Air Berdaya Listrik di Desa Singapura

Palembang, 27 Februari 2024 Gemuruh arus Sungai Endikat yang mengalir deras dan cuaca mendung menyambut kedatangan rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan di muara Sungai Cawang, yang juga dikenal sebagai Muara Endikat, di Desa Singapura, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Wilayah ini tidak hanya menawarkan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga menyimpan potensi besar dalam penyediaan energi listrik bagi penduduk setempat.

Dengan jarak sekitar 1 hingga 1,5 jam perjalanan dari Kota Pagar Alam, rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan tiba di PLTMH Green Lahat. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) ini telah beroperasi sejak tahun 2015. PLTMH Green Lahat memiliki kapasitas produksi energi listrik sebesar 3×3,3 Megawatt (MW), yang berarti total kapasitasnya mencapai 9,9 MW. 

“Dari total energi yang dihasilkan, sebanyak 7 MW dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kota Pagar Alam, yang merupakan sekitar 70% dari total produksi. Sementara sisanya, sebesar 30%, didistribusikan ke Kabupaten Lahat,” ujar Plant Manager PLTMH Green Lahat, Kastiono. 

Bersebelahan dengan PLTMH Green Lahat, juga telah dibangun PLTMH Endikat (sama-sama di bawah perusahaan induk PT Manggala Gita Karya) dengan kapasitas 3 x 2,67 MW yang beroperasi pada 2022. Kedua produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) itu memanfaatkan aliran Sungai Endikat untuk menghasilkan energi listrik yang dijual ke PLN hingga nanti dimanfaatkan masyarakat.

Kastiono memaparkan, sebelum PLTMH dibangun, warga sekitar pembangkit, baik yang masuk wilayah Kota Pagaralam maupun Kabupaten Lahat, memang kerap mengalami penurunan tegangan listrik. Rendahnya kualitas kelistrikan itu dipengaruhi, antara lain, oleh lokasi yang terlalu jauh dari gardu induk sehingga tegangan listrik menjadi tak stabil. Lebih lanjut, Kastiono mengakui, produksi listrik dari PLTMH Green Lahat tergantung dari kondisi di sekitar hulu sungai. 

”Yang utama penghijauan di hulunya. Semua perlu kontrol serta tak ada pembalakan liar, tetapi kewenangan menjaga tutupan hutan pada daerah aliran sungai, kan, juga melibatkan instansi lain,” katanya.

Rizqi Mahfud Prasetyo, Koordinator Proyek Sub Nasional, Program Akses Energi Berkelanjutan,IESR menjelaskan menurut kajian IESR, Indonesia memiliki potensi PLTM/MH mencapai 27,8 GW, di mana sebesar 287,7 MW terdapat di Sumatera Selatan. 

“Selain dapat meningkatkan bauran energi terbarukan pada listrik PLN. PLTM dapat meningkatkan kualitas akses energi masyarakat yang mungkin belum terjangkau oleh jaringan PLN,” ujar Rizqi.

Rizqi juga menambahkan bahwa kondisi geografi dan topografi sebagian wilayah Indonesia yang berkontur memungkinkan adanya aliran sungai dan terjunan sungai. Aliran sungai memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, salah satunya di PLTM Green Lahat yang memanfaatkan aliran sungai Endikat.

Keberadaan PLTMH Green Lahat dan PLTMH Endikat membawa harapan bagi pemukiman di Sumatera Selatan, tidak hanya dalam penyediaan energi listrik yang andal, tetapi juga dalam memperkuat infrastruktur dan perekonomian lokal. Dengan berjalannya waktu, diharapkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini dapat terus memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Mendorong Transisi Energi pada Sektor Industri di Sumatera Selatan

Jelajah Energi Sumatera Selatan

Palembang, 26 Februari 2024 – Energi merupakan kebutuhan pokok bagi individu maupun kelompok komunal dengan berbagai tujuan. Meskipun energi merupakan hal yang melekat pada hidup manusia, belum banyak orang yang tahu bahkan kritis dengan sumber energi (seperti listrik) yang digunakan sehari-hari.

Pada skala yang lebih besar seperti sektor industri, kebutuhan energi akan berbanding lurus dengan produktivitas dan kontribusi ekonomi dari produk yang dihasilkan. Agak berbeda dengan penggunaan energi pada skala rumah tangga, penggunaan energi pada sektor industri relatif cukup terpantau. Secara kesadaran terhadap sumber energi,  industri cenderung lebih memahami sumber energi yang mereka pilih. 

