Sinergi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Wujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Semarang, 8 Desember 2022 – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) secara konsisten memperkuat komitmen, peran dan tanggung jawab bersama untuk melaksanakan transisi energi demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan. Berkolaborasi dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), Pemprov Jateng menyelenggarakan kegiatan “Central Java Stakeholders’ Gathering: Transisi Energi untuk Pembangunan Daerah Rendah Karbon” untuk memaparkan perkembangan dan praktik baik yang telah dilakukan di Jawa Tengah.

Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jawa Tengah mengatakan dalam sambutannya bahwa transisi energi penting untuk menekan emisi CO2 yang menyebabkan bencana iklim. Untuk itu, menurutnya, perlu mendorong ekonomi hijau sebagai salah satu bagian utama dari transisi energi dengan mengembangkan industri di bidang energi baru terbarukan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, mengembangkan proses produksi ramah lingkungan. 

“Dalam pembangunan sektor energi, pemerintah Jawa Tengah telah menerbitkan Perda no. 12/2018 Tentang Rencana Umum Energi Daerah. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, ditetapkan Peraturan Gubernur nomor 29 tahun 2021 yang memuat tentang petunjuk pelaksanaannya. Peraturan Gubernur tersebut menekankan pada peran serta masyarakat dalam implementasi energi baru terbarukan, contohnya peran serta masyarakat dalam pengembangan energi baru terbarukan di Jawa Tengah melalui program Desa Mandiri,” ungkap Taj Yasin. Ia menambahkan ketersediaan energi berskala masyarakat jika didukung akan mengungkit pertumbuhan ekonomi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menambahkan kepemimpinan, inovasi daerah, dan kolaborasi menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan transisi energi.

“Masyarakat bisa terlibat dalam mendorong transisi energi mereka dengan upaya sendiri dan dukungan dari pemerintah. Ini yang disebut dengan transisi energi gotong royong. Transisi energi membutuhkan upaya dan investasi yang besar maka kontribusi dari masyarakat juga harus diwadahi. Praktik yang selama ini dilakukan di Jawa Tengah dapat menjadi referensi di banyak daerah dalam pengembangan energi terbarukan dan  mendorong pembangunan rendah karbon,” kata Fabby.

Lebih jauh, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, menjelaskan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) selanjutnya diintegrasikan pada Rencana Aksi Pembangunan Rendah Karbon (RAPRK) serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan demikian, RPJMD Jawa Tengah sudah memuat komitmen untuk membangun energi yang ramah lingkungan untuk mencapai tujuan kedaulatan pangan dan energi. ESDM Jawa Tengah membangun kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya dengan IESR.

“Bekerja sama dengan IESR, pada 2019, Pemprov Jateng mencanangkan tekad besar Jateng Solar Province. Sejak itu, kapasitas PLTS atap di Jawa Tengah dari 0,1 MWp di 2019 meningkat pesat menjadi 22 MWp di 2022,” ungkap Sujarwanto.

Kemajuan ini membuat dinas lainnya seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jateng Petro Energi (JPEN) ikut menggandeng IESR dalam memuluskan transisi energi dan pembangunan rendah karbon di Provinsi Jateng.

Widi Hartanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah menuturkan limbah yang dihasilkan oleh industri maupun masyarakat dapat diolah menjadi sumber energi. Untuk itu, pihaknya bekerja sama dengan IESR di antaranya untuk melaksanakan kajian penurunan emisi melalui pengelolaan sampah dan limbah menjadi energi terbarukan, dan peningkatan kapasitas kepada pemangku kepentingan terkait penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan sampah dan limbah, dan pemanfaatan energi terbarukan.

“Kami sudah membina program kampung iklim (Proklim), sekitar 525 Proklim yang sudah mendapat sertifikat dari KLHK dan kami coba untuk dikolaborasikan dengan Desa Mandiri Energi,” imbuh Widi.

