Keberanian Hapus Dilema Pengembangan Industri Energi Surya di Indonesia

Jakarta, 26 Juli 2023- Indonesia diharapkan dapat mengembangkan industri energi surya dalam negeri untuk mempercepat proses transisi energi. Hal ini disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sesi diskusi Indonesia Solar Summit 2023 (26/07). Menurutnya pemerintah perlu segera mengatasi ketersediaan data pasar untuk PLTS, isu bankability  atau kemampuan industri dalam memenuhi persyaratan bank untuk mendapatkan kredit usaha, persoalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 40% untuk produk PLTS domestik, dan keterbatasan rantai pasok untuk industri surya. Selain itu, keberanian untuk berinvestasi di industri energi surya akan menjadi penentu berkembangnya industri surya di Indonesia.

“Pihak regulator perlu mengumpulkan data pasar PLTS baru yang saat ini tersebar sehingga memberikan gambaran bagi investor yang ingin membangun pabrikan PLTS di Indonesia. Selain itu, saat ini di Indonesia produsennya belum ada yang Tier 1 atau yang memenuhi persyaratan bankability. Hal ini menyulitkan dalam memproduksi modul surya dengan tingkat efisiensi tinggi. Akan lebih bagus jika produsen industri surya yang sudah tier 1 dapat membangun pabrikan di Indonesia,” ungkap Fabby.

Ia menilai dengan diatasinya isu bankability maka akan mendorong lebih banyak proyek PLTS dengan kapasitas yang lebih besar masuk ke Indonesia, yang berujung pada penciptaan permintaan pasar pula.

Senada, Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi di Kemenko Marves pada kesempatan yang sama menuturkan keberadaan demand atau permintaan pasar terhadap energi surya perlu disiapkan lebih dahulu untuk membangun industri energi surya di Indonesia. Ia mengatakan intervensi pemerintah dalam menciptakan pasar energi surya dapat dilakukan melalui Just Energy Transition Partnership (JETP).

“Industri surya di Indonesia statusnya masih pioneer atau relatif belum berkembang pesat. Sementara itu, di sistem kelistrikan kita masih bergantung pada batubara. Kita sebenarnya ingin membangun industri surya untuk itu kita harus bangun demandnya. Kita melakukan intervensi melalui JETP dengan mengurangi ketergantungan kita terhadap fosil dan diisi oleh energi terbarukan, seperti PLTS. Demand  juga dapat dilihat di luar wilayah Indonesia, seperti di Singapura untuk listrik hijau dengan modul dan baterai diproduksi di Indonesia,” jelas Rachmat.

Pramudya, Wakil Direktur Perencanaan Pembangkit Tenaga Listrik Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia memprediksi bauran energi terbarukan di 2025 hanya akan mencapai 11,3% dari target 23%. Kesenjangan pencapaian target ini, menurutnya, dapat ditutupi dengan PLTS.

“PLTS mempunyai peluang karena pembangunannya dapat berlangsung dengan cepat. Kalau kami hitung untuk mencapai target bauran 23% energi terbarukan butuh 15 GW PLTS, namun apakah mungkin dapat mewujudkannya dalam 2 tahun karena masih ada tantangan dari sisi TKDN, dan juga kesiapan fleksibilitas jaringan untuk mengakomodasinya,” ungkap Pramudya.

Wilson W. Wenas, Praktisi PLTS, dari ISG Solar menuturkan setidaknya ada 3 strategi agar pengembangan industri surya di Indonesia dapat bertumbuh pesat. Pertama, menentukan teknologi energi surya yang ingin dikembangkan antara TOPcon, Heterojunction, Advanced Heterojunction dan TOPcon, dan Perovskite Solar Cell Tandem. Kedua, mempersiapkan riset dan pengembangan yang terkait dengan teknologi tersebut. Ketiga, sepakati dengan pembuat mesinnya, bukan dengan pembuat modul.

