Jakarta, 21 Desember 2023 – Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan (BBSPGL) Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan survei dan pemetaan potensi energi laut yang dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik. Hasilnya, 17 titik perairan di Indonesia teridentifikasi memiliki potensi energi laut. Potensi listrik dari lokasi tersebut diklaim mencapai 60 GW (gigawatt).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, energi laut merupakan potensi energi yang dihasilkan dari energi kinetik dan energi potensial dari laut itu sendiri. Lebih lanjut, Fabby memperkirakan potensi 60 GW tersebut terlalu rendah karena Indonesia pada dasarnya dikelilingi oleh laut, sehingga potensinya seharusnya lebih dari 60 GW. Untuk itu, sebaiknya pemetaan tersebut dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya 17 titik saja.
“Meski demikian, potensi 60 GW ini juga jauh lebih tinggi dari sumber daya panas bumi sekitar 29 GW berdasarkan data Kementerian ESDM. Untuk itu, apabila kita mengacu terhadap rencana jangka panjang pengembangan sistem energi di Indonesia, dan dikaitkan dengan upaya mencapai net zero emission (NZE), energi laut dapat membantu kita mencapai target NZE di sektor kelistrikan pada 2050 dan sektor seluruhnya pada 2060,” kata Fabby di program acara Market Review iNews pada Kamis (21/12).
Fabby menyatakan, energi laut memiliki karakteristik yang cukup unik, hampir mirip dengan panas bumi dan hidro yakni dapat diprediksi (predictable). Dengan adanya energi laut dimanfaatkan sebagai sumber ketenagalistrikan, dapat mengikis kekhawatiran banyak pihak terhadap integrasi energi terbarukan ke dalam sistem ketenagalistrikan. Lebih lanjut, Fabby menilai, potensi energi laut yang paling cocok untuk wilayah perairan Indonesia yaitu energi pasang surut dan energi gelombang laut. Hal tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesiapan teknologi, keekonomian, serta kondisi di Indonesia.
“Kenapa kedua jenis energi laut tersebut? Karena terdapat kesiapan teknologinya, beberapa teknologi itu sudah masuk pasar komersial jadi mudah. Menurut saya, kalau sudah masuk pasar komersial itu lebih mudah diaplikasikan karena sudah teruji (proven). Kedua, kondisi Indonesia sendiri di mana kita melihat pembangkit cocok untuk menyediakan listrik di daerah pesisir. Misalnya saja, untuk ketersediaan listrik di pulau terpencil. Ketiga, kedua teknologi tersebut relatif harganya mulai turun sehingga menarik untuk dikembangkan,” jelas Fabby.
Di lain sisi, Fabby memaparkan, beberapa tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara umum. Pertama, kualitas kebijakan dan regulasi yang menentukan apakah proyek energi terbarukan itu masuk kategori bankable atau tidak. Kedua, kondisi struktur pasar ketenagalistrikan di mana ketika masyarakat ingin mengembangkan energi terbarukan hanya dapat dijual kepada PLN, yang mana bergantung dengan kesiapan jaringan serta kebutuhan listrik. Sejak 3 tahun terakhir, PLN mengklaim tengah berada dalam kondisi overcapacity. Ketiga, investasi energi terbarukan relatif tidak menggembirakan. Investasi ini juga banyak dikaitkan dengan jenis pendanaan karena energi terbarukan secara mature, pengeluaran modal (capital expenditures, CAPEX) tinggi dan biaya operasional (operating expense, OPEX) rendah.