Oleh: Siti Badriyah
Jika Anda pernah mengunjungi perkampungan nelayan di pesisir utara terutama di wilayah Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, maka Anda akan melihat rumah-rumah semi permanen nelayan setempat yang kumuh berjajar dekat bibir pantai. Di batas paling luar bibir pantai tersebut juga terdapat beberapa rumah panggung kayu yang dibuat untuk mengantisipasi banjir rob. Banjir rob adalah banjir yang disebabkan meluap atau naiknya permukaan laut yang tidak terbendung hingga akhirnya memasuki kawasan pemukiman penduduk yang tinggal di dekat laut.
Kekumuhan perkampungan tersebut semakin kental ketika kebanyakan dari rumah tersebut dikelilingi bambu yang terjejali sampah padat aneka rupa yang kebanyakan adalah sampah plastik. Bambu-bambu setinggi 2-3 meter ini terpancang kuat dan terjalin rapat dan difungsikan sebagai dam atau bendungan.
“Kami membuat jalinan bambu-bambu berjajar disepanjang bibir pantai di belakang rumah dan menjejalkan sampah-sampah buangan dari para tetangga sekitar guna mencegah air laut pasang menghantam rumah kami secara langsung,”jelas Daeng, 50, warga di RT 3, RW 3 Kalibaru, Jakarta utara ini.,
Daeng menceritakan bahwa pada saat musim angin barat datang, biasanya di akhir tahun, air laut pasang bisa mencapai 3-4 meter. Situasi tersebut membuat keberadaan rumah dan juga keselamatan penghuninya bisa terancam. Mereka tidak bisa meninggalkan tempat yang mereka huni sejak puluhan tahun lalu, apalagi profesi penghidupan mereka adalah nelayan yang tidak boleh jauh dari laut. Jadi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertahan dan mencari akal bagaimana caranya mengatasi hantaman ombak dan kadang banjir rob yang menghampiri kediaman mereka. Karena itulah mereka membuat pagar bendungan sampah dari bambu tersebut sebagai penahan rob dan gelombang pasang. Bendungan ini sudah mereka buat dari tahun 2004 dan hingga kini mereka masih bisa bertahan di tempat tersebut.
Kenapa mereka memilih bambu dan sampah? Karena menurut Daeng, bambu itu mudah di dapat dan lebih murah. Sampah-sampah yang dijejalkan dipagari bambu tersebut gunanya menguatkan bambu tidak terlepas jika ada hantaman ombak atau banjir rob datang. Adapun untuk mendapatkan sampah padat dan plastik dalam jumlah banyak warga nelayan mendapatkannya dari warga sekitar.
“Kami meminta para tetangga untuk membuang sampahnya pada area bendungan bambu ini dan sekitar rumah kami. Di saat gelombang pasang menghantam, sampah-sampah itu terbawa bersama air laut. Kemudian kami meminta tetangga-tetangga kami untuk membuang sampah lagi di sekitar rumah kami untuk menjejali kembali bendungan bambu ini,” jelas Daeng.
Mungkin akan lebih mudah bagi Daeng dan masyarakat nelayan yang tinggal di sana menghadapi banjir rob atau air laut pasang jika kawasan tersebut masih dikelilingi hutan bakau. Keberadaan hutan bakau jelas berguna dalam mencegah abrasi dan menjadi pemecah gelombang laut pasang. Tapi nyatanya kini, setidaknya 831 ha hutan bakau di pantai utara Jakarta telah direklamasi menjadi kawasan perumahan elit, apartemen dan tempat wisata. Saat ini hutan bakau tersisa di Jakarta hanya 430 Ha yang tersebar dalam kawasan hutan-hutan bakau di kepulauan Seribu. Kawasan tersebut yaitu Hutan Lindung Muara Angke, hutan wisata Kamal Muara, Suaka margasatwa Pulau Rambut, Cagar Alam Pulau Bokor, Cagar Alam Pulau Panjalaran Barat, Cagar Alam Pulau Panjalaran Timur.
Seorang nelayan tua setempat, Ceracas, 70, menceritakan betapa aman dan nyamannya kehidupan mereka ketika hutan bakau masih ada di sekitar sana. Ketika musim gelombang pasang naik, mereka tidak perlu melaut karena ikan telah tersedia di sekitar sulur-sulur akar bakau, dan juga tidak perlu merasa khawatir gelombang pasang atau rob menghantam rumah mereka karena hutan bakau membantu memecah gelombang laut dan banjir rob. Mereka juga mempunyai rumah yang layak, hingga pada suatu masa di Orde Baru proyek reklamasi dimulai dan pembabatan hutan mangrove atau bakau menggila, saat itulah kehidupan mereka sebagai nelayan sejati harus tersingkir, seiring punahnya hutan-hutan bakau di semua pesisir Jakarta.
Kini mereka menempati rumah semi permanen dan harus menghadapi dampak perubahan iklim sendirian yang diakibatkan kebijakan salah urus dari penguasa. Bahkan hingga saat ini, menurut Caracas dan sejumlah warga nelayan lainnya di sana, belum terlihat adanya upaya dan inisiatif pemerintah guna mencegah masuknya gelombang pasang dan banjir rob ke pemukiman mereka, misalnya dengan membangun pagar batu pemecah ombak sebagai pengganti hutan bakau.
Akhirnya warga nelayan di sana berinisiatif membuat bendungan bambu anti gelombang pasang dan banjir rob yang dibuat dengan menjejalkan sampah-sampah plastik. Mereka tidak peduli lagi tentang dampak kesehatan, estetika dan sanitasi buat keluarga. Apalagi memikirkan apa jadinya lautan jika dipenuhi sampah-sampah yang kebanyakan plastik itu. Tapi menyelamatkan jiwa dan hidup mereka jauh lebih utama. Karena hanya itu yang mereka anggap sebagai pilihan yang lebih baik dari yang terburuk hidup sebagai nelayan di kawasan pesisir utara Jakarta.