Dalam upaya untuk mempromosikan pemanfaatan energi terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumatera Selatan menyelenggarakan aktivitas Jelajah Energi Sumatera Selatan selama satu pekan mulai dari Senin, 26 Februari 2024 hingga Jumat 1 Maret 2024. Aktivitas ini juga merangkul awak media sebagai mitra strategis dalam meningkatkan literasi publik terhadap transisi energi. 

Rangkaian acara diawali dengan lokakarya pengantar untuk memberikan pemahaman pada peserta tentang energi dan lanskap energi Sumatera Selatan, yang berperan sebagai “lumbung energi”. Namun, dominan energi yang dimanfaatkan  adalah energi fosil berupa batubara. Sementara, selain sumber energi fosil, Provinsi Sumatera Selatan juga memiliki potensi teknis energi terbarukan mencapai 21.032 MW, hanya saja baru termanfaatkan sekitar 4,7% atau 989 MW.

Rizqi M. Prasetyo, Koordinator Proyek Sub-Nasional IESR menjelaskan dengan potensi energi terbarukan yang dimiliki Sumatera Selatan, dapat diciptakan proyek-proyek yang membawa manfaat bagi masyarakat.

“Salah satu (praktik baik, red) yang telah dilakukan di Sumatera Selatan ini  adalah inisiasi swasta untuk menggunakan PLTS untuk menggerakkan pompa air irigasi lahan,” kata Risky.

Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Sumatera Selatan, Ahmad Gufran, menyampaikan bahwa pihaknya terbuka akan berbagai ide untuk menggunakan energi terbarukan lebih besar.

“Kami akan terus berkontribusi dalam pengembangan sektor energi terbarukan untuk mendapatkan energi bersih yang ramah lingkungan. Ke depannya, kami berharap pemanfaatan energi bersih dapat lebih berkembang ke seluruh lapisan masyarakat,” ujar Ahmad Gufan.

Perwakilan Peserta Jelajah Energi Sumatera Selatan

 

Setelah mendapatkan lokakarya pengantar umum, perjalanan Jelajah Energi pun dimulai dengan mengunjungi PT Pupuk Sriwidjaja (PUSRI). PT PUSRI merupakan produsen pupuk pertama di Indonesia dan telah beroperasi sejak era 1970-an. Mengingat masa operasional perusahaan yang sudah cukup panjang, maka aset-aset produksi pun telah memasuki masa revitalisasi. Hal ini juga digunakan untuk memilih jenis teknologi yang lebih bersih untuk masa operasional ke depan.

VP Lingkungan Hidup PUSRI Palembang, Yusuf Riza, menjelaskan dalam upaya sejalan dengan agenda pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) PT PUSRI melakukan sejumlah langkah antara lain menerapkan praktik efisiensi energi, penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional di lingkungan pabrik, hingga pemasangan PLTS atap secara on-grid untuk operasional kantor.

“Saat ini kami sudah memasang PLTS atap sebesar 110 kWp secara on grid sebagai sumber energi di gedung kantor, dan tahun ini (2024, red) kami berencana untuk menambah kapasitas PLTS kami sebanyak 100 kWp. Sehingga total kami akan memiliki kapasitas PLTS sekitar 210 kWp,” kata Yusuf.

Tatkala Energi Panas Bumi Menerangi Bumi Sriwijaya

Palembang, 29 Februari 2024 –  Sebuah perjalanan panjang dan berliku pada Kamis pagi telah membawa rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan menuju Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) di Lumut Balai, Muara Enim, Sumatera Selatan. Dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar 4 jam dari Kota Muara Enim, rombongan disambut dengan cuaca dingin karena lokasi PLTP yang terletak di atas bukit. Dengan kondisi geografis yang menantang, PLTP Lumut Balai Unit I setidaknya berada di ketinggian 2.055 meter di atas permukaan laut, menjadi saksi bisu dari keajaiban energi panas bumi. 

Pejabat sementara (Pjs) General Manager PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) Area Lumut Balai, Aris Kurniawan menjelaskan, pihaknya berkomitmen untuk menyediakan akses energi bersih yang handal dan terjangkau kepada seluruh masyarakat Indonesia.  Saat ini PLTP Lumut Balai Unit 1 memiliki kapasitas terpasang sebesar 55 MW telah menyuplai listrik untuk kebutuhan 55.000 rumah di sekitar wilayah kerja PGE, dan  sambil mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 300.000 ton karbon dioksida (CO2) sejak mulai beroperasi pada tahun 2019.

