kalau pasarnya sudah terbentuk, industri dalam negeri akan muncul dengan sendirinya” ucap Komang dari Akuo Energy. 

Sebagai pihak yang akan memanfaatkan banyak penggunaan energi, pihak industri perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam penggunaan energi terbarukan dari hulu hingga hilir. Hal ini turut ditempuh untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebagaimana yang telah direncanakan pemerintah.