Kunci Sukses Kopenhagen : Pastikan Annex I Kurangi Emisi Cukup Besar

Ani Purwati – Elemen kunci kesuksesan perundingan iklim di Kopenhagen Desember nanti adalah kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana memastikan negara-negara Annex I melakukan pengurangan emisi yang cukup besar untuk memberikan ruang atmosfir fisik bagi negara-negara berkembang.

Kedua bahwa alokasi negara-negara Annex I, “jumlah yang ditetapkan” atau “hak emisi” mencerminkan baik tingkat emesi histories dan kebutuhan dari negara-negara berkembang. Ketiga bahwa negara-negara Annex I memberikan paket keuangan dan teknologi yang ambisius untuk ditransfer kepada negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka mengurangi dan mengadaptasi perubahan iklim.

Demikian pernyataan Institut for Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam position paper yang disampaikan saat diskusi bersama organisasi non pemerintah (ornop) di Gedung YTKI, Jakarta, Kamis (6/8).

Negara-negara maju harus memenuhi tanggungjawab histories dan terkini mereka baik untuk penyebab-penyebab dan konsekuensi-konsekuensi perubahan iklim. IESR menilai. penyebab utama dari perubahan iklim adalah emisi oleh dan untuk negara-negara maju.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur IESR, dari total 1 triliun ton CO2 untuk emisi 450 ppm, lebih dari separuh atau sekitar 500 milyat ton sudah digunakan sejak berlangsungnya revolusi industri pada abad 18.

“Saat ini masih tersisa separuh lagi. Tapi perlu diingat, siapa yang menghabiskan budget emisi itu? 80 persennya adalah negara maju yang jumlahnya 15 persen dari total negara di dunia,” jelas Tumiwa.

Bila tidak ada pembatasan, penambahan jumlah emisi akan meningkatkan suhu mencapai 2o C, bahkan bisa mencapai 6-8o C. Dampaknya adalah kerusakan ekosistem bumi. Saat ini kenaikan suhu telah mencapai 0,8-0,9o C. Kalau tidak ada penurunan emisi maka tahun 2050 bisa dikatakan terjadi kiamat.

Data IESR menyebutkan, negara-negara maju yang mewakili kurang dari seperlima populasi dunia bertanggungjawab atas hampir tiga perempat dari seluruh emisi histories. Perorangan emisi histories mereka lebih dari 10 kali orang-orang di negara berkembang. Emisi per orang mereka saat ini lebih dari 4 kali orang-orang di negara-negara berkembang.

Emisi histories dari negara maju inilah yang pada dasarnya bertanggungjawab terhadap pemanasan yang terjadi sekarang dan pemanasan yang terjadi di masa yang akan datang.

Korban-korban utama dari perubahan iklim adalah orang-orang dan komunitas-komunitas di negara-negara berkembang. Negara berkembang yang tidak berperan banyak dalam menyebabkan perubahan iklim, menjadi korban pertama dan terburuk. Sekarang mereka harus membangun di bawah beban berlipat ganda yang tidak dihadapi oleh negara-negara maju dan beban itu bukan disebabkan oleh mereka- beban dari pengurangan dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Negara-negara berkembang yang telah didorong untuk “mengembangkan cara mereka untuk keluar dari kemiskinan”, sekarang diminta untuk tumbuh tanpa meningkatkan emisi mereka, dan untuk melakukannya dalam sebuah iklim semakin tidak ramah.

Kenyataan-kenyataan ini harus secara penuh dan adil direfleksikan dalam setiap hasil yang disepakati di Kopenhagen. Melakukan hal tersebut diwajibkan oleh prinsip-prinsip dan syarat-syarat dasar dari Konvensi Perubahan Iklim dan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) yang menyerukan untuk pelaksanaan penuh, efektif dan berkelanjutan dari Konvensi itu.

Hutang Ekologis

Lebih dari itu, menurut Arimbi Heroepoetri dari DebtWatch Indonesia dalam position papernya bahwa pengabaian atas pelaksanaan hutang ekologis adalah sama dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini titik beratnya terletak pada pemanfaatan ruang hidup setidaknya ada dua hak yang harus dilihat, yaitu pertama hak untuk menentukan nasib sendiri dalam menikmati sumber daya alam dan kedua hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta terbebas dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Hutang ekologis adalah utang yang diakumulasikan oleh negara-negara industri terhadap negara-negara Selatan atau berkembang karena perampasan sumber daya alam, timbulnya kerusakan lingkungan, dan pemakaian ruang lingkungan secara bebas untuk menimbun limbah berbahaya, seperti gas-gas efek rumah kaca, oleh negara-negara industri.

Menurut Lidy Nacpil dari Koordinator Jubilee South, hutang financial negara-negara berkembang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hutang ekologis negara maju. Secara moneter hutang financial negara-negara Selatan adalah 3,2 triliun dolar Amerika Serikat, sedangkan hutang ekologis negara maju untuk karbon saja senilai 2,4 triliun dolar. Belum jumlah senyawa gas rumah kaca lain.

Untuk pembayaran hutang ekologis, tidak hanya dengan sejumlah uang saja, namun yang lebih penting adalah pemulihan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara penuh atau reparation. Perlu suatu upaya gerakan bersama seluruh bangsa di dunia untuk mewujudkan pemulihan secara penuh oleh pihak-pihak yang berhutang ekologis atau negara maju.

http://www.beritabumi.or.id.

Share on :