Penerbitan Studi IESR: Financing Indonesia’s Coal Phase Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net Zero

Jakarta, 3 Agustus 2022– Pensiun dini PLTU perlu dilakukan untuk mencapai bebas emisi di 2050 sesuai komitmen Persetujuan Paris. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Center for Global Sustainability (CGS), Universitas Maryland dan didukung oleh Bloomberg Philanthropies menemukan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU pada 2045 untuk meraup manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih luas. Beberapa manfaat yang dijelaskan dalam kajian berjudul “Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero” diantaranya: meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi, meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi, mengurangi polusi, meningkatkan kualitas udara, dan menurunkan biaya kesehatan. 

Ailun Yang Head of International Program of  Climate and Environment Bloomberg Philanthropies menyatakan bahwa penghapusan batubara bukanlah tugas yang mudah bagi setiap negara. Ailun menyatakan bahwa dibutuhkan kerangka kerja yang konsisten dan  strategi paling efektif untuk menghentikan penggunaan batubara. 

“Untuk itulah studi ini penting untuk melihat skenario yang tepat untuk diterapkan di Indonesia,” ucap Ailun. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menginformasikan bahwa studi ini merupakan investigasi pertama di Indonesia tentang rencana pensiun batubara dan program pembiayaannya. Di samping itu, Fabby menyampaikan informasi bahwa tahun lalu, IESR dan BNEF menghasilkan laporan yang menunjukkan bahwa pada tahun 2027, kapasitas penyimpanan baterai PLTS akan menghasilkan biaya listrik yang 25% lebih murah daripada pembangkit batubara baru. Pada tahun 2032, biaya pembangkitan pembangkit batubara dapat dilampaui oleh PLTS yang dikombinasikan dengan penyimpanan baterai 100%.

“Percepatan pensiun bertahap PLTU pada akhirnya akan memberi PLN peluang untuk mengubah aset coklatnya dengan cepat menjadi aset bersih dan terbarukan, meningkatkan produktivitas, dan menurunkan risiko aset terlantar,” ungkap Fabby.

Fabby berharap bahwa studi ini dapat membantu Pemerintah Indonesia dan PLN untuk mempersiapkan program transisi energi, terutama dalam pembentukan Just Energy Transition Partnership (JETP).

Nathan Hultman, Direktur Global Sustainability Center, Universitas Maryland. Nathan menjelaskan bahwa setiap negara mempunyai strategi berbeda, tetapi terdapat kemungkinan untuk lebih cepat beralih ke energi yang lebih bersih. 

“Dengan menjauhi energi tak terbarukan, kita akan mendapatkan lebih banyak manfaat di bidang kesehatan, ekonomi, dan pembangunan,” jelasnya

Menambahkan, Ryna Yiyun Cui, Assistant Research Professor, Center for Global Sustainability, University of Maryland menyebutkan bahwa agar kompatibel dengan emisi nol bersih dan target global 1,5 C, Indonesia harus mengurangi PLTU sebesar 11% pada tahun 2030, sebesar 90% pada tahun 2040, dan sepenuhnya dihapus pada tahun 2045. Lebih jauh, ia menyatakan dibutuhkan biaya mempensiunkan PLTU sekitar USD4,6 miliar hingga 2030 dan 27,5 miliar USD hingga 2050. “Membatalkan perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) atau pembangunan PLTU dapat menghemat hingga USD18,7 miliar yang dapat diinvestasikan secara alternatif dalam energi terbarukan,” jelasnya.

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan menginformasikan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju Net Zero Emission tahun 2060. Ia menjelaskan bahwa masih perlu kajian mendalam untuk waktu implementasinya. Ia menambahkan bahwa menurut modelling pemerintah, PLTU masih akan beroperasi hingga 2056 dan jika ingin mendorong pensiun batubara pada tahun 2045, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam lagi.

“Pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara. Harapannya jika ada bantuan internasional, diharapkan akan terjadi lebih cepat,” tambah Andriah.

Di lain sisi, Sinthya Roesly, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, PT PLN Persero mengatakan bahwa dari sisi finansial, perlu dilihat sejauh mana APBN Indonesia bisa menyerap biaya yang diperlukan. Ia menambahkan bahwa perlu kesiapan pasar dan pertimbangan sejauh mana investor swasta akan berinvestasi.

“(Biaya pensiun dini PLTU-red) barangkali yang musti kita hitung dan kita lihat secara seksama di tengah kondisi over supply yang ada saat ini. Jadi kita sekarang kita handle dulu over supply dan take or pay serta (dicarikan) solusikan agar tambahan dari EBT ini tidak menambah ongkos,” ungkap Sinthya.