Jakarta, 30 Januari 2024 – World Meteorological Organization (WMO) menobatkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Catatan sejarah menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhunya dari tahun ke tahun. Untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat para ahli telah merekomendasikan sejumlah aksi iklim, salah satunya untuk memastikan dunia mencapai puncak emisi global pada tahun 2030 dan harus turun pada tahun-tahun berikutnya.
Penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributor emisi terbesar di dunia. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia membutuhkan aksi yang terukur dan riil untuk kita bertransisi dari energi fosil.
“Berdasarkan penilaian Climate Action Tracker (CAT), Indonesia tidak menunjukan penurunan emisi, bahkan mengalami kenaikan emisi pada tahun 2022 dan salah satu penyebabnya adalah peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi. Rating Indonesia bahkan turun dari “highly insufficient” menjadi “critically insufficient”. Yang terpenting adalah langkah riil untuk akselerasi transisi pada dekade ini,” tegas Fabby.
Indonesia, sebagai salah satu 10 besar negara penghasil emisi di dunia justru mendapatkan catatan buruk dengan turunnya peringkat iklim Indonesia ke level terbawah menurut kerangka penilaian Climate Action Tracker (CAT).
Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy IESR, menyampaikan dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker CAT, sepanjang tahun 2023 Indonesia menyampaikan sejumlah inisiasi dan kebijakan yang secara normatif mendukung adanya percepatan transisi energi, namun hal ini tidak berimplikasi pada upaya penurunan emisi.
“Rating Indonesia turun dari “highly insufficient ” menjadi “critically insufficient”. “Critically insufficient” berarti jika negara-negara memiliki komitmen iklim seperti Indonesia, laju pemanasan global akan ada di level 4 derajat,” kata Delima.
Mustaba Ari Suryoko, Analis Kebijakan Madya, Koordinator Pokja Penyiapan Program Aneka EBT, menanggapi bahwa penilaian terhadap upaya penurunan emisi menjadi i suatu pengingat bagi seluruh pihak untuk terus bekerja mencapai target penurunan emisi.
“Angka capaian adalah akumulasi dari berbagai variabel, maka kami berharap dalam perencanaan bukan hanya menentukan target yang ambisius namun juga harus dikerjakan upaya pencapaian,” katanya.
Anna Amalia, Fungsional Perencana Madya Bappenas, mengatakan bahwa untuk mengejar target iklim Indonesia yang lebih ambisius terdapat beberapa kesempatan.
“Pemerintah mulai bergerak progresif, dalam 20 tahun ke depan kita akan punya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional-red) yang fokus pada penurunan emisi GRK, bagaimana kita mendorong pertumbuhan ekonomi melalui koridor yang rendah emisi dan tentu saja kebijakan lainnya akan mengikuti,” kata Anna.
Laporan tahunan Climate Transparency juga menyertakan Implementation Check untuk melihat efektivitas pelaksanaan kebijakan iklim.
Akbar Bagaskara, Analisis Sektor Ketenagalistrikan IESR, menjelaskan sektor ketenagalistrikan Indonesia ada pada kategori medium sebab implementasi kebijakan yang mendukung adanya transisi di sektor ketenagalistrikan belum berjalan dengan efektif.
“Secara historis, dalam lima tahun terakhir kita tidak mencapai target tahunan energi terbarukan. Perlu penguatan kebijakan untuk memperkuat ekosistem pendukung energi terbarukan Indonesia, serta pelibatan berbagai kelompok dalam proses perencanaan, procurement, hingga evaluasi,” jelas Akbar.
Yosi Amelia, Staff Program Hutan & Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti adanya ketidaksinkronan strategi lintas kementerian dan lembaga pemerintah yang menciptakan ketidakjelasan dokumen yang dijadikan pedoman.
“Terdapat ketidaksinkronan antar dokumen misalnya tentang kuota deforestasi Indonesia. Dalam strategi FOLU Net Sink 2030, tidak ada lagi kuota deforestasi sementara pada E-NDC masih memberikan kuota deforestasi,” kata Yosi.