Mendefinisikan Ulang Akses Energi di Indonesia

Jakarta, 16 Juni 2022 – Energi merupakan kebutuhan primer bagi semua orang. Dengan memiliki akses energi yang layak, masyarakat mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan, perkumpulan sosial, bahkan kegiatan ekonomi. Menyadari dampaknya terhadap peradaban manusia, hal ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dalam hal pengukuran dan pemantauannya. Namun, pemerintah Indonesia memiliki metode yang perlu dipertanyakan untuk mengukur akses energi di seluruh negeri. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah Indonesia menggunakan “rasio elektrifikasi” untuk menentukan apakah suatu daerah (desa, misalnya) memiliki akses energi atau tidak. Dengan kata lain, misalnya, sebuah desa mungkin terdiri dari lima puluh rumah, dan  satu rumah telah memiliki akses ke jaringan PLN maka seluruh desa telah dianggap ‘berlistrik’ atau sudah mengakses layanan listrik.

Fakta ini diungkapkan oleh Marlistya Citraningrum, Program Manager Akses Energi Berkelanjutan, IESR dalam webinar “Peeling the Onion: Monitoring, Evaluation, and Other Acronyms for Assessment and Learning in Energy Access” yang diselenggarakan oleh World Relief Institute (WRI) India.

Ia juga menambahkan, metode rasio elektrifikasi pemerintah hanya mengukur akses listrik minimum, seperti penerangan yang seringkali masih belum tersedia 24 jam. Tidak ada aspek teknis lain untuk mendefinisikan akses energi di Indonesia.

Rekomendasi yang dibawa oleh Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus mendefinisikan kembali persyaratan akses energi dengan memasukkan kualitas listrik yang diterima masyarakat untuk menentukan apakah suatu daerah dianggap berlistrik atau belum.

Pendekatan kerangka kerja multi-tier dapat digunakan untuk menentukan di mana kualitas listrik di Indonesia. Kerangka kerja multi-tier sendiri mengkategorikan listrik dari tier 0 hingga tier 5.

NoTierBesar BebanKeterangan
1Tier 00Tidak ada akses sama sekali
2Tier 13-49 WPencahayaan sederhana, pengisian daya ponsel, radio
3Tier 250 - 199 WPencahayaan umum multipoint, TV, komputer, printer, kipas angin
4Tier 3200 - 799 WPendingin udara, kulkas, freezer, food processor, pompa air, penanak nasi
5Tier 4800 - 1.999 WMesin cuci, setrika, pengering rambut, pemanggang roti, microwave
6Tier 52.000 W - ke atasAkses penuh, seperti AC, pemanas ruangan, penyedot debu, pemanas air, kompor listrik

Sumber: Dokumen Bank Dunia, Bhatia dan Angelou 2015

Metode yang lebih komprehensif untuk mendefinisikan status akses energi sangat penting untuk diterapkan di Indonesia karena jika metode yang digunakan tidak komprehensif, hasil pengukuran tidak mewakili kondisi sebenarnya dan dapat menyebabkan kesalahan identifikasi.

Proyek percontohan model penyediaan energi oleh Institute for Essential Services Reform di Boafeo, Nusa Tenggara Timur menemukan bahwa masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar akses energi dasar. Masyarakat membutuhkan energi yang dapat meningkatkan taraf hidup dan ekonominya melalui produksi pertanian kopi, serta meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya.

“Jika kita mengacu pada rasio elektrifikasi Kementerian ESDM, kita tidak dapat melihat kebutuhan untuk meningkatkan produksi pertanian kopi atau harapan untuk meningkatkan output pendidikan, karena desa tersebut sudah terhubung ke jaringan listrik (PLN) pada awal tahun 2021,” Marlistya menjelaskan.

Marlistya kemudian menegaskan bahwa kesalahan mengidentifikasi suatu kondisi dapat menyebabkan solusi yang kurang tepat. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengidentifikasi masalah dan kondisi aktual secara komprehensif.