Berita Utama : Subsidi Salah Sasaran

19 April 2010

Oleh Fabby Tumiwa

image

TIDAK dipungkiri bahwa tenaga listrik telah menjadi bagian yang melekat dalam pembangunan peradaban manusia modern. Sejak Thomas A Edison membangun pembangkit listrik di Pearl Street, New York City, pada September 1882, listrik pun mulai merambah seluruh dunia.

Apabila dibandingkan dengan nilai mata uang saat ini, pada waktu itu, konsumen Edison membayar harga yang setara dengan 5 dolar (sekitar Rp 45 ribu ) per kilowatt-jam (KWH) listrik yang dipakai untuk menyalakan lampu pijar sederhana.

Perkembangan teknologi kelistrikan membuat biaya pembangkitan tenaga listrik lebih rendah. Walaupun demikian, biaya investasi pembangkit listrik masih cukup mahal. Pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara kapasitas 1000 MW dengan teknologi konvensional membutuhkan investasi sebesar 1,5 miliar dolar (Rp 14 triliun). PLTU tidak dapat menghasilkan listrik jika bahan bakar tidak tersedia.

Dalam konteks Indonesia, apabila harga batu bara 60 dolar per ton, maka biaya pembangkitan sebesar 4,5 cents dolar per KWH, atau kira-kira 400 rupiah. Jika bahan bakar yang dipakai adalah BBM, dengan harga BBM 70 dolar per barel, maka biaya produksi 1 KWH tenaga listrik adalah Rp 2.000.

Ini baru biaya produksi, untuk sampai di rumah kita, maka ada tambahan 40 persen lagi biaya transmisi, distribusi dan ongkos pelayanan. Dengan komposisi bauran energi PLN dan harga energi primer saat ini, maka biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik diperkirakan sekitar Rp 1.000. BPP berfluktuasi tergantung pada harga energi primer dan volume yang dibakar.
Sesuai dengan UU Kelistrikan, tarif dasar listrik (TDL) ditetapkan oleh pemerintah. Sejak Oktober 2003, TDL rata-rata adalah Rp 620 per KWH. Kenaikan harga minyak dunia sejak 2005 dan ketidakpastian pasokan gas alam untuk pembangkit PLN menyebabkan BPP merangkak naik. Pada tahun 2010, PLN menyatakan BPP tenaga listrik sebesar Rp 1.380 per KWH.

Salah satu penyebab tingginya BPP adalah harga BBM yang merangkak naik dan volume BBM yang tetap tinggi untuk PLTD maupun untuk subsitusi gas alam. Audit BPK baru-baru ini misalnya menyimpulkan bahwa akibat membakar BBM bukannya bahan bakar gas alam di enam PLTGU milik PT Indonesia Power, salah satu anak perusahaan PLN, potensi kerugian mencapai Rp 27,94 triliun pada tahun 2008.

Selisih antara TDL yang dibayarkan masyarakat dan BPP listrik ditutupi oleh subsidi APBN. Sejak tahun 2005, subsidi listrik terus bertambah dan pada puncaknya pada tahun 2008, subsidi listrik pun mencapai Rp 80 triliun. Untuk tahun 2010, semula subsidi listrik diperkirakan sebesar Rp 37,8 triliun tetapi seiring dengan kenaikan harga minyak dunia dan kegagalan mengurangi konsumsi BBM, subsidi tahun ini diperkirakan mencapai Rp 57 triliun, kira-kira hampir 5 persen dari keseluruhan APBN tahun ini.

Pelanggan PLN, khususnya pelanggan rumah tangga sangat dimanjakan oleh subsidi listrik. Padahal dari 230 juta rakyat Indonesia, baru 65 persen saja yang dapat menikmati listrik. Sekitar 90 juta rakyat Indonesia masih menggunakan penerangan non-listrik, bahkan mengeluarkan ongkos untuk mendapatkan penerangan yang jauh lebih mahal dengan kualitas yang rendah pula.

