Menurut saya, Permen ESDM 10/2017 dan Permen 11/2017 relatif cukup positif bagi iklim investasi di Indonesia. Namun tidak demikian dengan Permen 12/2017.
Permen ESDM 10/2017 bisa memangkas waktu negosiasi perjanjian jual beli listrik (PJBL). Beleid ini mengatur kepastian kontrak selama 30 tahun.
Kalau Permen 11/2017 bisa membikin harga gas untuk pembangkit listrik lebih kompetitif. Terutama, bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membayar gas dengan harga tinggi. Meski positif, Permen 11/2017 memiliki dua catatan.
Pertama, tata niaga gas kurang mendukung aturan ini. Kedua, jika patokan harga gas dalam beleid tak cukup menarik ketimbang harga gas pasar di internasional, produsen gas bisa saja pilih menjual gas ke luar negeri.
Adapun Permen 12/2017 justru berpotensi menjadi beleid yang tak ramah dan tak menarik bagi investor. Akhirnya, aturan ini tak sejalan dengan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Pembatasan 85% biaya pokok produksi (BPP) bisa mematikan peluang investasi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, hitungan itu hanya menarik investasi di luar Jawa.
Sementara investasi listrik di luar Jawa sarat dengan masalah kapasitas kecil dan jaringan listrik terbatas. Alhasil, PLN hanya membeli listrik dalam kapasitas kecil. Sebaliknya, kapasitas pembangkit listrik di Jawa besar tapi tarifnya tak sesuai dengan pemerintah.
Saya mengimbau, pemerintah agar memodifikasi Permen 12/2017. Misalnya dengan menetapkan tarif EBT yang tinggi untuk tiga tahun pertama. Setelah itu tarif menurun.
Selain itu, pemerintah juga harus melelang pembangkit listrik EBT skala besar antara 200 MW-1.000 MW dengan masa kontrak jangka panjang. Plus, jaminan interkoneksi ke jaringan listrik PLN.
Sumber: kontan.co.id.