Listrik dan Tanah, PR Besar Pemerintah

SALAH satu pesan penting dari kalangan pengusaha kepada pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yaitu infrastruktur. Dalam perhelatan nasional yang di-juduli National Summit di awal pemerintahan Yudhoyono Boediono, pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia menegaskan kembali pesan itu sebagai agenda utama dalam program 100 hari pemerintah baru.

Demi kelangsungan industri dalam negeri, infrastruktur adalah syarat mutlak Dari mazhab ekonomi neoklasik, pemerintah bertugas menyediakan infrastruktur untuk menjamin terlaksananya industri dari mulai produksi, distribusi, hingga pasar untuk menjamin mekanisme pasar berjalan dengan baik.Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan infrastruktur diterjemahkan dengan membangun sarana jalan, jalan tol, ketersediaan energi beserta saluran distribusinya terutama listrik, saluran irigasi, pelabuhan yang representatif, pipanisasi, dan sebagainya. Masalah utama pemerintah adalah ketiadaan dana investasi untuk membangun infrastruktur. Sementara, dana APBN tidak mampu menutupi semua kebutuhan.

Tulisan ini akan mengulas program 100 hari di bidang infrastruktur tetapi terbatas di sektor energi listrik dan upaya legal pemerintah membuka kran liberalisasi dengan maksud menarik investor yang hingga kini masih menemui kendala. Upaya legal yang akan dibahas di sini yaitu terkait liberalisasi energi listrik melalui UU No. 31 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan revisi Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Energi listrik

Untuk menggambarkan proses terjadinya ketimpangan pembangunan di Indonesia, bisa kita ketahui dengan melihat ketersediaan energi listrik di daerah. listrik menjadi variabel penentu terciptanya kelas menengah di suatu daerah. Harus diakui, kelas menengah adalah sumbu kreativitas sekaligus pelaku industri dan jalannya roda ekonomi.Listrik adalah syarat mutlak industrialisasi dan distribusinya. Jika tidak ada pasokan listrik, tidak akan ada industrialisasi, tidak pula akan ada pendidikan yang baik, dan tidak akan terbentuk kelas menengah yang kuat dan stabil. Bahkan, menurut Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR), ketersediaan listrik berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan di suatu daerah.

Rasio elektrifikasi atau rasio cakupan listrik di Indonesia kini baru mencapai 63%. Artinya, masih ada 37% wilayah Indonesia yang tidak terjangkau listrik. Sebaran energi listrik yang ada pun masih timpang antar-wilayah.Hal itu diakui Direktur Perencanaan PT PLN, Nasri Sebayang. Menurut dia, PLN sekarang sedang kesulitan memperoleh dana investasi untuk membangun projek 10.000 mw listrik. Meski UU No. 31 Tahun 2009 tentang Kelistrikan menjadi penanda liberalisasi sektor kelistrikan, investor swasta (independent power producer/IP?) tidak serta-merta berinvestasi di Indonesia. Mereka tetap membutuhkan jaminan pemerintah.Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, 40% projek 10.000 mw listrik tahap kedua akan dipenuhi IPP, sementara 60% oleh PT PLN. Nasri menjelaskan, pinjaman untuk membangun listrik 10.000 mw dari Cina itu tetap minta jaminan dari pemerintah. “Seratus persen pendanaan untuk projek 10.000 mw oleh IPP adalah Cina,” katanya.

Ia menambahkan, tahun 2010 butuh anggaran untuk membangun investasi RP 70 triliun untuk membangun listrik 10.000 mw dan memperkuat transmisi serta distribusi. “Sekarang masih gap Rp 18 triliun,” ujarnya.Selain kesulitan dana investasi, PLN juga kesulitan memperoleh kepastian bahan bakar dasar pembangkit, di antaranya batu bara dan gas. Selama ini, pasokan batu bara dan gas kerap tersendat karena ketiadaan infrastruktur distribusi. Ia mencontohkan kesulitan pada saat membutuhkan pasokan gas untuk pembangkit Muara Karang dan Priok.Ternyata masalah gas ini misterius karena pembangkit sudah ada, tetapi tidak ada gasnya. Akhirnya kita bakar tetap dengan BBM. Masalahnya bukan karena gas tidak ada, tetapi infrastruktur ke Muara Karang dan Priok tidak ada. Akhirnya diangkut dengan cara LNG,” ujarnya.

