Kajian Baru Temukan Pembatalan Proyek PLTU Batubara Menjadi Cara Hemat Biaya untuk Pangkas Emisi Global

Mencegah pembangunan sembilan pembangkit listrik tenaga batubara yang direncanakan di Indonesia akan membendung hampir 300 juta ton emisi dengan harga kurang dari 80 sen per ton CO2, berdasarkan analisis IESR yang didukung oleh The Rockefeller Foundation

 

JAKARTA, INDONESIA, 30 Mei 2023 ―Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis sebuah analisis yang pertama kalinya di Indonesia mengenai  pengurangan pembangunan PLTU batubara, didukung oleh The Rockefeller Foundation.  Laporan Delivering Indonesia’s Power Sector Transition menemukan bahwa sembilan PLTU batubara  di Indonesia dapat dibatalkan dengan dampak yang minimal terhadap stabilitas dan keterjangkauan pasokan dan jaringan listrik, serta dapat menghindari sekitar 295 juta ton emisi CO2. Studi ini merekomendasikan pengurangan pembangunan PLTU batubara melalui pembatalan pembangkit listrik yang telah direncanakan, yang telah disepakati atau  kesepakatan awal  sebagai salah satu pendekatan yang paling hemat biaya dan berdampak positif terhadap lingkungan untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

“Kami mengembangkan pendekatan yang baru untuk melakukan analisis ini. Kami melihat satu demi satu dari setiap PLTU batubara  yang direncanakan di Indonesia. Berdasarkan sistem penilaian multi-kriteria, kami mengidentifikasi pembangkit listrik yang dapat dibatalkan, dan kemudian menilai implikasi hukum, keuangan, ketahanan sistem, keamanan energi, dan emisi karbon dari intervensi ini. Tim kami menggunakan citra satelit untuk melacak perkembangan pembangunan pembangkit listrik dari waktu ke waktu,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

“Terdapat sekitar  950 PLTU batubara yang direncanakan atau sedang dalam tahap pembangunan di seluruh dunia, yang jika dibangun, diprediksi akan menghasilkan emisi sekitar 78 miliar ton CO2 ke atmosfer selama siklus hidupnya,” ujar Joseph Curtin, Managing Director for Power and Climate, Rockefeller Foundation. “Analisis yang pertama kali dilakukan ini menggambarkan bahwa, dalam banyak kasus, terdapat pilihan yang lebih baik yang tersedia bagi para pembuat kebijakan, perusahaan utilitas, regulator, dan perencana sistem yang dapat mempercepat transisi dari bahan bakar fosil. Analisis ini juga dapat direplikasi di negara-negara lain yang memiliki jaringan pipa batu bara yang besar.”

Jika dibangun, kesembilan PLTU batubara, yang sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan, akan menyumbang hampir 3.000 megawatt (MW) kapasitas batubara, atau sekitar 20% dari total penambahan yang direncanakan di Indonesia. Analisis sistem tenaga listrik dilakukan dengan menggunakan tujuh model terpisah, yang mewakili tiap bagian dari jaringan listrik yang tersedia di Indonesia, untuk memeriksa keandalan sistem ketenagalistrikan dan keekonomian apabila pembatalan dilakukan. Analisis IESR menemukan pembatalan sembilan pembangkit listrik akan:

