Faktor Kedaruratan Iklim Harus Menjadi Pertimbangan Utama Kebijakan Energi

Perlombaan untuk mengatasi perubahan iklim semakin ketat dan menantang. Setiap negara dituntut untuk meninjau kembali kebijakan energinya secara berkala dan menyelaraskannya dengan Persetujuan Paris yakni membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius pada tahun 2050. Sektor energi, sebagai salah satu sektor yang paling banyak menghasilkan polusi, mendapat sorotan, untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya, salah satunya dengan memilih pembangkit listrik yang rendah emisi untuk memasok kebutuhan energi.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berada dalam posisi yang diperdebatkan terkait dengan kemampuannya untuk menyediakan energi bersih. Selama bertahun-tahun, negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Jepang mengandalkan tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Namun, ada tantangan yang menghantui seperti masa konstruksi yang lama, biaya yang relatif tinggi, dan yang paling mengkhawatirkan adalah masalah keamanan generator jika terjadi kebocoran. Dunia mencatat setidaknya dua kecelakaan nuklir besar yaitu Chernobyl pada tahun 1986 dan Fukushima pada tahun 2011. Bahkan kecelakaan Chernobyl yang terjadi pada tahun 1986 masih membekas di benak kita karena dampaknya yang masih terasa sampai sekarang.

Memperingati kecelakaan Chernobyl, pada tanggal 26 April 2022, Unika Soegijapranata dan Masyarakat Rekso Bumi (Marem) menyelenggarakan webinar bertajuk “Refleksi Kecelakaan Chernobyl dan Opsi Nuklir untuk Sektor Ketenagalistrikan Indonesia”, merefleksikan kecelakaan tiga dekade lalu dan korelasinya dengan wacana Indonesia untuk memiliki PLTN untuk menyediakan pasokan energi yang andal dan untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional Indonesia, menyatakan Indonesia masih mampu memenuhi target nol emisi bersih tanpa pembangkit listrik tenaga nuklir.

“Syaratnya dengan memaksimalkan semua jenis (variabel) energi terbarukan di Indonesia, terutama matahari dan angin yang biayanya terus menurun, dengan begitu kita tidak perlu nuklir untuk menjadi net-zero,” kata Herman.

Herman lanjut menjelaskan bahwa kapasitas tenaga nuklir global terus menurun. PLTN baru yang online lebih sedikit daripada yang dinonaktifkan. Selain itu, ada juga faktor keterlambatan konstruksi yang terus terjadi.

“Umumnya ada keterlambatan pembangunan PLTN hingga 3 tahun, bahkan lebih, ini tentu menambah biaya konstruksi dan LCOE.”

Masa konstruksi yang panjang juga menjadi perhatian Mycle Schneider, konsultan nuklir internasional, yang menekankan urgensi waktu dalam memutuskan kebijakan energi.

“Ingat bahwa kita sekarang berada di situasi darurat iklim, yang berarti kita berpacu dengan waktu. Untuk mengatasi hal ini tentunya kita membutuhkan solusi yang cepat dan relatif murah,” kata Mycle.

Dibandingkan dengan opsi lain seperti energi terbarukan atau efisiensi energi, pembangunan PLTN dianggap sebagai opsi yang paling lambat, sehingga tidak relevan untuk mengatasi penyediaan energi bersih agar selaras dengan target nol bersih yang harus dilakukan dengan cepat.

Mycle menambahkan bahwa bahkan industri nuklir sendiri tidak dapat benar-benar meramalkan masa depan PLTN. Satu dari delapan reaktor nuklir yang selesai dibangun tidak pernah berhasil masuk dalam jaringan (grid). 30 dari 55 reaktor nuklir yang sedang dibangun terlambat dari jadwal. Secara umum, ada kesenjangan persepsi yang terus meningkat antara energi nuklir dan realitas industri (nuklir).

“Pada tahun-tahun mendatang, pengambilan keputusan untuk kebijakan energi tidak boleh hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi, tetapi harus didasarkan pada kelayakan teknologi dan realitas industri,” pungkas Mycle dalam presentasinya.