“Jika kita salah pilih teknologi dan pembuat mesin maka kita akan collapse,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Daniel Kurniawan, Spesialis Energi Surya, IESR menjelaskan investasi di teknologi polisilikon menjadi pilihan strategi untuk industri sel dan panel. Ia menegaskan untuk mengembangkan industri energi surya di Indonesia, harus ada pihak yang berani mengambil risiko untuk berinvestasi.

Upaya Berkelanjutan Percepatan Energi Surya di Indonesia

press release

Jakarta, 26 Juli 2023 – Indonesia Solar Summit 2023 diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta bersama lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR), menegaskan komitmen untuk mempercepat penyebaran tenaga surya di tanah air. Pemanfaatan energi surya secara signifikan mendorong Indonesia mencapai jalur nol emisi karbon (net zero emission,NZE), dengan penggunaan energi surya diproyeksikan sebesar 61% dari total sumber listrik pada tahun 2060. Sebuah studi terpisah sebelumnya oleh IESR menjelaskan, energi surya menjadi tulang punggung sistem energi nol emisi pada tahun 2050.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Arifin Tasrif memaparkan,  pengembangan energi surya menjadi strategi penting untuk mencapai 23% dari bauran energi terbarukan dalam dua tahun ke depan sebelum 2025. Namun, ia juga menekankan pentingnya memiliki akses ke teknologi dan pendanaan untuk berhasil memanfaatkan energi surya dan memenuhi target bauran energi terbarukan. Menurutnya, investasi energi surya akan mudah mengalir ke Indonesia jika permintaan di dalam negeri cukup signifikan.

“Terdapat dua isu penting yang menjadi dukungan dalam percepatan energi surya yaitu ketersediaan teknologi yang harus didukung industri dan ketersediaan pendanaan internasional serta dalam negeri yang perlu dimobilisasi. Target bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025, namun demikian, saat ini baru mencapai 12,5%, waktunya tinggal 2 tahun lagi untuk mengejar target tersebut. Kita juga ada target menurunkan emisi gas rumah kaca sekitar 290 juta ton di 2030 yang sudah ditingkatkan menjadi 358 juta ton. Untuk itu, beragam upaya dilakukan untuk pengurangan emisi antara lain melalui program dedieselisasi dan konversi kendaraan motor berbahan bakar fosil menjadi motor listrik,” jelas Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia.

Kemajuan adopsi energi surya di Indonesia masih lambat. Realisasi kapasitas terpasang PLTS pada tahun 2022 sebesar 271,6 MW atau jauh di bawah rencana sebesar 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM. Ada beberapa faktor yang menghambat pengadopsian energi matahari secara luas, termasuk masalah kepemilikan tanah, kurangnya pengalaman lokal dan tarif yang tidak menarik. Padahal,  potensi teknis energi surya mencapai 3.295 GWp, untuk itu percepatan penggunaan energi surya menjadi penting untuk mencapai target energi terbarukan dan NZE. Dalam jangka pendek, energi surya dibutuhkan sekitar 18 GW untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, dengan nilai investasi sebesar USD 14,1 miliar, berdasarkan studi BloombergNEF dan IESR

Dengan pengumuman dukungan Just Energy Transition Partnership (JETP) tahun lalu pada KTT G20 2022 di Bali, Indonesia – rencana investasi dan kebijakan yang komprehensif saat ini sedang disusun melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait, yang mencakup penghentian awal batu bara, langkah-langkah transisi yang adil, dan percepatan pengembangan energi terbarukan. Kemitraan senilai USD 20 miliar ini bertujuan untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan Indonesia pada tahun 2030, dan energi surya telah menjadi bagian penting dari perencanaan tersebut karena keuntungan tekno-ekonomi dan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Versi pertama dari rencana investasi akan diluncurkan pada Agustus 2023.