“PLTP Lumut Balai terus bergerak maju. Pada tahun 2024, targetnya adalah menyelesaikan konstruksi unit 2 PLTP Lumut Balai untuk kemudian melanjutkan tahap commissioning. Saat ini, unit 2 sudah masuk tahap EPCC (engineering, procurement, construction, commissioning) atau konstruksi pembangkitnya. Desember 2024 diharapkan masuk fase commissioning hingga nantinya dilanjutkan operasi komersial (commercial on date). Sejauh ini, masih on track,” ungkap Aris.

Aris menyatakan, PLTP Lumut Balai terletak di wilayah kerja panas bumi (WKP) Lumut Balai dan Margabayur, Sumsel, dengan potensi yang telah terpetakan mencapai 270 MW. Dengan pengembangan Proyek LMB Unit-2, kapasitas terpasang untuk Area Lumut Balai akan meningkat menjadi 110 MW, setara dengan menerangi 110.000 rumah.

“Melalui proyek-proyek di Lumut Balai, kami memiliki tujuan untuk memitigasi risiko perubahan iklim dan mendukung Indonesia dalam mencapai 23% dari national grid mix sumber energi terbarukan di tahun 2025. Dengan fokus pada inovasi dan efisiensi, PGE berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon secara lebih besar di masa mendatang untuk mendukung Indonesia Net Zero Emission 2060,” papar Aris. 

Tim Jelajah Energi Sumatera Selatan bersama tim Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Lumut Balai

Aris menekankan bahwa selain melalui kesuksesan transisi energi dengan optimalisasi pengembangan geothermal sebagai energi hijau, PGE juga siap berkontribusi terhadap inisiatif bursa karbon. Inisiatif ini menjadi alat yang dapat mendorong pengurangan emisi secara efisien dan memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan untuk berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

“Hingga September 2023, PGE telah berkontribusi pada pasar karbon domestik dengan menerbitkan 864.209 ton CO2 ekuivalen (CO2eq), dan ini merupakan proyek karbon panas bumi pertama di bursa karbon,” ujar Aris. 

Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, diantara wilayah kerja panas bumi (WKP) yang ditetapkan pemerintah, WKP Lumut Balai merupakan salah satu unggulan karena memiliki potensi panas bumi mencapai lebih dari 300 MW, yang mana 55 MW telah beroperasi sejak 2019 dan unit lainnya sedang dibangun dan akan rampung pada Desember 2024. Apabila potensi panas bumi ini dimanfaatkan secara baik, Indonesia akan mampu memiliki 23.7 GW energi bersih dan mencapai emisi nol bersih pada 2060, atau lebih cepat. 

“Sayangnya, tak banyak masyarakat yang mengetahui potensi yang berlimpah ini, dan justru masih banyak yang memilih energi  dari bahan bakar fosil. Maka dari itu, IESR bekerja sama dengan Dinas ESDM Sumatera Selatan mengadakan Jelajah Energi ini untuk menyebarkan luaskan informasi ini kepada masyarakat. Sehingga diharapkan, masyarakat Indonesia menjadi lebih bijak dalam menggunakan energi listrik dan sejenisnya, dan kemudian bisa bersama-sama mengawal kebijakan pemerintah dalam mendorong transisi energi Indonesia menjadi lebih hijau dan berkelanjutan,” jelas Faricha. 

Menelusuri Pemanfaatan Energi Terbarukan di Bumi Sriwijaya

Palembang, 27 Februari 2024 Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumatera Selatan mengadakan Jelajah Energi, sebuah acara untuk menjelajahi potensi dan implementasi energi terbarukan di wilayah Sumatera Selatan. Jelajah Energi Sumatera Selatan telah dilaksanakan mulai hari Senin, 26 Februari – 1 Maret 2024. Pada hari kedua, tim Jelajah Energi melihat langsung pemanfaatan energi surya di PLTS Jakabaring dan biomassa di PT Buyung Poetra Energi.

PLTS Jakabaring, sebuah proyek yang merupakan hasil kerjasama antara Indonesia dan Jepang melalui Joint Crediting Mechanism (JCM), untuk memenuhi kebutuhan listrik pada pelaksanaan Asian Games 2018. Nilai total investasi proyek ini mencapai USD 139 juta, dengan sebagian besar dana berasal dari investasi swasta Indonesia dan subsidi dari Pemerintah Jepang. 

Ali Kartiri, Manajer Operasional PT Sumsel Energi Gemilang, yang bertanggung jawab atas PLTS Jakabaring menuturkan, inisiatif pembangunan PLTS Jakabaring berasal dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Dalam kerjasama dengan Sharp Jepang, proyek ini berhasil memperoleh subsidi dari Pemerintah Jepang, sebagian besar dialokasikan untuk pendanaan teknologi dan infrastruktur yang mendukung target penurunan emisi gas rumah kaca.

