Insentif Perlu untuk Dorong Pasar Kendaraan Listrik

Jakarta, 11 Mei 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, pemberian insentif kendaraan listrik dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai salah satu strategi untuk membuka atau mengembangkan industri kendaraan listrik itu sendiri. Meski demikian, Fabby menekankan, pemberian insentif kendaraan listrik ini bukanlah solusi untuk mengatasi masalah kemacetan. Hal ini dikatakan Fabby Tumiwa saat menjadi narasumber di program acara Mining Zone, CNBC Indonesia TV pada Kamis (11/5/2023). 

“Kita sudah punya kebijakan hilirisasi, tidak boleh ekspor bijih nikel. Untuk itu, nikelnya harus diproduksi di Indonesia dan dari nikel kita sudah tahu diolah di smelter untuk menjadi baterai. Dengan kebijakan tersebut, saat ini terdapat beberapa perusahaan global yang menanamkan investasinya di Indonesia, di antaranya Korea dan China. Nah, tahapan berikutnya membangun kendaraan listrik. Misalnya jenis baterainya seperti Nickel-metal hydride (NiMH),” terang Fabby Tumiwa. 

Lebih lanjut, Fabby menuturkan, untuk menarik investasi pada kendaraan listrik, maka perlu diciptakan permintaan pasar (demand). Mengingat, saat ini permintaan kendaraan listrik di Indonesia masih kecil. Menurut Fabby, penjualan kendaraan listrik tidak lebih dari 25 ribu unit sejak dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpes) No 55 Tahun 2019. Berkaca dari hal tersebut, pemerintah perlu mengatur strategi agar bisa menumbuhkan permintaan kendaraan listrik.

“Dengan adanya demand, maka diharapkan produsen kendaraan listrik bisa berinvestasi di Indonesia. Namun demikian, patut diingat apabila kita ingin mendorong investasi di sisi hulu maka jenis insentifnya akan berbeda. Di lain sisi, apabila kita membangun pasar dari produknya, insentifnya juga berbeda. Makanya, insentif yang ada saat ini tidak bisa dibilang salah karena kita perlu melihat konteksnya,” ujar Fabby Tumiwa. 

Selain itu, Fabby menyatakan, dalam konteks penggunaan energi perlu ada substitusi impor bahan bakar minyak (BBM). Seperti diketahui, produksi minyak Indonesia terus menurun setiap tahunnya. Dengan kondisi seperti ini, kata Fabby, apabila tidak ada upaya untuk mengurangi konsumsi BBM maka sekitar lebih dari 60% kebutuhan BBM akan diimpor. Hal ini menjadi masalah cukup serius karena mengancam ketahanan pasokan energi nasional. 

“Dengan kondisi seperti itu, insentif kendaraan listrik menjadi juga bagian dari strategi mengurangi permintaan pertumbuhan BBM dengan cara teknologi kendaraannya yang digeser. Mengingat listrik bisa bersumber dari mana saja, termasuk energi terbarukan,” tegas Fabby Tumiwa. 

Tidak hanya itu, dalam konteks transisi energi, kata Fabby, industri otomotif cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Apabila Indonesia berhasil dalam kendaraan listrik, maka produksi kendaraan konvensional akan turun dan hal ini bisa berimbas terhadap pengurangan lapangan pekerjaan. Seiring minat pasar yang menurun terhadap kendaraan konvensional, maka akan tercipta lapangan pekerjaan hijau (green jobs).

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia untuk Transisi Energi

Jakarta, Mei 2023 – Dunia bergerak ke ekonomi rendah karbon. Akibatnya, pasokan energi untuk perekonomian juga bergeser dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, investasi global dalam teknologi energi rendah karbon (termasuk teknologi produksi non-energi seperti transportasi listrik, panas yang dialiri listrik, dan material berkelanjutan) melampaui USD 1 triliun dan menyamai tingkat investasi bahan bakar fosil. Peningkatan investasi dalam teknologi rendah karbon menghasilkan peningkatan lapangan kerja di lapangan. Secara global, lapangan kerja dalam produksi energi terbarukan terus meningkat dari 7,3 juta pada tahun 2012 menjadi 12,7 juta pada tahun 2021.

Meski terlihat lebih lambat dari kecepatan global, Indonesia tidak terkecuali dalam tren ini. Khususnya selama setahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen transisi energi yang semakin baik. Presiden mengeluarkan peraturan yang menempatkan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara (dengan beberapa pengecualian) dan merombak peraturan penetapan harga yang tidak menarik yang menghambat investasi energi terbarukan sejak 2017. Dua bulan kemudian, tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia diumumkan dalam bentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) selama KTT G20 di Bali. Komitmen JETP tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, tetapi komitmen ini jauh lebih ambisius daripada NDC. JETP berkomitmen untuk memobilisasi investasi senilai USD 20 miliar selama 3-5 tahun ke depan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.

Semua investasi yang dilakukan untuk transisi energi akan diterjemahkan menjadi kebutuhan sumber daya manusia. Hal ini terutama berlaku untuk investasi energi terbarukan yang umumnya lebih padat karya daripada industri fosil. IESR memperkirakan bahwa investasi untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050 akan menghasilkan sekitar 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 hanya di sektor ketenagalistrikan (tidak termasuk pekerjaan di kendaraan listrik, material berkelanjutan, dll.). Lapangan kerja akan meningkat menjadi 3,2 juta lapangan kerja pada tahun 2050. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja saat ini di sektor ketenagalistrikan yang berjumlah 270.000.Namun, Indonesia tampaknya agak tidak siap menghadapi transisi angkatan kerja. Pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk mengembangkan kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan dan penelitian tentang energi terbarukan cenderung menurun. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas perencanaan tenaga kerja, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, sejauh ini tidak disertakan dalam pembahasan transisi energi. Ketidaksiapan ini bahkan lebih krusial bagi ratusan ribu orang yang saat ini bekerja di industri pasokan bahan bakar fosil. Tidak semua dari mereka memiliki keterampilan yang dapat dialihkan yang dapat digunakan di sektor energi terbarukan, misalnya operator alat berat yang sebagian besar menyerap tenaga kerja di industri fosil. Suatu perangkat kebijakan yang lebih komprehensif dan koordinasi yang lebih baik di antara para pembuat kebijakan, terutama untuk melibatkan badan-badan yang bertanggung jawab atas pengembangan tenaga kerja, sangat diperlukan. Jika tidak, Indonesia mungkin kehilangan manfaat ekonomi (tenaga kerja) dari transisi energi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto milik Verhalenhuys di Unsplash