JawaPos.com – Target Presiden Joko Widodo mewujudkan pembangkit listrik 35 ribu mega watt (MW) dinilai sulit. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Reform (IESR) Fabby Tumiwa program mega proyek sulit terealisasi selama lima tahun ini, jika merujuk pada pengalaman sebelumnya.
Di era Presiden SBY, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sulit menyelesaikan proyek 10 ribu MW. Dari penambahan 18 ribu MW, hanya mampu terealisasi 7 ribu MW.
“Kalau berkaca tahun lalu, mungkin tak realistis. Karena selama lima tahun target 18 ribu MW tidak tercapai. Malah lima tahun ini bertambah dua kali lipatnya,” ujar Febby usai acara diskusi Energi Kita di Hall Dewan Pers, Jl. Raya Kebon Sirih No.32-34, Jakarta Pusat.
Meski demikian, ia mengaku kelemahan era pemerintahan SBY terletak permasalahan mulai dari pembebasan lahan, investasi swasta, pembiayaan, transmisi dan lainnya.
“Ini pelu diingat tapi sepertinya sudah diantisipasi dan identifikasi pemerintah ketika diluncurkan akhir tahun lalu. Saya melihat dibentuknya UP3KN (Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional), tugas utama mengurai masalah,” sebutnya.
Untuk itu, kata pria berdarah Sulut, tugas pembangkit listrik ini bukan hanya di pundak PLN atau Kementerian ESDM, tapi ada di tangan kementerian lain. Misalnya, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai pelaksana UU Kehutanan harus ikut bersinergi. Karena terkait dengan peraturan pemerintah pembangunan pembangkit, transmisi serta distribusi listrik di dalam kawasan hutan.
“Itu kan domain Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Artinya kalau mau mengubah yang ada dalam PP, harus dikoordinasikan,” saran Febby.
Selain itu kata Tumiwa, Menteri ESDM ikut memudahkan proses dengan mengeluarkan Permen nomor 3 Tahun 2015.
“Salah satu pasal berisi tentang mempercepat proses administrasi pengadaan pembangkit listrik untuk pembangkit yang sifatnya ekspansi diberikan kemudahan, dengan penunjukan lansung,” katanya.
Kemudian, untuk pemilihan langsung menjadi kewenangan PT PLN sebagai penanggungjawab program 35 ribu MW. PLN mempunyai kewenangan negosiasi dan langsung investasi pembangkit listrik dengan swasta.
“Dulu PLN dan swasta negosiasi tapi keputusan ada di tangan menteri. Itu biasanya ada delay setahun dua tahun. Negosiasi berhenti di PLN, swasta-PLN setuju maka PPA sudah bisa dilanjutkan dan tak perlu keputusan Menteri ESDM. Cara ini waktunya dipangkas sehingga investasi lebih cepat,” bebernya.
Selain itu, kata Febby, proses perizinan juga dirampingkan dari 50 perizinan menjadi 30 buah.
“Terobosan yang dibuat sembilan bulan terakhir diharapkan mampu mengubah dari yang tak realistis menjadi realistis. Dan akhir 2019 Indonesia punya kapasitas pembangkit baru.”
Oleh karena itu, Febby menunggu terobosan-terobosan pemerintah untuk mencapai program antisipasi yang dibangun secara bertahap lima tahun mendatang. “Kita lihat saja, apa terobosan cukup bagus atau tidak,” tukasnya.(hyt/jpg)
Sumber: jawapos.com.