Bandung, 24 Januari 2024 – Suasana sejuk dan rintik-rintik hujan membasahi tanah menyambut tim Jelajah Energi Jawa Barat ketika tiba di Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Gunung Halu. Perjalanan yang berkelok-kelok dan menempuh waktu sekitar 3-4 jam dari Purwakarta, membawa tim tersebut ke sebuah lokasi yang menjadi perwujudan inovasi dan pemberdayaan masyarakat setempat. PLTMH Gunung Halu menjadi salah satu pemberdayaan energi mikrohidro yang dikelola oleh komunitas setempat. Dengan memanfaatkan potensi air sungai yang melimpah, PLTMH ini mampu menghasilkan listrik secara berkelanjutan tanpa menghasilkan emisi karbon yang tinggi.
Pengelola PLTMH Gunung Halu, Toto Sutanto menjelaskan, sebelum adanya PLTMH, warga Dusun Tangsi Jaya kekurangan penerangan serta tidak memiliki peralatan elektronik seperti penanak nasi (rice cooker), kulkas, dan televisi. Bahkan, sebelum tahun 2000, Dusun Tangsi Jaya tidak memiliki akses listrik, mereka mengandalkan lampu minyak untuk menerangi rumah sehari-hari. Jumlah penduduk yang minim, hingga hambatan akses serta jarak menjadi beberapa faktor jaringan listrik tidak masuk ke dusun tersebut pada momen itu.
“Dengan kondisi tersebut, muncul inisiatif warga untuk memanfaatkan arus sungai Ciputri dengan menggunakan kincir air sederhana selama 10 tahun lamanya. Hingga kemudian, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat melihat potensi PLTMH tersebut dan memberi bantuan. Kini warga sekitar sudah bisa memanen senyum karena memperoleh listrik yang bersih dan murah,” terang Toto.
Toto menegaskan, dengan adopsi energi terbarukan melalui PLTMH Gunung Halu, kampung tersebut lebih mandiri dengan adanya pencahayaan dan listrik yang mendukung kehidupan sehari-hari warganya. Pengelolaan PLTMH tersebut diserahkan kepada warga setempat yang tergabung dalam koperasi. Setelah Dusun Tangsi Jaya memiliki PLTMH, jaringan listrik milik PLN masuk ke dusun tersebut. Namun demikian, mayoritas warga memilih tetap menggunakan aliran listrik dari PLTMH.
“Sekitar 80 dari hampir 100 rumah yang berada di Dusun Tangsi Jaya memilih menggunakan listrik PLTMH karena lebih murah dan stabil. Sedangkan sisanya menggunakan listrik dari PLN maupun memakai keduanya. Dari sisi harga, listrik dari PLTMH lebih murah, sekitar Rp25 ribu per bulan, dibandingkan iuran listrik PLN yang mencapai Rp50 ribu per bulan. Namun demikian, untuk fasilitas umum tidak dikenakan tarif dalam pemanfaatan listrik dari PLTMH, begitu juga dengan lansia,” kata Toto.
Menurut Toto, tak sekadar penerangan semata, PLTMH tersebut mendorong warga untuk menjaga kelestarian alam sekitar. Operasional PLTMH yang perlu aliran air yang stabil membuat warga sekitar enggan untuk merusak hutan di sekitar dusun. Sebab, apabila hutan dibabat habis, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap aliran sungai yang menjadi sumber tenaga dari PLTMH. Kelestarian hutan yang masih asri berperan dalam menjaga aliran air Sungai Ciputri untuk tenaga PLTMH.
“Agar bisa dimanfaatkan lebih luas, PLTMH Gunung Halu memiliki rencana untuk menambah satu unit. Dijadwalkan dibangun pada Februari 2024, unit PLTMH baru itu dapat menghasilkan listrik dengan kapasitas 30 kilowatt. Dengan penambahan kapasitas yang cukup signifikan, pasokan listrik dari unit PLTMH baru rencananya akan dialokasikan sepenuhnya untuk kebutuhan listrik warga,” terang Toto.
Toto menuturkan, PLTMH yang sudah ada nantinya akan dialihkan fungsi untuk memasok tenaga bagi industri pengolahan kopi yang dijalankan oleh warga setempat. Kesuksesan Tangsi Jaya dalam mencapai swasembada energi memanfaatkan sumber energi dari mikrohidro membuat dusun tersebut menjadi percontohan dalam pengembangan PLTMH. Khusus untuk pemeliharaan, Toto memberdayakan pemuda sekitar untuk keberlangsungan PLTMH. Mereka bertugas untuk menagih iuran serta memastikan arus air tidak terhambat.
Memanen Kopi dari Energi Terbarukan
Dusun Tangsi Jaya tidak hanya menikmati PLTMH dalam aktivitas sehari-hari saja, melainkan juga untuk memproduksi kopi. Ketika tim Jelajah Energi Jawa Barat tiba di pusat pengolahan kopi, tercium aroma kopi yang khas, hangat, dan menggoda. Toto menuturkan, tersebut dua jenis kopi Gunung Halu yakni arabika dan robusta, dengan pengolahan dilakukan dengan light roast, medium roast dan dark roast serta beberapa varian kopi tersebut yakni natural, honey, full wash dan wine.
“Dari PLTMH, listrik masuk ke pabrik kopi terlebih dahulu untuk pengolahan kopi. Jika di hitung-hitungan, pabrik kopi hanya menggunakan 12 kWh kalau semua mesin digunakan. Apabila listrik tidak kuat karena mesin digunakan semuanya, pasti kami off (mematikan aliran listrik, red) terlebih dahulu ke warga. Tapi alhamdulilah sampai sekarang, saya tidak pernah mematikan listrik ke warga,” tambah Toto.
Toto bercerita, pusat pengolahan kopi tersebut diprakarsai dukungan Universitas Darma Persada (Unsada) melalui program desa mandiri energi dan ekonomi. Bermula adanya kelebihan daya 3 kW menjadi jalan mengoperasikan energi terbarukan ke sektor ekonomi. Pusat pengelolaan kopi ini juga mendapat donor dari Jepang sebesar Rp1,98 miliar pada 2017 untuk menerapkan ekonomi sirkular yang mampu berkontribusi positif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
“Saat ini pengolahan kopi terus berjalan dan koperasi selalu mendorong memberdayakan masyarakat sekitar. Misalnya saja kita membuka lowongan pekerjaan kepada ibu-ibu ketika panen raya. Harga kopi dari petani dibeli lebih tinggi. Hal ini dilakukan agar mereka mau merawat tanaman dan juga hutannya,” ujar Toto.