“PLTS Jakabaring menghasilkan energi listrik hingga 2 Megawatt (MW) ketika sinar matahari mencapai puncaknya. Namun, pada musim hujan, produktivitas PLTS ini terkadang terpengaruh, hanya mampu menyerap sekitar 10% energi surya. Sejak beroperasi komersial pada tahun 2018, PLTS Jakabaring telah berhasil terintegrasi ke dalam jaringan PLN, menyumbangkan energi terbarukan untuk masyarakat setempat,” ujar Ali. 

Sementara itu, tim Jelajah Energi turut berkunjung ke PT Buyung Poetra Energi (BPE), yang telah mengembangkan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) merupakan inisiatif perseroan terhadap kepedulian untuk terus menjaga kelestarian lingkungan. Candra Priansyah, Supervisor Operasional PT BPE, menjelaskan bahwa PLTBm ini menggunakan sekam padi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Dengan pendekatan ini, limbah yang sebelumnya menjadi masalah lingkungan kini menjadi sumber energi yang berguna.

Rombongan Jelajah Energi Sumsel di PLTS Jakabaring
Rombongan Jelajah Energi Sumsel di PLTS Jakabaring

“Limbah  dari produksi (penggilingan padi, red) itu berupa sekam awalnya akan dibakar di boiler untuk menghasilkan uap. Kemudian, uap ditransfer ke steam turbin untuk menjalankan generator Untuk pembangkit listrik ini dibutuhkan 4 ton sekam/jam dengan kapasitas 3 MW. Tetapi, tidak semua sekam digunakan untuk pembangkit. Dari persediaan sekam yang ada, hanya sekitar 70% untuk pembangkit dan 30% untuk pemanas dalam mengeringkan gabah padi,” ujar Candra. 

Dengan kondisi demikian, kata Candra, seluruh limbah sekam di PT BPE termanfaatkan dan tidak ada yang dibuang ke lingkungan. Tak hanya itu, listrik yang dihasilkan dari PLTBm ini cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Candra berharap,  adanya pembangkit listrik ini bisa mengurangi sampah-sampah kulit padi khususnya dari pabrik di Sumatera Selatan. Selama ini kulit padi dibuang ataupun hanya dibakar saja. Tak hanya itu, pihaknya juga membuat mesin pengepres hasil samping sekam padi menjadi pellet di Pabrik Subang, Jawa Barat. Pellet ini nantinya dijual untuk pabrik semen sebagai bahan bakar. 

Kunjungan ini memberikan gambaran yang jelas tentang komitmen Sumatera Selatan dalam mengembangkan energi terbarukan sebagai bagian dari solusi untuk tantangan lingkungan global. Dengan kolaborasi antara sektor publik dan swasta, serta dukungan dari pemerintah asing, Sumatera Selatan terus bergerak maju menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Koalisi Masyarakat Sipil: Aturan Baru Sektor Energi Pukul Mundur Komitmen Transisi Energi

press release

Jakarta, 8 Maret 2024 – Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menjalankan transisi energi, menyusul sejumlah regulasi yang dinilai menjadi disinsentif peralihan ke energi terbarukan. Sejumlah regulasi ini yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, Peraturan Presiden (Perpres) soal penangkapan dan penyimpanan karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS atap) memuat dua perubahan yang justru akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pertama, ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PT PLN (Persero) tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Kedua, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.

Persoalannya, ekspor listrik ke jaringan PLN merupakan daya tarik PLTS atap. Tanpa ketentuan ini, masyarakat perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk memasang baterai. Tak hanya itu, jangka waktu pengembalian modal PLTS atap juga akan lebih panjang menjadi 9-10 tahun. Padahal, dengan ketentuan ekspor kelebihan listrik 100% seperti pada beleid yang saat ini berlaku, biaya pemasangan PLTS atap bisa kembali dalam empat hingga lima tahun.

“Regulasi ini sebuah kemunduran, lantaran akan menurunkan partisipasi masyarakat untuk memasang PLTS atap. Pasalnya, tidak hanya menghambat konsumen rumah tangga, aturan baru ini juga mempersulit industri yang ingin memasang PLTS atap. Artinya, aturan baru PLTS atap ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari komitmen untuk melakukan transisi energi,” kata Jeri Asmoro, Digital Campaigner 350.org Indonesia.

Padahal, menurut Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara, antusiasme masyarakat terhadap pemasangan PLTS atap di area rural dan urban sudah cukup tinggi. Contohnya, pemasangan PLTS atap menjadi upaya masyarakat Desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat dan komunitas Masjid Al-Muharram Taman Tirto Yogyakarta, untuk mencapai mimpi mandiri energi.

