Apa itu Energi Surya dan Bagaimana Pengembangannya di Indonesia?

PLTS Atap

Jakarta, 19 Desember 2022 – Peranan energi menjadi penting untuk peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. Untuk itu, pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu. Terlebih Indonesia telah berkomitmen sesuai Persetujuan Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan target sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri dan target sebesar 43,2% dengan bantuan internasional. 

Berdasarkan studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh IESR, Indonesia mampu untuk mencapai target Persetujuan Paris netral karbon pada 2050. Dekade ini menjadi penting, karena Indonesia harus segera mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan mendorong bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai 45%.

Pembangunan sektor energi terbarukan menjadi aksi mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung energi yang berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia terus menggencarkan penggunaan energi terbarukan. Energi surya menjadi salah satu pilihan jenis energi terbarukan yang terus didorong penggunaannya di Indonesia. 

Melansir Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Konversi Energi Surya dan Angin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi matahari melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Teknik pemanfaatan energi surya pertama kali ditemukan oleh peneliti asal Prancis, Edmund Becquerel pada tahun 1839. Meskipun letak matahari sekitar 149 juta kilometer dari bumi, namun pancaran sinarnya bisa digunakan menjadi sumber energi terbarukan. Sinar matahari tersebut dikonversikan menjadi energi listrik menggunakan teknologi fotovoltaik (photovoltaic/pv) yang terdapat di dalam panel surya.

Panel surya merupakan kumpulan sel surya yang ditata sedemikian rupa agar efektif dalam menyerap sinar matahari. Sedangkan yang bertugas menyerap sinar matahari adalah sel surya. Konversi energi surya menjadi listrik berawal saat sel surya menyerap cahaya, maka akan ada pergerakan antara elektron di sisi positif dan negatif. Adanya pergerakan ini menciptakan arus listrik sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi untuk alat elektronik. 

Berdasarkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 yang dikeluarkan IESR, tenaga surya memainkan peran penting dalam dekarbonisasi mendalam di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat pada 2050, setidaknya 88% dari kapasitas daya terpasang akan berasal dari tenaga surya pada 2050. Sayangnya, penggunaan tenaga surya di Indonesia baru mencapai 0,2 GWp dari kapasitas terpasang dan hanya menghasilkan kurang dari 1% dari total pembangkit listrik pada akhir tahun 2021.

Namun demikian, kemajuan energi surya Indonesia terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari US$0,25/kWh menjadi US$0,056/kWh antara rentang 2015 dan 2022. Untuk itu, IESR memprediksi setidaknya dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. Selain itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

IETO 2023: Pacu Langkah Cepat Transisi Energi di Indonesia

Handriyanti Puspitarini, Peneliti Senior IESR

Jakarta, 15 Desember 2022 –  Institute for Essential Service Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. IETO 2023 merupakan jilid ke-6, sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama pada tahun 2020. Transformasi ini melebarkan analisis dari awalnya hanya berfokus pada perkembangan energi bersih saja menjadi analisis sistem energi secara keseluruhan, termasuk sistem pendanaannya.

Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR, dalam sambutannya menyatakan transisi energi di Indonesia sudah memasuki babak baru. Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan yang diterbitkan sudah mulai mendukung adopsi teknologi rendah karbon dan rendah emisi, seperti Perpres 112/2022. Selain itu, tercapainya komitmen pendanaan bagi transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan proyek infrastruktur yang merupakan hasil dari KTT G20. Topik tersebut diulas pula pada IETO 2023.

“Pendanaan menjadi salah satu kunci sukses transisi energi di Indonesia. Selanjutnya, kami juga menyoroti peran tenaga surya dalam transisi energi serta perkembangan kendaraan listrik di dalam laporan IETO 2023,” ucapnya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam pemaparannya pada peluncuran laporan dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan Bloomberg Philanthropies, menjelaskan bumi mengalami kenaikan temperatur 1,1°C. Tanpa intervensi, diperkirakan kenaikan ini dapat mencapai 2,8°C. Ia menekankan transisi energi menuju energi terbarukan menjadi krusial untuk membatasi kenaikan suhu bumi melebih 1,5°C. 