  • Mencegah 295 juta ton emisi CO2. Dengan USD 238 juta yang telah diinvestasikan hingga saat ini untuk sembilan pembangkit listrik tersebut, diperkirakan harga pengurangan karbon akan kurang dari 80 sen per ton emisi CO2  yang dapat dihindari.
  • Tidak mengorbankan stabilitas sistem, dan sebagian besar daya akan digantikan oleh pembangkit listrik yang sudah ada yang beroperasi dengan kapasitas yang lebih besar. Namun, skenario ini kemungkinan akan berpotensi  munculnya biaya tambahan dari operasi sistem tenaga listrik sebesar USD 2,5 miliar per tahun hingga tahun 2050. Perlu juga dicatat bahwa analisis IESR tidak memasukkan penambahan energi terbarukan ke dalam bauran energi, yang akan membantu mengurangi biaya pembangkitan rata-rata lebih lanjut.
  • Perlu memasukkan risiko hukum yang terkait dengan pembatalan sepihak dari setiap proyek Indonesia dan PLN sebagai perusahaan listrik Indonesia, yang telah diidentifikasi dalam studi ini. Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer, IPP) menikmati kontrak pembelian listrik jangka panjang dengan PLN dengan persyaratan yang menguntungkan, dan negosiasi akan diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa pembatalan tidak menyalahi perjanjian yang sudah ada. Dalam beberapa kasus,  menawarkan pengembang proyek opsi untuk mengganti tenaga listrik dengan energi terbarukan menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan. 
  • Tidak akan cukup untuk memenuhi target Indonesia’s Just Energy Transition Partnership (JETP).

Lebih dari dua pertiga listrik Indonesia saat ini berasal dari pembakaran batubara, dan dengan prediksi PLN akan adanya tambahan kapasitas sebesar 13.822 MW PLTU batubara pada tahun 2030, Indonesia menjadi negara dengan perencanaan pembangunan PLTU batubara yang terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India. Pada saat yang sama, melalui JETP,  Indonesia juga menargetkan untuk mencapai puncak emisi dari sektor energi sebesar 295 juta metrik ton CO2 per tahun pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission di sektor energi pada tahun 2050. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia dan International Partnership Group (IPG) menandatangani kesepakatan JETP pada tahun 2022, dan pada Maret 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menandatangani Nota Kesepahaman dengan Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) yang didanai oleh The Rockefeller Foundation, IKEA Foundation, dan Bezos Earth Fund. 

Laporan ini juga mencakup serangkaian rekomendasi lebih lanjut yang menguraikan pendekatan sistematis untuk mencapai net-zero emissions pada tahun 2050 atau lebih awal.

Kesiapan Ketenagakerjaan untuk Energi Terbarukan di Indonesia

Jakarta, Mei 2023 – Indonesia telah membuat komitmen penting untuk mencapai target iklim dan pembangunan, dan mulai memperhatikan pengurangan emisi karbon sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi dan sosial. Sebagai negara berkembang, komitmen untuk melakukan dekarbonisasi pembangunan sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi sangatlah penting, terutama bagi Indonesia yang telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,7% dalam rencana jangka panjangnya, Visi Maju 2045. Belum ada negara yang beralih ke status sebagai negara berpenghasilan tinggi sekaligus mengurangi emisi, terlepas dari fakta bahwa ini adalah tantangan implisit dari transisi rendah karbon (Bank Dunia, 2023). Memisahkan pertumbuhan ekonomi dari emisi karbon akan memerlukan perbaikan yang signifikan dan berkelanjutan dalam banyak aspek di luar masalah lingkungan, yang mencakup kebijakan ekonomi, sosial, inovasi, dan fiskal, untuk mendorong perubahan menyeluruh (Fankhauser & Jotzo, 2017; OECD, 2022). Kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sebagai salah satu indikator sosial ekonomi dan kesejahteraan, juga akan dipengaruhi oleh berbagai perubahan akibat dekarbonisasi, termasuk peningkatan penggunaan energi terbarukan dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Perubahan ini akan menggeser permintaan akan lapangan kerja ke arah aktivitas ekonomi dan sumber energi yang lebih bersih.

Bagaimana lapangan kerja energi dan sektor terkait di masa depan?

