Merencanakan Penyediaan Listrik Sesuai Persetujuan Paris

Jakarta, 24 November 2022 – Listrik telah menjadi kebutuhan primer sekaligus penggerak ekonomi bagi seluruh orang. Permintaan listrik diprediksi akan terus meningkat baik dari sektor industri maupun dari sektor residensial. Demi memenuhi permintaan tersebut serta menurunkan emisi di sektor energi, perencanaan dengan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar patut dirancang dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). 

Dalam RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukan hingga 51,6%. Sayangnya besaran target ini belum cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris, yaitu membatasi emisi dan kenaikan suhu global pada tingkat 1,5 derajat celcius. 

Akbar Bagaskara, peneliti sistem kelistrikan IESR, dalam peluncuran laporan studi Enabling High Share of Renewable Energy in Indonesia’s Power System by 2030 menjelaskan bahwa sebagai negara yang berada pada peringkat 10 besar penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisinya secara sistematis. 

“Elektrifikasi pada semua sektor mulai dari industri, transportasi, dan sektor lainnya serta pemanfaatan energi terbarukan secara maksimal adalah kunci utama untuk menurunkan emisi Indonesia untuk kemudian mengejar target Paris Agreement,” jelas Akbar.

Akbar menjelaskan bahwa kapasitas energi terbarukan yang dapat ditambahkan ke dalam sistem mencapai 129 GW terdiri dari energi surya sebesar 112,1 GW, energi air 9,2 GW, panas bumi 5,2 GW, energi bayu (angin) 1,5 GW, dan biomassa sebesar 1 GW.

Akbar juga menambahkan studi ini merupakan kelanjutan dari studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diluncurkan IESR pada tahun 2021 lalu yang melihat kemungkinan sistem energi Indonesia mencapai status net zero emission (NZE) dengan menggunakan 100% energi terbarukan. 

Kamia Handayani, EVP Energy Transition and Sustainability PT PLN, menjelaskan bahwa RUPTL 2021-2030 memang belum sesuai untuk mengejar target Paris Agreement. 

“RUPTL memang belum sepenuhnya align dengan persetujuan Paris karena masih ada batubara yang terlibat. Kami (PLN) memiliki beberapa skenario untuk mencapai NZE, berdasarkan roadmap NZE PLN sampai 2060, CCS bisa menjadi teknologi yang dimanfaatkan. Namun, kami harus terus melihat perkembangan teknologi kedepannya untuk memenuhi target NZE,” kata Kamia.

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA, menambahkan bahwa untuk align dengan target Paris Agreement, perlu ada satu badan yang memonitor pelaksanaan dan pembangunan energi terbarukan.

“Perlu ada suatu badan yang memastikan target pembangunan dan pengadaan energi terbarukan yang misalnya dikeluarkan pemerintah di sistem ketenagalistrikan sehingga curtailment dapat diantisipasi,” tutur Elrika. 

Ikhsan Asa’ad, Ketua Dewan Eksekutif PJCI, menyoroti pentingnya membangun industri energi terbarukan seperti surya dalam negeri yang kuat untuk memenuhi target energi terbarukan yang ambisius.

“Harga renewable saat ini masih relatif lebih mahal daripada listrik PLN, namun semakin masifnya penggunaan diharapkan harganya makin kompetitif. Industri lokal harus mulai disiapkan untuk memenuhi kenaikan kebutuhan komponen energi terbarukan di dalam negeri,” tegasnya. 

Eko Adhi Setiyawan, Dosen, Universitas Indonesia, mengatakan perlu adanya manajemen permintaan (demand management) untuk memobilisasi pelanggan. Selain itu perlu untuk menerjemahkan terminologi Paris Agreement dalam target yang lebih konkrit.