Jakarta, 26 Juli 2023 – Pemanfaatan energi surya perlu diakselerasi untuk mencapai bauran energi terbarukan 23% pada 2025, dan untuk tercapainya net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Namun demikian, pemanfaatan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional baru sekitar 12,3% pada 2022.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Ditjen EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna memaparkan, berbagai program terus didorong untuk bisa memanfaatkan energi surya. Baik itu melalui program pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar, PLTS terapung maupun juga PLTS atap. Dari sisi regulasi, kata Feby, Revisi Peraturan Menteri ESDM No 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap.yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) akan memberikan keleluasaan bagi sektor industri untuk memanfaatkan PLTS..
“Kami sudah melakukan harmonisasi terkait revisi Permen ESDM 26/2021 dengan Kemenkumham. Mudah-mudahan bisa diundangkan dalam waktu dekat. Beberapa konten yang diubah dalam Revisi Permen ESDM 26/2021 di antaranya ketentuan kapasitas yang boleh terpasang, di dalam revisi ini, kita tidak membatasi kapasitas untuk mereka pasang, tetapi harus mengikuti kuota yang ada,” ujar Feby dalam diskusi panel bertajuk “solar regulations, implementation, future plan”, di acara Indonesia Solar Summit yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM bersama Institute for Essential Services Reform (IESR).
Selain itu, Feby memaparkan, revisi Permen ESDM juga mengatur perubahan yang berkaitan dengan ekspor dan impor. Mengingat saat ini PLN mengalami surplus dan keterbatasan PLN untuk bisa menerima pembangkit yang bersifat intermiten, untuk itu perubahan Permen ini tidak ada ekspor. Artinya, tetap terkoneksi dengan PLN namun ketika ada ekspor, ini tidak dihitung pengurangan tagihan konsumen.
“Dengan tidak adanya pengakuan ekspor impor di revisi Permen ESDM 26/2021 memang pemanfaatan energi surya untuk sektor residensial menjadi tidak menarik, namun paling tidak adanya regulasi saat ini membuka kesempatan bagi industri punya minat dan kepentingan dalam memasang PLTS rooftop karena memang ini tuntutan pasar. Ke depannya revisi Permen ini akan dilakukan review lagi serta bisa membuka lagi ekspor impor,” tegas Feby.
Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim mengkritisi terkait konten revisi Permen ESDM 26/2021 yang menghapus aturan ekspor listrik ke PLN. Menurut Herman, hal tersebut memperlihatkan langkah Indonesia ke dunia yang tidak akan mengembangkan PLTS rooftop, padahal potensinya besar dan tanpa sewa lahan. Ia menandaskan dalam proses pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) saat ini, energi surya akan memainkan peran utama dalam mencapai bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.
“Proyeksinya solar menjadi yang utama di sektor listrik. Angka energi surya (di KEN yang terbaru-red) diproyeksikan pada 2060 sekitar 500-600 GW. Di KEN yang lama pada 2050 (energi surya-red) 120 GW Tetapi realisasinya yang kurang cepat.,” papar Herman.
Direktur Proyek dan Operasi Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), Norman Ginting menjelaskan, pihaknya berkomitmen dalam mendukung pemerintah untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu upayanya tersebut dengan mulai membangun portofolio di energi surya, termasuk dalam pemanfaatan teknologi sel surya.
“Kami telah berhasil menyelesaikan lebih dari 50 megawatt PLTS, yang salah satu di antaranya adalah yang terbesar di internal Pertamina Hulu Rokan dengan total rencana kapasitas terpasang sebesar 25 megawatt. Selain itu, Pertamina memiliki kepentingan yang besar, bagaimana menjalankan dan mengimplementasikan green hydrogen dari tenaga surya karena kita melihat green hidrogen lebih mudah dalam proses shifting,” tegas Norman.
Menurut Norman, saat ini masyarakat dan industri sudah menunggu adanya listrik yang berbasis energi terbarukan. Peluang dari pengembangan PLTS itu sangat besar dari on grid maupun off grid. Untuk itu, pihaknya membutuhkan dukungan yang lebih masif lagi dalam pengembangan energi surya di Indonesia.
Ashwin Balasubramanian, Associate Partner McKinsey menyatakan, potensi teknis energi surya begitu signifikan, lebih dari 3000 GW. Proyeksinya lebih dari 400 GW perlu dibangun dalam 30-40 tahun. Hal ini juga menjadi peluang investasi yang besar dan berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) dengan terbukanya lapangan kerja baru.
“Apabila kita berkaca dengan perkembangan energi surya di Vietnam dan Thailand, mereka telah berkembang 10-15 kali lipat. India mengembangkan lebih dari 16 GW. Hal tersebut menunjukkan perkembangan energi surya memungkinkan dengan kondisi dan aspirasi yang tepat,” kata Ashwin.