Menilik Potensi dan Tantangan dalam Perjalanan Indonesia Capai Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Jakarta, 27 Juli 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) dan International Clean Energy Forum (ICEF) mengadakan diskusi daring bersama pakar energi untuk membahas strategi-strategi untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Diskusi daring ini merupakan bagian dari Road to Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 yang akan diadakan pada tanggal 18-20 September 2023. 

Deon Arinaldo, Manajer Transformasi Energi IESR menjelaskan,  Indonesia Energy Transition Dialogue merupakan sebuah acara tahunan yang  secara konsisten mendorong dialog rekomendasi kebijakan bagaimana sebenarnya transisi energi di Indonesia tercapai. Lebih lanjut, Deon menekankan pentingnya membahas tentang strategi untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di tahun 2025.

“Indonesia memiliki strategi untuk mencapai target energi terbarukan (ET), salah satunya membangun pembangkit ET di sektor supply (tenaga listrik) dan meningkatkan bauran biofuel untuk mengganti biodiesel. Namun sekarang dalam bauran lebih menggunakan hydro dan panas bumi, sedangkan untuk mencapai keduanya dalam waktu dua tahun agak sulit untuk terealisasi. Maka kita butuh strategi lainnya,” ujar Deon.

His Muhammad Bintang, Peneliti IESR menyampaikan kondisi perkembangan energi terbarukan di Indonesia. Meskipun telah memiliki target, penggunaan potensi energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah dan sejak tahun 2018 belum ada target yang tercapai.

“Dari tahun 2018, target bauran energi terbarukan di Indonesia belum tercapai, namun setiap tahunnya, targetnya selalu ditambah. Salah satu penyebabnya adalah pemanfaatan energi terbarukan yang masih rendah. Pemanfaatan energi surya dan bayu, jika dibandingkan dengan potensinya hanya mencapai 0,02% (0,03%  apabila ditambah dengan bioenergi,red),” kata Bintang.

Herman Daniel Ibrahim, mewakili Dewan Energi Nasional (DEN) yang menyatakan bahwa target 23% sudah ditentukan dari perhitungan DEN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Namun angka ini hanya bisa tercapai dengan asumsi Indonesia telah menggunakan energi terbarukan, yaitu bioenergi dan bioetanol. Sayangnya penggunaan bioetanol tidak pernah terealisasi. 

“Apabila targetnya hanya untuk sektor listrik, Indonesia sudah mencapai 15-20%, namun target ini untuk bauran energi primer, sedangkan yang bisa dipercepat adalah sektor listrik saja. Teknologi yang paling mudah dan cepat untuk mengejar 23% adalah PLTS atap,” ujar Herman.

Mustaba Ari Suryoko, Koordinator Penyiapan Aneka Program EBT, Kementerian ESDM, menyampaikan bahwa dalam 5 tahun terakhir, meskipun bauran EBT bertambah, bauran energi fosil lebih tinggi penambahannya, sehingga penambahan EBT tidak terlihat. Mustaba juga menyatakan, untuk mencapai 23% di tahun 2025 dibutuhkan pembangkit yang tepat dan bisa cepat dikembangkan seperti tenaga surya. 

“Dari sisi pemerintah, target tersebut bisa dicapai dengan adanya kolaborasi antar pemangku kepentingan. Selain itu, kita juga harus memastikan implementasi PLTS atap dan harmonisasi kebijakan,” kata Mustaba.

Saat ini, pengembangan energi terbarukan masih terhalang adanya proyek 35000 GW dan hal tersebut sedang disesuaikan dengan Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL). Zainal Arifin, EVP Aneka EBT Perusahaan Listrik Negara mengaku pihaknya tengah mencoba untuk menyesuaikan target pembangkitan dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah ditetapkan Indonesia. Karena mengalami delay, PLN memperpanjang tenggat waktu hingga 2030 untuk mebangkitkan 20,9 GW EBT.

“RUPTL mencoba menyesuaikan dari dampak 35000 GW dari RUEN, kita melihat end golnya di 2030. Yang sudah dalam tahap konstruksi tahun ini 5,3 GW dan akan ditambah 1,3 GW. Sedangkan yang sudah COD tambahan dari tahun 2021-2022 835 MW, kira kira akan tercapai 7-8 GW pada tahun 2025,” ujar Arifin.

Dari sisi masyarakat, Aris Prasetyo, Wakil Kepala Desk Ekonomi dan Bisnis, Harian Kompas, menyatakan bahwa transisi energi masih menjadi isu yang ekslusif, salah satunya diakibatkan karena bahasa yang terlalu baku sehingga sulit dipahami oleh masyarakat secara umum. .  

“Dengan penggunaan bahasa yang terlalu teknis membuat pesan-pesan tentang transisi energi ini belum tersampaikan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, termasuk media untuk membumikan narasi transisi energi. Misalnya saja mengenai istilah pemanasan global, tidak semua kalangan masyarakat memahami hal tersebut padahal dampaknya begitu terasa. Lantas bagaimana kita bisa beraksi jika pesan–pesannya saja tidak bisa dipahami masyarakat secara umum?,” ujar Aris Prasetyo. 

Setali tiga uang dengan Aris, Peneliti Senior IESR, Dr Raden Raditya Yudha Wiranegara juga mengakui, penggunaan bahasa dalam studi transisi energi yang kerap kali bersifat teknis dan kurang dipahami masyarakat secara awam. Untuk itu, Raditya menyarankan agar penyampaian narasi transisi energi dengan menggunakan analogi tertentu dan contoh yang dekat dengan lingkungan masyarakat sehingga pesan tersebut bisa dimengerti. Mengingat, transisi energi ini menjadi hal penting dalam mengatasi perubahan iklim. 

“Dalam melakukan transisi energi, kita perlahan perlu menaikkan bauran energi terbarukan dan menghentikan operasional PLTU batubara. Namun, perlu diingat  dalam pemenuhan supply chain diperlukan infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai,” papar Radit.  

 

Share on :

Leave a comment