Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Potensi Indonesia jadi Pemain Utama Kendaraan Listrik di ASEAN

Jakarta, 12 Mei 2023 – Pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 yang diselenggarakan di Labuan Bajo, NTT,  ASEAN bertekad untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Di ASEAN sendiri, sudah terdapat negara-negara yang memiliki industri kendaraan listrik, seperti Thailand dan Indonesia. Indonesia memproduksi 1,2 juta kendaraan listrik per tahun, dan sudah mampu melakukan ekspor dan impor di pasar ASEAN. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik, salah satunya adalah industri untuk menghasilkan komponen kendaraan listrik, terutama baterai yang harganya mencapai 40% dari harga kendaraan listrik. Menurutnya, membahas baterai artinya harus membahas mengenai industri critical mineral, seperti lithium, nikel, mangan, dan kobalt. Tidak semua negara di ASEAN memiliki critical mineral ini, sehingga Indonesia sebagai pemilik nikel dan kobalt berpotensi menjadi pusat jaringan pengembangan industri baterai. 

“Namun, negara lain seperti Thailand memiliki keuntungan strategis yang berbeda, yaitu iklim investasinya yang lebih mendukung akan perkembangan kendaraan listrik. Sehingga, tidak heran bahwa China lebih memilih untuk membangun pabrik di Thailand dibandingkan Indonesia,” terang Fabby.

Selain baterai, Fabby melihat potensi bahwa Indonesia dapat memasok mesin kendaraan listrik, dan material lain seperti baja. Baja seperti alloy diperlukan untuk rangka kendaraan listrik, yang Indonesia bisa pasok karena memiliki industri bijih besi. Secara domestik pula, industri otomotif Indonesia sudah lumayan menyerap tenaga kerja, sehingga diharapkan apabila kendaraan bahan bakar fosil sudah mulai ditinggalkan, Indonesia tidak akan menjadi pengimpor kendaraan listrik. Melihat situasi pasar Indonesia, Fabby beranggapan bahwa kendaraan tipe menengah (sekitar Rp 400-600 juta) akan paling cocok dan berpotensi di pasar Indonesia. 

“Selain itu, besar pula kemungkinan Indonesia memiliki peran dalam global supply chain kendaraan listrik, karena kita memiliki keuntungan strategis seperti sumber daya alam, sudah mengembangkan industri kendaraannya, dan industri menengahnya seperti sel baterai,” jelas Fabby.

Fabby juga berpendapat bahwa insentif yang kini perlu digelontorkan adalah untuk riset dan pengembangan dalam membuat baterai jenis baru. Ia menimbang bahwa nikel akan habis jika terus digali untuk baterai, dengan cadangannya tidak sampai 20 tahun, begitu pula dengan lithium. 

Lebih jauh Fabby menjelaskan bahwa strategi yang dapat dilakukan adalah upaya mencari baterai generasi baru yang memakai jenis metal yang banyak tersedia di Indonesia. Insentif juga diperlukan untuk industri hilir demi menstimulasi pasar kendaraan listrik di Indonesia hingga 2030. Sehingga, dengan meningkatnya pembelian kendaraan listrik, diharapkan Indonesia akan menarik investor yang dapat meningkatkan rantai pasok domestik. 

“Harapan kedepannya, kita memiliki rangkaian industri dari hulu ke hilir yang lengkap, terintegrasi tidak hanya dari produksi baterai, namun juga manufaktur kendaraan. Maka dari itu, stimulus perlu diberikan di sisi permintaan,” tutup Fabby.

Foto oleh dcbel di Unsplash