“Studi IESR menunjukkan bahwa solar PV (PLTS) ditambah dengan storage dengan kapasitas 50% dan 100%, maka energi terbarukan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU setelah tahun 2032. Artinya, apabila kita masih mempertahankan pembangkit fossil dalam sistem energi maka kita akan menghadapi kenaikan biaya energi yang jauh lebih mahal,” terang Fabby Tumiwa. 

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa hadir di peluncuran dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook 2023

Fabby menekankan, memperbesar porsi energi terbarukan di dalam sistem energi Indonesia jauh lebih menguntungkan daripada memanfaatkan energi fosil ataupun mempertahankan energi fosil dengan teknologi penangkap karbon, seperti carbon capture and storage (CCS). Namun, saat ini terdapat 87%  dari listrik yang dikonsumsi Indonesia masih berasal dari energi fossil, hanya 13% dari energi terbarukan.  Untuk itu, Fabby menuturkan terdapat tiga hal yang perlu dilakukan dalam mendorong transisi energi. 

“Pertama, memanfaatkan sebesar-besarnya potensi energi terbarukan Indonesia untuk sektor listrik, transportasi, industri dan sektor lainnya. Berdasarkan kajian terakhir ESDM, Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang jauh dari lebih cukup untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam rangka mencapai net zero emissions (NZE). Dengan menaikkan energi terbarukan, kita juga harus mengurangi PLTU batubara.  Kedua, menggenjot investasi untuk transisi energi,” ujar Fabby. 

Studi IESR menilai, untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat, dibutuhkan investasi rata-rata USD 25-30 miliar dari sekarang sampai 2030. Untuk mendapatkan investasi, diperlukan no regret policy atau sekalinya sudah ada kebijakan, tidak boleh dicabut atau diberhentikan. Kedua, perlu dilakukan reformasi kebijakan yang menghambat EBT. Untuk itu, kata Fabby, Pemerintah harus mengkaji ulang pemberian DMO untuk batubara karena kebijakan tersebut kontradiktif dengan upaya Indonesia mendorong energi terbarukan. Ketiga, mengelola proses transisi energi. Transisi energi merupakan tindakan yang beresiko karena akan menyebabkan adanya kenaikan biaya dalam jangka pendek, dan saat bersamaan kita masih bergantung pada energi batubara. Untuk itu, proses transisi energi perlu dikelola secara efektif sehingga proses transisi energi akan mulus.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana memaparkan transisi energi menjadi salah satu isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Hal ini bisa dilihat dengan tercapainya kesepakatan  Bali Compact yang bisa menjadi panduan untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat.  Untuk itu, Indonesia telah mempunyai peta jalan transisi energi baru terbarukan (EBT) menuju net zero emission pada 2060 yang dibuat Kementerian ESDM.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana hadir dalam peluncuran dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook 2023

“Indonesia berencana membangun PLTS mulai tahun 2030 secara masif, diikuti PLTB onshore dan offshore dimulai 2027 serta geothermal juga akan dimaksimalkan. PLTA akan dioptimalkan dan listriknya akan dikirimkan ke pusat beban di pulau-pulau lainnya, serta pembangkit listrik nuklir beroperasi tahun 2039,” ujar Rida Mulyana. 

Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR menyatakan, sistem kelistrikan adalah low hanging fruits untuk mencapai NZE. Sistem kelistrikan menyumbang 250 MtCO2 emisi atau sekitar 40% emisi di sektor energi. Status energi terbarukan pada bauran energi 12,67% sedangkan target 2025 sebesar 23%. Untuk itu, kata Akbar, Indonesia perlu mengurangi kapasitas fosil dan mencari alternatif sumber energi demi mencapai target tersebut. 

“Setidaknya Indonesia bisa memanfaatkan energi terbarukan yang belum maksimal seperti surya dan angin. Kemudian, jaringan transmisi (grid) harus juga dibuat fleksibel. Meski demikian, perlu aturan tentang panduan sistem operasional dan negosiasi pada unit pembangkit,” papar Akbar. 