Secara global pada tahun 2019, lebih dari 65 juta orang dipekerjakan di sektor energi dan sektor terkait, dengan pangsa hampir 2% dari pekerjaan formal di seluruh dunia, di mana setengah dari tenaga kerja sektor energi dipekerjakan di teknologi energi bersih (IEA, 2019). Jumlah pekerja yang dipekerjakan di sektor energi pada tahun 2030 secara global dapat meningkat menjadi 139 juta di bawah skenario 1,5°C, termasuk lebih dari 74 juta di bidang efisiensi energi, kendaraan listrik, sistem/fleksibilitas daya, dan hidrogen; sementara saat ini lapangan kerja dunia dalam energi terbarukan mencapai 12,7 juta pada tahun 2021 (IRENA & ILO, 2022). Dengan demikian, masih banyak pekerjaan potensial dalam energi terbarukan secara global, termasuk di Indonesia, di mana kerugian di sektor bahan bakar fosil akan terkompensasi atau lebih oleh keuntungan energi terbarukan dan teknologi transisi energi lainnya.

Indonesia dapat melihat baik perubahan dalam potensi pekerjaan ramah lingkungan baru maupun perubahan dalam sifat pekerjaan yang ada – di mana tidak semua pekerjaan hijau di Indonesia memiliki persyaratan keterampilan yang tinggi, namun tren di negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan bahwa permintaan akan keterampilan yang berkaitan dengan ramah lingkungan tingkat lanjut akan meningkat, sehingga membutuhkan perubahan yang sepadan dalam pelatihan dan pendidikan (Bank Dunia, 2023). Sekitar 40 persen dari perusahaan Indonesia dilaporkan memiliki strategi hijau; 58 persen perusahaan melaporkan memiliki tim atau personel energi khusus. Sementara sekitar 37 persen perusahaan yang disurvei menunjukkan bahwa mereka memantau emisi dari penggunaan energi, hanya 15 persen yang menetapkan target energi dan emisi (IRENA & ILO, 2022), sedangkan kesempatan kerja juga muncul dengan meningkatnya jumlah perusahaan terkait energi terbarukan dan efisiensi energi di Indonesia. Pekerjaan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan meningkat selama masa transisi, dari 0,63 juta saat ini menjadi 0,74 juta pada tahun 2030 dan 1,07 juta pada tahun 2050, dengan bioenergi dan teknologi surya mendominasi pekerjaan energi terbarukan di Indonesia pada dekade pertama transisi ini (IRENA, 2023). Namun, di sisi penyiapan sumber daya manusia pada tahun 2022, belum ada perbaikan yang berarti dari tahun lalu, dan pemerintah belum menetapkan strategi yang jelas untuk mempersiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam transisi energi apalagi mempersiapkan tenaga kerja yang ada untuk beralih dari pembangkitan energi berbasis fosil ke yang terbarukan (IESR, 2022a).

Apa yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesiapan kerja?

Seiring muncul dan berkembangnya sektor energi terbarukan, tenaga kerja energi terbarukan yang terampil perlu muncul, dan untuk menutup kesenjangan keterampilan, diperlukan serangkaian kebijakan pasar tenaga kerja yang dirancang dengan baik serta program pendidikan dan pelatihan berwawasan modern (IRENA, 2023). Khususnya di Indonesia, tidak akan ada satu strategi yang cocok untuk semua guna meningkatkan kesiapan sumber daya manusia; dengan demikian, pendekatan umum dengan pemahaman dan tindakan lokal akan lebih kuat dalam konteks ini karena kondisi ketenagakerjaan dan demografi berbeda-beda. Pertimbangan kebijakan berdasarkan wilayah geografis atau spesifik dampak dan potensi perlu dipikirkan secara hati-hati dalam transisi energi di Indonesia, dengan mempertimbangkan beberapa hal dalam kebijakan hijau antara lain kebijakan industri dan perusahaan, kebijakan pengembangan keterampilan, kebijakan pasar tenaga kerja aktif, keselamatan dan kesehatan kerja kebijakan, dan kebijakan perlindungan sosial (ILO, 2023). Dalam gambaran yang lebih besar, kesiapan lapangan kerja merupakan salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan transformasi ekonomi dalam pembangunan rendah karbon. Selain itu, intervensi pemerintah, pendekatan transformasi, revitalisasi masyarakat, dan keunggulan komparatif diperlukan untuk memastikan pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan di wilayah yang terkena dampak transisi (IESR, 2022b).

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto oleh Heri Susilo di Unsplash