Meski mendapat sambutan baik, kebijakan penyetaraan harga bahan bakar minyak di Papua dengan harga BBM di Jawa yang ditetapkan Presiden Joko Widodo dinilai akan menjadi beban bagi pemerintah Indonesia dalam jangka panjang.
“Presiden harus hati-hati betul untuk berhitung karena kalau pemerintah tidak bisa memenuhi kan dianggap ingkar janji,” Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Saat ini, harga BBM di Papua rata-rata mencapai tujuh hingga 14 kali lipat dibandingkan harga di Pulau Jawa. Di Kabupaten Puncak, misalnya, harga BBM berkisar antara Rp50.000-Rp100.000 per liter.
- Presiden Jokowi tetapkan kebijakan ‘Satu Harga BBM’ di Papua
- Sekitar 50% Papua masih gelap, warga Papua berteriak ke Jokowi
- Kebakaran hutan di Papua: Korindo Group dituduh sengaja membakar
Kondisi tersebut, menurut Fabby, dipengaruhi biaya transportasi. Apalagi daratan di Papua dipenuhi pegunungan dan lembah.
“Untuk membawa dan mendistribusikan BBM di Papua biayanya cukup besar,” kata Fabby.
Demi menyetarakan harga BBM di Papua dengan harga BBM di Pulau Jawa, Pertamina harus menanggung biaya logistik dan distribusi BBM di Papua yang tidak sedikit.
Kerugian Pertamina
Dirut Pertamina, Dwi Soetjipto, mengaku kebijakan ‘satu harga BBM’ akan menyebabkan Pertamina merugi Rp800 miliar.
Kerugian itu, kata Fabby Tumiwa, akan bisa tertutup melalui subsidi pemerintah. Namun, dia mewanti-wanti apabila kebijakan itu dipertahankan dalam jangka panjang.
“Kita harus ingat bahwa begitu harga BBM dibuat rendah, saya kira konsumsi BBM akan cukup melonjak. Sehingga dikhawatirkan akan membuat beban subsidi yang perlu dialokasikan pemerintah akan melonjak juga,” ujarnya.
Fabby memperkirakan beban subsidi kepada Pertamina yang harus ditanggung pemerintah tidak akan mencapai puluhan triliun rupiah.
“Kalau misalkan diberi subsidi Rp2 triliun-Rp3 triliun, tetap bebannya akan terasa,” ujar Fabby.
Kebijakan jangka panjang
Beban ini akan bertambah mengingat ada wilayah selain Papua yang juga mengalami kesulitan BBM karena masalah logistik dan distribusi. Wilayah-wilayah itu, kata Fabby, pun mesti mendapat perhatian.
“Ketika presiden mengatakan harga BBM di Papua harus sama dengan di Jawa, konsekuensinya adalah ada ekspektasi bagi daerah lain yang selama ini membeli BBM dengan harga yang lebih mahal. Di daerah Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, daerah-daerah di sana juga masih kesulitan mendapatkan BBM,” ujarnya.
Ketimbang memberi subsidi BBM ke wilayah terpencil dalam jumlah besar, Fabby menyarankan pemerintah Indonesia mulai mengembangkan energi terbarukan untuk jangka panjang.
“Harusnya mulai dikembangkan produksi bahan bakar alternatif atau membangun fasilitas, misalnya, kilang mini. Ada juga bahan bakar nabati, biomassa, dan sumber-sumber energi terbarukan di wilayah setempat,” kata Fabby.
Satu harga
Presiden Jokowi mencanangkan kebijakan ‘Satu Harga BBM’ di Kabupaten Yahukimo, pada Selasa (18/10).
“Ada ketidakadilan. Di Jawa harga BBM Rp7.000. Di Wamena, harga BBM Rp60.000-Rp70.000 per liter. Saya gak bisa seperti itu. Kalau di sana, di Barat, di Tengah, ya di sini harusnya sama harganya,” kata presiden diiringi tepuk tangan hadirin, sebagaimana dilaporkan wartawan di Yahukimo, Yuliana Lantipo.
Presiden menggarisbawahi, bila terjadi kenaikan harga BBM sebesar Rp1.000, masyarakat di Pulau Jawa langsung bereaksi. Namun, di Papua atau di wilayah bagian timur lainnya, rakyat hanya bisa terdiam ketika harga BBM berkali lipat lebih mahal dibanding wilayah lainnya.
“Di sini harga Rp60.000 per liter atau Rp100.000 per liter bertahun-tahun juga rakyat diam,” kata presiden.
Dia mengakui menerima laporan tentang kerugian yang bakal diderita Pertamina dalam menjalankan kebijakan ‘Satu Harga BBM’.
“Pak Dirut Pertamina menyampaikan ke saya, ‘Pak kalau harga (BBM di Papua) Rp7.000, ruginya besar sekali’. Ini bukan urusan untung dan rugi. Saya sudah perintahkan ke ibu menteri (BUMN), carikan jalan keluar. Yang paling penting saya minta, harga (BBM) kurang lebih sama dengan yang ada di Jawa.”
Sambut baik
Kebijakan ‘Satu Harga BBM’ yang diterapkan Presiden Jokowi mendapat sambutan baik warga Kota Dekai, Kabupaten Yahukimo. Akan tetapi, mereka menyampaikan sejumlah catatan.
Lince Kobak, seorang ibu rumah tangga di Kota Dekai, mengatakan harga yang dipatok tak menentu.
“Sekarang harga bensin bisa Rp6.450 per liter di APMS (Agen Penyalur Minyak dan Solar). Tapi, kalau stok lagi kosong di APMS, saya beli di pengecer dengan harga lebih mahal, Rp 15.000. Pernah saat air kering, harga tambah mahal sampai Rp50.000. Saya harap dengan kebijakan ini, stock di APMS selalu ada,” kata Lince.
Stok bensin di APMS juga menjadi sorotan Hery Hesegem, warga Kota Dekai.
“Layanan BBM yang kami nikmati dengan harga Rp6.450 hanya berjalan dalam waktu satu minggu. Setelah seminggu berjalan, BBM di APMS dibilang habis
“Cuma yang jadi kendala adalah dalam proses penyalurannya. Prosesnya, di APMS di layani hanya satu sampai dua hari, setelah sekitar seminggu pelayanan. Sehingga, perlu ada pengamanan atau kontrol dari pemerintah dan pihak-pihak terkait di seluruh Papua secara umum,” kata Hery.
Menanggapi keluhan itu, presiden meminta Pertamina memantau harga BBM di tingkat penyalur dan pengecer.
“Saya juga titip, harga di APMS (Agen Penyalur Minyak dan Solar) saya harapkan juga sama ketika sampai di masyarakat. Jangan sampai nanti dibeli segelintir orang untuk dijual lagi dengan harga yang berbeda. Itu yang saya tidak mau. Harganya harus harga di masyarakat, jadi cara penyalurannya harus benar,” ucapnya.
Untuk mengatasi kelangkaan infrastruktur transportasi di wilayah Papua, Pertamina telah menyiapkan dua buah pesawat pengangkut BBM jenis Air Tractor AT-802 dengan kapasitas angkut 4.000 liter
Tiga pesawat serupa akan dibeli untuk melayani distribusi BBM di wilayah Kalimantan Utara.
Sumber: bbc.com.