Senada dengan Akbar, Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menegaskan, hal yang bisa dilakukan untuk memberikan penetrasi energi terbarukan yakni mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Secara teknis, pengoperasian ini membutuhkan perubahan di dalam komponen utama PLTU. 

“Pengoperasian secara fleksibel akan membutuhkan fleksibilitas dalam hal perjanjian jual beli listrik dan kontrak suplai bahan bakar. Berdasarkan IEA, dengan membuat kontrak-kontrak ini lebih ‘luwes’ akan terdapat penghematan sebesar 5% dari total biaya operasi selama setahun atau setara USD 0,8 miliar. Grid Code (kode jaringan) juga harus dibuat lebih detail. Hal ini juga mutlak diperlukan agar operator memiliki pedoman regulasi pengoperasian secara fleksibel,” jelas Raditya. 

Julius Christian, Peneliti Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR menerangkan, sampai saat ini konsumsi energi fosil di transportasi mencapai 87%, industri mencapai 56%  dan bangunan mencapai 41%. Dalam sektor transportasi, penggunaan kendaraan listrik menjadi strategi krusial untuk menuju sistem transportasi rendah karbon karena memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi dan memanfaatkan energi terbarukan. Julius menjelaskan, tercatat 199 bangunan yang tersertifikasi sebagai bangunan hijau di Indonesia sampai saat ini, padahal seharusnya bangunan yang luas sudah wajib memiliki sertifikasi bangunan hijau. 

“Untuk mempercepat transisi energi maka perlu fokus dalam empat hal yakni regulasi untuk mendorong masyarakat dan industri beralih ke teknologi yang hemat karbon, Pemerintah juga perlu melakukan lebih banyak sosialisasi agar awareness masyarakat meningkat untuk beralih ke rendah karbon, insentif dan skema pembiayaan juga patut diperhitungkan, serta menyiapkan ekosistem pendukungnya,” papar Julius. 

Di sisi lain, Martha Jessica, Peneliti Sosial dan Ekonomi IESR mengatakan,  pentingnya kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggalakkan transisi energi dan mencapai NZE. Saat ini terdapat 71,05% provinsi di Indonesia telah menetapkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED), di mana masing-masing daerah mengatur target bauran energinya. 

“Salah satu provinsi yang menunjukkan komitmen untuk pengembangan energi terbarukan yaitu Jawa Tengah. Menariknya, tahun ini terdapat komitmen baru untuk pemulihan hijau. Hal ini didefinisikan sebagai pemanfaatan anggaran publik untuk menyasar level tapak, terutama untuk pembangunan energi terbarukan. Sekitar Rp 8,9 miliar telah dianggarkan untuk komitmen tersebut. Pembangunan ini kemudian sudah berhasil meningkatkan pendapatan penggunanya sebanyak 2-3 kali lipat, di mana petani mendapatkan sumber air yang lebih mudah lewat penggunaan pompa air tenaga surya,” papar Martha.   

Handriyanti Puspitarini, Peneliti Senior IESR menuturkan, beberapa hal penting dalam status transisi energi di Indonesia yaitu penggunaan energi fossil meningkat tahun ini karena perekonomian yang semakin menggeliat, namun kondisi ini dapat dipastikan berubah karena banyaknya bantuan luar negeri untuk menekan emisi, terutama dalam sektor ketenagalistrikan. Ia menilai aturan yang mendukung penetrasi energi terbarukan perlu tersedia. Ia mencontohkan pembatasan kapasitas PLTS atap sebesar 15% akan menurunkan minat masyarakat untuk memanfaatkannya dan menekan partisipasi masyarakat terkait bauran energi terbarukan dalam skala nasional.

“Untuk itu, terdapat perubahan yang dibutuhkan yakni memperbanyak dukungan finansial untuk pengembang proyek PLTS atap, memperjelas skema tarif dan proses perizinan, serta meningkatkan akses pengembang ke modal dengan suku bunga lebih rendah. Implementasi PP 112/2022 juga perlu diamati di tahun depan. Masyarakat sendiri juga berpendapat bahwa ini menjadi saatnya Indonesia bertransisi energi dan memanfaatkan sumber energi lainnya seperti surya, air dan angin,” tegas Handriyanti. 

