Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.