Praktik kebijakan subsidi listrik (dan BBM) selama ini tidak hanya menghambat penetrasi eletrifikasi, tetapi juga salah sasaran. Subsidi listrik yang tinggi, secara langsung mengurangi anggaran untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial, termasuk pengembangan infrastriktur kelistrikan dan program listrik perdesaan. Selama 10 tahun terakhir, investasi untuk pembangunan infrastruktur ketenaga listrikan jauh dibawah jumlah yang dibutuhkan untuk menjamin kualitas pasokan dan ekspansi tenaga listrik sesuai dengan pertumbuhannya.

Akibatnya sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami defisit pasokan akibatnya dilakukan rasionalisasi pemakaian. Di luar Jawa, pemadaman bahkan terjadi bak orang minum obat, tiga hari sekali. Sudah hampir 10 tahun berlalu, krisis listrik di luar Jawa tidak berkurang malah tambah buruk.

Sejumlah hal yang dipaparkan sebelumnya, dapat menjadi pertimbangan awal, mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan opsi kenaikan TDL pada tahun 2010. Terdapat sejumlah alasan juga, mengapa kenaikan TDL perlu dipertimbangkan.

Pertama, dasar perhitungan yang dipakai TDL tahun 2003 telah berubah drastis. Pada waktu itu harga energi primer jauh lebih rendah. Harga minyak masih sekitar 20-25 dolar per barel, batu bara sekitar 20-25 dolar per ton, dan gas alam sekitar 2 dolar per MMSCF. Harga energi primer rata-rata saat ini telah naik 3-4 kali lipat. Apabila tingkat inflasi turut diperhitungkan maka TDL yang saat ini berlaku hanya bernilai sekitar 65 persen dari nilai pada tahun 2003.

Kedua, solusi krisis listrik di Indonesia adalah menambah pembangkit dan jaringan tenaga listrik sesuai dengan tingkat pertambahan kebutuhan. Menurut Kementerian ESDM, kebutuhan investasi tenaga listrik untuk memenuhi laju permintaan sebesar 8 miliar dolar (Rp 80 triliun) per tahun dimana sekitar Rp 5 miliar harus diusahakan oleh PLN dan pemerintah, sisanya dari swasta.

Kesulitan

Tanpa kenaikan TDL, tampaknya PLN akan mengalami kesulitan memobilisasi dana sebesar ini hingga lima tahun ke depan. Pemerintah perlu mengalokasikan pendanaan untuk investasi tenaga listrik disamping subsidi listrik. Semakin lambat krisis listrik diatasi, semakin mahal biaya krisis yang harus ditanggung.

Ketiga, TDL yang berlaku saat ini membuat subsidi listrik tidak lagi effektif dan membebani keuangan negara. Bisa dikatakan bahwa subsidi listrik diberikan kepada seluruh golongan pelanggan listrik PLN, baik rumah tangga kaya dan miskin, industri rumahan maupun besar, dan pelanggan bisnis. Pernyataan Menko Perekonomian baru-baru ini bahwa sekitar 52 persen subsidi listrik salah sasaran menunjukan bahwa tujuan subsidi telah melenceng dari fungsi objektif yang seharusnya.

Subsidi yang tidak tepat menghambat merupakan disinsentif untuk konservasi dan efisiensi energi. Akibat penggunaan listrik yang boros, kebutuhan untuk infrastruktur listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik menjadi lebih besar.
Implikasinya adalah biaya untuk investasi infrastruktur pun semakin membengkak karena pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik yang tidak diimbangi dengan produktivitas pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, sudah saatnya reformasi tarif listrik dilakukan. Reformasi yang ada menyangkut pola subsidi, penyederhanaan golongan tarif listrik dan besaran tarif listrik, serta pembentukan badan regulator yang mengawasi biaya produksi tenaga listrik.

Untuk menjamin agar seluruh masyarakat dapat menikmati listrik maka skema subsidi dapat diberikan sesuai dengan konsumsi listrik. Pemerintah harus menjamin bahwa kebutuhan listrik minimum dapat diakses oleh rakyat.

Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan, kebutuhan listrik minimum per bulan sekitar 50 KWH. Apabila kebijakan subsidi terarah hendak diterapkan, maka konsumsi listrik dibawah 50 KWH yang menerima subsidi. Di atas itu, konsumen dapat membayar listrik sesuai dengan BPP secara bertahap yang batasannya diatur oleh pemerintah. (61)

http://suaramerdeka.com.

Share on :