GEN-B: Mangrove Menjadi Bukti Tekad Menurunkan Emisi Pribadi

Jakarta, 27 Maret 2024– Iring-iringan rombongan berbaju hijau lumut terlihat memadati jalan di sekitar Gambir, Jakarta Pusat. Tulisan di baju mereka menandakan identitas mereka sebagai Generasi Energi Bersih. Beberapa dari mereka membawa papan ajakan untuk siapapun yang melihat, agar mengurangi emisi pribadi. Raut muka mereka tampak segar dengan usia yang rata-rata belia. Sekitar 350 orang muda berkumpul untuk bertindak mengurangi emisi sebagai biang penyebab krisis iklim di dunia.

Didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Generasi Energi Bersih (GEN-B) Jakarta Selatan bekerja sama dengan GEN-B Jakarta, dan UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina, menggerakkan anak-anak muda di sekitar Jakarta. Mereka ambil andil dalam jalan santai dan upaya pengurangan emisi dengan penanaman mangrove. Beranjak dari Gambir, serentak rombongan menuju kawasan ekowisata mangrove di Pantai Indah Kapuk.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  yang turut dalam gerakan penanaman mangrove ini mengungkapkan kegiatan ini diprakarsai oleh GEN-B yang telah menggunakan jejakkarbonku.id untuk menghitung emisi yang mereka hasilkan sehari-hari. Para anak muda yang tergabung di GEN-B lalu mengumpulkan uang dan donasi untuk melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset. Salah satu cara yang mereka lakukan ialah dengan menanam mangrove. 

“Penanam mangrove ini merupakan bentuk nyata dari kepedulian generasi muda kita bahwa kegiatan  yang mereka lakukan sehari-hari punya dampak terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain kesadaran mengurangi emisi gas rumah kaca, melalui kegiatan sehari-hari, seperti mematikan lampu dan mengurangi sampah, mereka juga melakukan offset. Diharapkan dengan menanam mangrove bisa menyerap emisi gas rumah kaca yang ada di atmosfer,” jelas Fabby.

Fabby berharap, kegiatan serupa dapat pula dilakukan di tempat lain, karena GEN-B telah tersebar di sembilan kota, termasuk Bandung, Yogyakarta, Bali, and Bogor.

“Kesadaran untuk melakukan penurunan emisi dimulai dari diri sendiri bisa dimiliki oleh semua anggota GEN-B. Mereka juga dapat menjadi sumber informasi atau bisa menginspirasi peers (rekan sebaya-red) mereka untuk melakukan hal serupa, sehingga kita punya generasi yang punya kesadaran untuk penurunan emisi GRK untuk  mencegah terjadinya krisis iklim,” imbuh Fabby.

Senada, Ketua GEN-B Jakarta Selatan, Riko Andriawan menuturkan penanaman 350 bibit mangrove akan mampu berkontribusi terhadap penyerapan emisi. 

“Pengurangan emisi tidak perlu biaya mahal, tapi bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri misalnya dengan menggunakan kendaraan umum untuk wilayah perkotaan, tidak menggunakan plastik sekali pakai, selalu menggunakan tumbler, tidak menggunakan listrik secara berlebihan di rumah. Generasi muda perlu menyadari pemanasan global dan mengerti caranya dalam mengurangi emisi,” tutur Riko.

Ketua GEN-B Indonesia, Maya Lynn melanjutkan bahwa tantangan terbesar bisa jadi berasal dari diri sendiri.

“Penyadaran tentang jejak karbon perlu dimulai dari diri sendiri. Kita dapat menghitungnya menggunakan jejakkarbonku.id sehingga dapat melihat berapa besar jejak emisi yang kita tinggalkan di bumi.”

Kolaborasi dengan GEN-B Jakarta Selatan, diakui oleh Nur Azizah dari UKM Riset dan Karya Ilmiah Heuri Cosmos Universitas Pertamina merupakan kesempatan baik. Pihaknya telah mendukung energi terbarukan dan penurunan emisi melalui riset dan karya ilmiah. Keterlibatannya di penanaman mangrove menjadi aksi nyata untuk membuat bumi lebih hijau.

Mendorong Dekarbonisasi Industri Mulai dari Gaya Hidup Konsumen

Jakarta, 22 Maret 2024 – Kenaikan suhu bumi merupakan suatu fenomena tak terelakkan (inevitable) sebagai akibat dari berbagai kejadian alam hingga aktivitas dan gaya hidup manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab naiknya suhu bumi. 

Penemuan mesin uap pada 1880 membuat perubahan monumental pada kehidupan manusia dengan dimulainya industrialisasi. Berkembangnya industri ternyata dibarengi dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).  

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2022 mencatat adanya kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsius. Hal ini merupakan suatu peringatan bagi umat manusia untuk segera mengambil langkah-langkah pengendalian kenaikan suhu untuk menahan kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan kenaikan suhu bumi dapat memicu salah satunya bencana hidrometeorologi yang frekuensinya akan semakin tinggi.

“Selain masalah lingkungan, dampak ikutan lainnya adalah biaya kesehatan yang akan naik seiring dengan meningkatnya penyakit terutama yang menyerang kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan rumah tangga miskin,” jelas Faricha.

Meski merupakan salah satu sektor penyebab naiknya emisi GRK, sektor industri memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan. Sehingga diperlukan langkah dan upaya strategis untuk melakukan dekarbonisasi pada sektor industri. 

Pada tahun 2021, emisi sektor industri merupakan sektor penghasil emisi kedua terbesar setelah pembangkitan listrik. Jika tetap menggunakan skema business as usual tanpa intervensi apapun, nilai emisi di sektor industri akan naik dua kali lipat pada tahun 2050.

“Sektor industri menyumbang emisi lebih dari 300 juta ton CO2 pada tahun 2021, dengan sumber emisi tertinggi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi,” tambah Faricha.

Meskipun telah ada regulasi yang mendorong industri untuk mempraktikkan prinsip berkelanjutan, namun implementasinya belum diwajibkan. Bahkan Bagi industri yang secara mandiri memiliki inisiatif untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, belum ada sistem insentif bagi mereka.

Faricha melanjutkan, selain melalui advokasi kebijakan pada pemerintah, konsumen dapat berkontribusi salah satunya dengan memilih produk-produk yang diproduksi dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Konsumen juga dapat menuntut pada produsen atau industri untuk mulai menerapkan prinsip berkelanjutan pada proses produksinya.

Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.