Berpacu dalam Momentum Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 15 Desember 2022 – Berbagai peristiwa geopolitik dunia sepanjang 2022 telah mempengaruhi naiknya harga komoditas energi fosil. Sebagai sektor yang mempengaruhi dan menggerakkan sektor lain, sektor energi memainkan peran penting dalam berbagai aspek mulai dari sosial-ekonomi hingga politik. Krisis energi global di 2022 dapat menjadi peluang yang Indonesia manfaatkan untuk mempercepat transisi energi. 

Pasar energi Indonesia yang masih banyak bergantung pada subsidi membuat Indonesia kurang merasakan dampak krisis energi global akibat melambungnya harga komoditas fosil. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas fiskal pemerintah tidak lagi seluas 2-3 tahun ke belakang mengingat begitu banyak subsidi energi yang dikeluarkan .

Hal ini disampaikan oleh Dannif Danusaputro, Direktur Utama PT Pertamina New & Renewable Energy dalam acara peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis 15 Desember 2022. 

“Ruang fiskal yang semakin sempit mau tidak mau akan memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak populer dan hal ini dapat ditangkap sebagai momentum akselerasi energi terbarukan,” jelas Danif.

Bukan hanya krisis energi global yang dapat menjadi momentum akselerasi energi terbarukan, tapi juga masuknya  komitmen pendanaan transisi energi di Indonesia. Dalam KTT G20 bulan November 2022, Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi sebesar 20 miliar dolar melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Dana ini dikucurkan oleh International Partners Group yang terdiri dari negara-negara G7 ditambah dengan Denmark dan Norwegia. 

Suzanty Sitorus, Direktur Eksekutif Viriya ENB, mengatakan bahwa dana JETP belum cukup untuk membiayai proses transisi energi di Indonesia, namun bukan berarti perannya menjadi tidak penting. 

“Yang lebih penting adalah (dana ini) mau untuk apa. Apakah USD 20 billion ini akan meletakkan dasar-dasar untuk kita bisa bertransisi lebih cepat atau tidak,” kata Suzanty. 

Dirinya menambahkan penting bagi Indonesia untuk belajar dari Afrika Selatan (penerima pendanaan JETP sebelumnya), tentang investment plan yang sesuai dengan kebutuhan negara penerima. 

Harris, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menyatakan bahwa sejak KTT G20, minat pengusaha untuk berinvestasi pada energi terbarukan terutama panas bumi meningkat. Hal ini merupakan hal baik untuk mengejar target energi terbarukan di RUPTL.

“RUPTL yang saat ini ada, saya rasa belum perlu dinaikkan targetnya tapi kita harus pastikan target yang ada sebanyak 51% (20,9 GW) benar-benar tercapai,” kata Harris.

Ditambahkannya, penting untuk memastikan target RUPTL tercapai karena beberapa kali pemerintah tidak mencapai target RUPTL. 

Selain penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, efisiensi energi juga menjadi salah satu strategi untuk mencapai status net-zero emission terutama pada sektor industri. Dijelaskan oleh Octavianus Bramantya, anggota tim kerja harian Net Zero Hub, KADIN, bahwa sektor industri sudah cukup aware dengan kebutuhan untuk bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih namun mereka masih menunggu kepastian regulasi. 

“Ada ledakan gerakan net-zero dari companies. Perusahaan tidak lagi bersaing melalui price dan product quality, namun karena ada penilaian carbon footprint untuk ekspor, maka perusahaan sudah mulai terpacu untuk memikirkan carbon footprint mereka,” kata Bramantya. 

Perusahaan yang bergerak di pasar luar negeri (foreign market) sudah memikirkan tentang hal ini. Untuk perusahaan lokal masih menganggap perhitungan karbon ini sebagai halangan, sehingga menjadi tantangan bagi salah satunya KADIN Net-Zero Hub untuk membantu merestrukturisasi nilai capex dan menunjukkan bahwa low carbon development justru menguntungkan.