Sebagai penyumbang 34% pertumbuhan ekonomi di Jateng, Kepala Disperindag Provinsi Jawa Tengah, M. Arif Sambodo mengakui bahwa sektor industri turut bertanggung jawab dalam menghasilkan emisi karbon. Bekerja sama dengan IESR, Disperindag tengah menyusun Peta Pengembangan Pemanfaatan Energi Terbarukan Sektor Industri dan Kawasan Industri. Tidak hanya itu, secara bersama-sama pihaknya akan menginisiasi Jejaring Kemitraan antara Industri Kecil Menengah (IKM) Logam di Jateng dengan Industri Panel Surya agar bisa menjadi bagian rantai pasok dan meningkatkan TKDN.

“Berkaitan dengan substitusi produk impor maka kita perlu meningkatkan komponen dalam negeri. Jateng mempunyai potensi logam yang sudah menjadi tier 2 sebagai penyuplai rantai pasok otomotif besar di Indonesia,” urai Arif. 

PT Jateng Petro Energi  melalui M. Iqbal, Direktur Utama JPEN bekerja sama dengan IESR dan mitra lainnya akan menjalankan tiga strategi besar untuk mendorong upaya transisi energi dengan tenaga matahari dan mobilitas bersih, yakni penguatan kelembagaan ekosistem, solarpreneurship atau penciptaan lapangan kerja hijau dan peningkatan kapasitas.

“Kami akan sosialisasikan PLTS untuk SKPD provinsi Jawa Tengah dan penyediaan SPKLU untuk mendukung percepatan pemanfaatan kendaraan listrik berbasis baterai,” tuturnya. 

Menyoal kewenang daerah yang relatif kecil terhadap sub urusan energi terbarukan terkait transisi energi  Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, menuturkan bahwa pihaknya sedang menyusun Perpres sebagai tindak lanjut dari UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini dilakukan agar kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan transisi energi lebih leluasa, 

“Mengantisipasi dinamika pembangunan di nasional dan daerah, bisa diatur lebih lanjut dalam Perpres untuk pembagian urusannya sehingga dapat memperkuat kewenangan daerah agar bisa berperan lebih besar terhadap pencapaian target transisi energi,” jelas Tavip.

Selain pemaparan dari empat institusi tersebut,  kegiatan “Central Java Stakeholders’ Gathering: Transisi Energi untuk Pembangunan Daerah Rendah Karbon” juga menyuguhkan dialog bersama Achmad Husein, Bupati Banyumas, Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat  Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, M. Firdauz Muttaqin, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah, dan Ignatius Iswanto Santoso, General Manager Engineering, PT Djarum OASIS Kretek Factory. 

Dalam dialog tersebut, secara umum, para narasumber menggarisbawahi perlunya pelaksanaan transisi energi secara gotong royong bersama masyarakat, disertai dengan dukungan dari pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan daerah yang bisa menjadi dasar untuk investor dalam pengembangan energi terbarukan di daerah, penerapan pembiayaan hijau dari lembaga keuangan serta pelaksanaan praktik berkelanjutan di sektor industri dan komersial.

Pemerintah Indonesia Perlu Komitmen Kuat untuk Cegah Krisis Iklim

CAT

Jakarta, 6 Desember 2022 – Saat ini dunia mengalami perubahan iklim yang berpengaruh terhadap peningkatan intensitas bencana iklim dan mengancam  kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah dan target yang konkret untuk  menurunkan emisi emisi. Salah satunya dengan menetapkan target yang lebih ambisius dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) yang telah disampaikan Indonesia pada September 2022 lalu,  yang berisikan peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 2%.

Berdasarkan dokumen NDC terbaru, Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030. Namun berdasarkan penilaian target dan ambisi iklim Indonesia tersebut oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa. IESR dan CAT menilai, NDC Indonesia sampai saat ini belum linear dengan target 1,5°C. Secara angka lebih kuat, tetapi masih belum mendorong aksi iklim lebih lanjut. Indonesia kemungkinan besar akan mencapai targetnya (kecuali kehutanan) tanpa upaya tambahan, sementara emisinya hampir dua kali lipat saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu memperbarui Skenario Bisnis seperti-Biasa (BAU) agar linier dengan target yang lebih kuat.