Rencana pemerintah dan PLN membangun projek 10.000 mw tahap kedua itu menuai reaksi. Berdasarkan evaluasi IESR, program percepatan pembangunan PLTU 10.000 mw yang pertama telah gagal. Indikasinya adalah, pertama, tidak ada pembangkit listrik masuk daftar PLTU yang akan dibangun dan siap beroperasi pada tahun 2009, sebagaimana dijanjikan tim percepatan pembangunan PLTU dan PLN.PLTU Suralaya (600 mw) dan Paiton (600 mw) baru akan berproduksi pada tahun 2010 tetapi masih dibayangi tingkat keandalan; kedua, dari total kebutuhan pembiayaan lo miliar dolar AS, hanya sekitar 25-30 persen yang didapatkan. Itu pun setelah pemerintah memberikan penjaminan (government guarantee).

Menurut IESR, penetapan rencana ini lebih kental dengan nuansa politisnya dan mengabaikan aspek teknis ekonomis serta perencanaan yang diperlukan untuk menjamin pasokan tenaga listrik yang andal untuk jangka panjang. Pendekatan pembuatan keputusan yang dipakai mirip dengan program percepatan pertama, tanpa mempertimbangkan faktor teknis-ekonomis.”Kami percaya karena sifatnya yang sangat politis dan tingginya risiko projek, program percepatan kedua ini akan menghadapi masalah yang sama dengan yang pertama, di antaranya investor yang berkualitas rendah, kesulitan mendapatkan pembiayaan dari institusi keuangan, risiko investasi yang besar, kesulitan lahan dan rendahnya infrastruktur pendukung, serta permintaan untuk jaminan pemerintah yang meningkatkan risiko pengelolaan keuangan negara,” kata Direktur IESR, Fabby Tumiwa.

Pengadaan tanah

Selain masalah listrik sebagai sumber energi industri, pembangunan infrastruktur lainnya kerap tertunda dan tidak investor./hend/t/ karena problem tanah. Kementerian Pekerjaan Umum memprioritaskan revisi aturan pengadaan tanah untuk mencapai pembangunan infrastruktur dalam masa 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, penyelesaian program 100 hari di Kementerian Pekerjaan Umum menjadi modal awal yang baik bagi Kementerian ini untuk mencapai target program pembangunan tahun 2014. Demikian disampaikannya dalam Jumpa Pers di Gedung Pekerjaan Umum yang juga dihadiri pejabat di lingkungan Kementerian PU, Jln. Pattimura, Jakarta Selatan (21/1).”Selesaikan debottle neck (sumbatan). Selama lima tahun ini banyak program yang tidak jalan. Soal pengadaan tanah itu dianggap bottle neck. Perundang-undangan tentang pengadaan tanah dalam 100 hari ini setidaknya bisa selesai,” tutur Djoko.

Ia mengatakan, revisi berbagai regulasi seputar pengadaan tanah harus diprioritaskan penyelesaiannya agar dapat mempermudah pelaksanaan rencana pemerintah dalam bidang infrastruktur. Saat ini, draf revisi Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah dibahas di tingkat Menko Perekonomian. “Sudah dirapatkan para menteri tinggal ditandatangani presiden,” ujarnya.Berdasarkan revisi Perpres No. 67 itu, proses pengadaan tanah akan semakin cepat. Ia berharap, pembangunan jalan tol yang selama ini terhambat pembebasan lahan dapat segera diwujudkan. “Soal pembebasan tanah untuk kepentingan umum, ada revisi UU. Proses biasa, tetapi cepat,” ucapnya. (lina Nur-santy/”PR”) ***

sumber: bataviase.co.id.

Share on :