Jakarta, 15 Februari 2024 – Indonesia, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu negara terpadat di dunia, memiliki tantangan besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor industri. Dengan perekonomian yang terus berkembang pesat, terutama didorong oleh angkatan kerja muda, sumber daya alam yang melimpah, dan kemajuan teknologi yang cepat, langkah-langkah untuk dekarbonisasi industri menjadi krusial dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, berdasarkan laporan Climate Action Tracker (CAT), peringkat Indonesia saat ini yakni sama sekali tidak memadai (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5°Celcius. Posisi ini turun dibandingkan 2022, yang menempatkan Indonesia pada ranking sangat tidak memadai (highly insufficient).
“Padahal, Indonesia telah menetapkan Enhanced-Nationally Determined Contribution (ENDC) berisikan peningkatan target pengurangan emisi karbon dari 29% atau 835 juta ton CO2 menjadi 32% atau 912 juta ton CO2 pada 2030. Berkaca dengan target ENDC dan status CAT, Indonesia perlu mendorong penguatan komitmen agar mencapai net-zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat,” jelas Deon dalam acara peluncuran studi IESR kolaborasi dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), berjudul “Industry Decarbonization Roadmap for Indonesia: Opportunities and Challenges to Net-Zero Emissions”.
Analis Senior, Farid Wijaya menjelaskan, total kontribusi emisi GRK dari sektor industri diperkirakan meningkat dua kali lipat dari tahun 2011 hingga 2022, mencapai lebih dari 400 juta ton CO2e. Sekitar 60-70% dari emisi tersebut berasal dari penggunaan energi di sektor industri (baik panas maupun listrik), terutama karena konsumsi bahan bakar fosil.
“Berdasarkan studi IETO 2024, emisi GRK dari sektor industri diperkirakan akan mencapai 430 MtCO2e pada tahun 2022, meningkat 30% dari tahun sebelumnya. Peningkatan pangsa pembakaran energi ini mengindikasikan pertumbuhan proses industri yang membutuhkan energi panas yang tinggi. Sayangnya, kebutuhan proses tersebut menyebabkan peningkatan konsumsi batubara yang berkontribusi terhadap emisi sebesar 174 MtCO2e,” papar Farid.
Farid menuturkan, industri berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, untuk itu, upaya dekarbonisasi perlu dilakukan agar mengakomodasi pertumbuhan ini. Studi ini mengambil lima sektor industri besar yang perlu difokuskan dalam dekarbonisasi pada parameter sosial, ekonomi, dan emisi yakni semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, serta ammonia.
“Upaya dekarbonisasi industri sebenarnya dapat didorong di Indonesia berdasarkan kerangka regulasi yang telah ada. Meski demikian, pemerintah perlu didorong untuk memasukkan peraturan yang lebih kuat dan mengikat di masa depan, termasuk dukungan dan insentif untuk industri dan memastikan bahwa produsen, konsumen, dan pasar dilindungi oleh kontrol produk yang mendukung dekarbonisasi industri,” tegas Farid.
Menurut Farid, agar dekarbonisasi industri dapat tercapai di Indonesia, banyak pemangku kepentingan yang perlu bekerja sama, khususnya untuk membangun ekosistem industri hijau yang mendukung konsep NZE. Selain itu, beberapa strategi secara umum perlu diterapkan untuk mencapai dekarbonisasi industri. Pertama, menerapkan sistem manajemen energi ISO 50001:2018. Kedua, pemanfaatan bahan bakar alternatif, seperti biomassa dan hidrogen. Ketiga, pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya dan tenaga air.
“Keempat, memaksimalkan efisiensi energi, bahan, dan optimasi proses serta menggunakan peralatan yang sangat efisien. Kelima, pemantauan dan pengukuran kontrol proses emisi secara berkala. Keenam, pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon (CCS/CCUS) untuk industri semen, besi dan baja, dan amonia,” tegas Farid.
Tak hanya strategi umum, Indonesia juga perlu menerapkan strategi secara khusus berdasarkan kelima industri besar tersebut. Misalnya saja untuk industri semen, di antaranya perlu mengganti klinker dan menggunakan bahan baku alternatif, mempromosikan standar semen hidraulik dengan faktor klinker yang lebih rendah, mendistribusikan semen menggunakan kereta api sebagai alternatif truk.
“Berdasarkan hasil survei kami, kelima industri besar di sektor semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, serta amonia memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan dekarbonisasi. Namun demikian, biaya, nilai kompetitif, dan kewajiban regulasi bagi pelaku usaha dan konsumen masih menghadapi tantangan dan hambatan yang harus diselesaikan bersama,” terang Farid.