“Indonesia berkontribusi terhadap pemanasan global, untuk itu diperlukan target penurunan gas rumah kaca (GRK) yang lebih ambisius. Semakin terlambat kita menghambat GRK maka risiko bencana iklim akan semakin besar. Misalnya saja bencana banjir, puting beliung, hal ini menandakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi peristiwa tersebut juga lebih tinggi dan diperlukan penyelesaian yang tepat. Untuk itu, environmental cost perlu dihitung untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa  Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Energi dan Iklim, IESR menyatakan,  energi terbarukan hanya menyumbang 13,5% dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2021, Indonesia perlu membuat kemajuan substansial untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan penggunaan potensi energi terbarukannya jauh melampaui rencana saat ini dan memasok 100% listriknya dengan sumber terbarukan pada tahun 2050.

“Walaupun batubara masih memainkan peran utama dalam sistem kelistrikan Indonesia, pemerintah telah merencanakan penghentian PLTU. Namun demikian,  untuk memenuhi batas suhu 1,5°C, penggunaan batubara di Indonesia harus turun hingga 10% pada tahun 2030 dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040.  Indonesia akan membutuhkan dukungan keuangan yang signifikan untuk merencanakan penghentian PLTU sesuai dengan Persetujuan Paris,” jelas Shanaz. 

Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),  Erik Armundito menegaskan, pihaknya memiliki kebijakan pembangunan rendah karbon, yang terintegrasi dengan prioritas nasional RPJMN 2020-2024, dilengkapi juga dengan strategi indikator dan target yang jelas setiap tahunnya. 

“Indikator makro yang dimaksud yakni persentase potensi penurunan GRK dengan target 27,3% di tahun 2024 dan persentase penurunan  intensitas GRK dengan 31,6% di tahun 2024. Penetapan target ini menjadi langkah maju Indonesia dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, Bappenas memiliki aplikasi AKSARA untuk  pemantauan, evaluasi, dan pengendalian terhadap penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari pembangunan rendah karbon,” jelas Erik. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad menuturkan, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk mendorong pencapaian target 1,5°C. Berbagai pihak harus memiliki peran dan berkontribusi. 

“Kita semua memiliki peran. Laporan CAT ini bukan mengkritik, tetapi untuk mendorong agar langkahnya lebih baik. Semuanya dilakukan untuk menyelamatkan bumi, untuk itu diperlukan akuntabilitas dan transparansi,” papar Nadia Hadad. 

Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) menuturkan, emisi karbon yang dihasilkan seluruh negara di dunia diproyeksikan tidak boleh lebih dari 33 gigaton pada tahun 2030 untuk menjaga suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C. Meski demikian, perkiraan emisi karbon yang dihasilkan mencapai 58 gigaton. 

“Apabila terdapat implementasi NDC di seluruh negara, maka perkiraan emisi bisa menurun menjadi 53-56 gigaton pada tahun 2030. Yang berarti masih ada gap yang besar sekali antara 20-23 gigaton. Jika gap tersebut tidak bisa dipenuhi semua negara, termasuk Indonesia, maka kita bisa mencapai di atas 1,5°C,” papar Mahawan. 

Sonny Mumbunan,  ekonom juga peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, memandang perlu pula membahas bagian pembiayaan iklim secara mendalam pada  laporan Climate Action Tracker.

“Ketika Indonesia masuk menjadi anggota G20 dengan dinarasikan memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, hal ini menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Mengingat, Indonesia juga masih perlu dana dari negara lain. Hal ini juga mempengaruhi cara kita mendekati sektoral di energi, di sektor berbasis lahan maupun sektor loss and damage. Kelihatannya Indonesia memerlukan pendekatan berbeda berdasarkan profiling dirinya, yang berada antara negara maju maupun negara berkembang,” tegas Sonny. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.