Saya yakin banyak masyarakat lain yang ingin memasang PLTS atap di rumahnya atau bahkan diberdayakan untuk kolektif di masyarakat. Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat,” tegas Reka.

Senada, Hadi Priyanto, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, mengungkapkan bahwa transisi energi berkeadilan hanya bisa direalisasikan jika masyarakat dilibatkan. “Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci agar target bauran energi bisa tercapai, namun dengan berbagai revisi aturan yang ada semakin menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya transisi energi. Prinsip keadilan dan demokratisasi energi yang selama ini digaungkan dalam program JETP hanya akan menjadi omon-omon tanpa langkah nyata untuk melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil,” tambahnya. 

Sama halnya dengan Permen PLTS atap, draft RPP KEN berisikan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19% pada 2025 juga menghambat percepatan transisi energi. Dalam dokumen Dewan Energi Nasional (DEN) soal draft RPP KEN, bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-21%, dan hanya akan meningkat pada 2040 menjadi 38-41%.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, draft RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini 7-10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5°C sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Jadi, RPP KEN mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditarget pemerintah.

Puncak emisi yang tertunda berarti Indonesia harus mengakselerasi transisi energi dalam kurun waktu yang lebih pendek (setelah 2035), sehingga biaya dan dampak sosial akan lebih besar dan sulit dimitigasi. Draf ini juga sudah berdampak pada perspektif berbagai aktor, seperti investor dan pengembang energi terbarukan, terkait keseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. 

“Hal ini juga menandai bahwa penurunan target bauran energi primer pada 2025 dan 2030, terutama porsi energi terbarukan seperti surya dan angin, dapat menghambat gotong royong transisi energi. Pasalnya, energi terbarukan yang bisa memungkinkan demokratisasi energi seperti energi surya, porsinya kecil. Dukungan lebih besar justru diberikan ke proyek skala besar seperti pembangkit fosil dengan teknologi penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage, CCS)  ataupun nuklir. Jadi draft RPP KEN kurang memihak transisi energi bersama masyarakat,” ujar Deon Arinaldo.

Rencana perubahan KEN juga bertentangan dengan komitmen Kesepakatan JETP Indonesia yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih dari 44% pada 2030. Perubahan KEN dikhawatirkan akan berimbas pada revisi komitmen JETP tersebut. Selain itu, sebagai payung besar perencanaan energi nasional, draft RPP KEN juga berpotensi melemahkan upaya-upaya transisi ke energi terbarukan yang telah dijalankan di daerah.

Karpet Merah Solusi Palsu

Tak hanya menjadi disinsentif bagi pengembangan energi terbarukan, kebijakan pemerintah justru mendorong solusi palsu sebagai strategi transisi energi. Langkah ini sangat fatal lantaran dapat mengunci Indonesia pada ketergantungan energi fosil, yang berujung pada kegagalan mencapai netral karbon.

Dalam revisi KEN misalnya, hingga 2060, pemerintah masih berencana mengoperasikan pembangkit listrik berbasis energi fosil dan ‘menghijaukannya’ dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Selain itu, pemerintah juga berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 2032, serta pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi dan rumah tangga hingga 2060.

Dukungan pemerintah terhadap solusi palsu juga ditunjukkan dengan diterbitkannya Perpres No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Regulasi ini membuka kesempatan bagi perusahaan untuk menyuntikkan dan menyimpan emisi karbon ke reservoir bawah tanah. Padahal, Laporan IEEFA menunjukkan, dari 13 proyek CCS dengan total 55% kapasitas dunia, sebanyak tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya. Penerapan teknologi CCS dikhawatirkan menjadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil.

Ketiga regulasi tersebut menimbulkan pertanyaan terkait seberapa serius pemerintah mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini mengingat, dalam lima tahun terakhir, capaian bauran energi terbarukan nasional selalu di bawah target. 

“Regulasi akan menjadi landasan hukum jangka panjang untuk memastikan langkah-langkah transisi energi dilakukan secara sah. Kalau landasan hukumnya dibuat justru berkebalikan dengan target yang diucapkan pemerintah, lalu komitmen transisi energinya di mana? Kalau regulasinya justru terus menerus diarahkan untuk tetap memanfaatkan energi fosil, investor yang tertarik untuk berbisnis energi terbarukan akan mundur karena tidak mendapat kepastian hukum. Padahal masalah kita justru ada pada kepastian hukum,” kata Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH.

Untuk mendapatkan materi dari pembicara, bisa dilihat di link ini