Rachmat Kaimuddin, Deputi Koordinator Bidang Transportasi dan Infrastruktur Kemenko Marves menekankan, untuk membangun industrialisasi energi surya, Indonesia perlu menyiapkan permintaan terlebih dahulu.

“Berkaca dari hal tersebut, kita mengintervensi dalam negeri, misalnya melalui JETP, bagaimana kita meminimalisir ketergantungan terhadap energi fosil, bisa dalam beberapa bentuk seperti mengurangi output pembangkit listrik berbasis batubara dan menciptakan permintaan baru,” jelasnya.

Ia juga menegaskan, kerja sama Indonesia dengan Singapura untuk listrik hijau mensyaratkan modul surya dan baterai harus diproduksi di Indonesia, sehingga permintaan yang muncul menjadi pemicu terbentuknya industri PLTS di Indonesia.

“Kita tidak ingin ke depan hanya impor. Kita berharap industri dalam negeri sudah terbentuk selama kita dalam proses transisi energi,” ujarnya.

Antha Williams, yang memimpin Program Lingkungan, Bloomberg Philanthropies menuturkan, untuk mengembangkan industri surya rumahan menjadi komponen kunci untuk memajukan transisi Indonesia menuju energi yang bersih, terjangkau, dan andal. 

“Dengan memupuk kemitraan internasional untuk memobilisasi modal dan meningkatkan kapasitas produksi tenaga surya dalam negeri, Indonesia memiliki potensi untuk mewujudkan tujuan jalur energi bersih-nol melalui penerapan proyek energi bersih secara cepat. Bloomberg Philanthropies menyambut baik kesempatan untuk mendukung tujuan Indonesia menjadi pemimpin dalam pengembangan energi surya,” terang Antha. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan,  selama dua tahun terakhir, pasar baru telah muncul, memanfaatkan energi surya tidak hanya untuk menjual listrik tetapi juga untuk menghasilkan produk bernilai tambah baru, seperti hidrogen hijau dan amonia. Berdasarkan data IESR, saat ini terdapat 10 proyek hidrogen hijau dan amonia yang telah dirintis sejak tahun lalu, dengan tujuan memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber listrik utama. Proyek-proyek tersebut saat ini sedang dalam tahap studi dan diharapkan dapat terealisasi dalam 2-3 tahun ke depan. Fabby juga menegaskan, pengalaman dari berbagai negara, termasuk beberapa negara berkembang, menunjukkan bahwa membangun pembangkit listrik tenaga surya skala Gigawatt dalam waktu satu tahun merupakan prestasi yang dapat dicapai.

Fabby menyoroti tiga faktor pendukung penting untuk mendorong pengembangan solar PV, “Pertama, dibutuhkan kemauan politik dan kepemimpinan yang kuat dan aktif dari pemerintah, serta penetapan kebijakan dan regulasi yang transparan dan berkelanjutan. Kedua, perlunya pengembangan ekosistem terpadu, yang meliputi penentuan standar kualitas dan jaminan modul surya, memastikan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan terlatih. Terakhir, sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur PV surya yang terintegrasi dan kompetitif.”

Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 menghadirkan kesempatan untuk melibatkan masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang manfaat adopsi energi surya. Kampanye penjangkauan publik, program pendidikan, dan inisiatif berbasis masyarakat dapat menginformasikan masyarakat tentang keuntungan lingkungan, manfaat ekonomi, dan kemandirian energi yang datang dengan penggunaan energi surya. Membangun dukungan dan pemahaman publik dapat memfasilitasi adopsi teknologi energi surya yang lebih luas. Selain itu, Keketuaan Indonesia dapat menjadi preseden adopsi energi surya di ASEAN melalui penyelarasan kebijakan, kerja sama regional, promosi investasi, dan inovasi. Keketuaan Indonesia di ASEAN menjadi waktu yang tepat untuk mempromosikan dan mendorong industri tenaga surya domestik dan rantai pasokan secara paralel dengan penerapan cepat proyek tenaga surya.