Menanti Putusan WTO Usai Indonesia Ajukan Banding Sengketa Dagang Kebijakan Bahan Mentah

Fabby Tumiwa

Jakarta, 3 April 2023 – Proses pengajuan banding Indonesia terhadap putusan World Trade Organization (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel masih berlangsung sampai sekarang. Pemerintah sebelumnya telah mengajukan banding atas putusan WTO pada 8 Desember 2022, yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi nikel melanggar aturan perdagangan internasional. Namun demikian, sampai saat ini pemerintah maupun Uni Eropa masih menunggu terbentuknya Badan Banding WTO karena terdapat blokade pemilihan Badan Banding oleh salah satu Anggota WTO yakni Amerika Serikat. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai, Indonesia perlu menunggu hingga terbentuknya hakim oleh Badan Banding WTO (Appellate Body WTO),yang saat ini belum ada, demi memproses kasus tersebut, walaupun terbilang memakan waktu yang lama. Hal tersebut diungkapkannya ketika menjadi narasumber di siaran program TVRI World “Economic Outlook” pada Senin (3/4/2023). 

Untuk diketahui, Appellate Body sebagai pengadilan banding sistem penyelesaian WTO sejak 2019 tidak lagi efektif menyelesaikan sengketa antar negara lantaran kekosongan hakim uji dan pemblokiran atas penunjukan hakim baru oleh Amerika Serikat. Untuk mengatasi kevakuman Appellate Body saat ini, dilakukan perbaikan kelembagaan dan kemungkinan penggantian sistem ajudikasi dua tingkat dengan ajudikasi satu tingkat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa di acara Economic Outlook TVRI World

“Proses pemilihan hakim itu juga akan memakan waktu lama dan ada semacam kriteria di bawah aturan WTO yang dapat dinominasikan dan menjadi anggota badan tersebut, sehingga prosesnya masih berlangsung panjang. Bisa dikatakan kasus sengketa dagang ini sedang status quo,” terang Fabby Tumiwa. 

Fabby memaparkan, penyelesaian sengketa dagang kebijakan bahan mentah ini bergantung dengan berbagai keahlian komposisi hakim serta apakah negara seperti Indonesia bisa memberikan bukti baru yang memperlihatkan kebijakan bahan mentah Indonesia telah selaras dengan perjanjian WTO. Lebih lanjut, Fabby menekankan Indonesia memiliki alasan yang kuat untuk mengajukan banding di WTO. Pertama, Indonesia ingin memacu tumbuhnya industri pengolahan dan pemurnian (smelter) karena sejalan dengan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri. Kedua, Indonesia ingin membangun berbagai industri domestik, termasuk hilirisasi industri, industrialisasi, akan terus ditingkatkan. 

“Kita setidaknya perlu membuktikan kepada Badan Banding WTO mengenai kebijakan bahan mentah tersebut yang berdampak positif terhadap negara berkembang, seperti Indonesia. Termasuk bukti terkait kebijakan tersebut memiliki dampak yang baik terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Saya pikir ini kasus yang menarik dan Indonesia perlu piawai dalam mempresentasikan bukti-bukti yang ada,” ujar Fabby Tumiwa. 

Fabby menjelaskan, apabila kasus sengketa dagang ini membuat Indonesia mengalami kekalahan dalam gugatan WTO, maka pemerintah perlu menggunakan mekanisme lain untuk meningkatkan nilai tambah produk nikel dan fokus pada industri dalam negeri. Misalnya, Indonesia fokus dengan kebijakan dan implementasi dalam meningkatkan hilirisasi nikel.