Strategi yang Lebih Komprehensif untuk Selaras dengan Target Iklim 1,5 Derajat

Jakarta, 4 Juni 2024 – Indonesia mencuri perhatian dunia saat mendapatkan pendanaan Just Energy Transition Partnership oleh negara-negara IPG pada akhir tahun 2022. Indonesia menghadapi tantangan dalam proses transisi energi dan mengejar target iklim salah satunya karena komposisi sumber energi Indonesia yang didominasi oleh energi fosil hingga 60-70 persen. Besarnya bauran energi fosil ini mencerminkan faktor lain seperti infrastruktur energi fosil yang besar. Dengan kondisi ini, merumuskan rencana menuju bebas emisi membutuhkan pendekatan komprehensif supaya biaya yang dibutuhkan untuk bertransisi dapat ditekan dan kehandalan sistem energi serta keterjangkauan energi dapat terjaga. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability University of Maryland mengkaji situasi energi Indonesia, dan menguji skenario untuk membuat Indonesia sejalan dengan target iklim Paris yakni membatasi kenaikan suhu bumi pada level 1,5 derajat celsius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara peluncuran laporan “Jalur Transisi Tenaga Listrik Batubara yang Selaras dengan Target 1,5 ℃ di Indonesia” hari Selasa, 4 Juni 2024 menjelaskan bahwa laporan ini mencakup PLTU on grid dan off grid dengan menerapkan beberapa strategi untuk mengurangi kapasitas operasi (operasi fleksibel), pensiun dini, cofiring biomassa, substitusi energi terbarukan, pembatalan konstruksi, sambungan jaringan listrik, dan teknologi penangkapan karbon (carbon capture storage).

“Studi ini memberikan strategi penurunan PLTU batubara secara bottom up berdasarkan karakteristik PLTU yang ada. Peta jalan ini bersikap komplementari bagi rencana JETP,” kata Fabby.

Nathan Hultman, Direktur Center for Global Sustainability, University of Maryland menjelaskan tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara penghasil sekaligus pengguna batubara.

“Tantangan Indonesia sangatlah unik, terdapat peluang untuk mendorong aksi iklim yang akan membawa manfaat lain (co-benefit) seperti pertumbuhan lapangan kerja, peningkatan kualitas udara dan air, serta perlindungan sumber daya alam,” katanya.

Maria Borrero, Research Associate University of Maryland, penulis laporan “Jalur Transisi Tenaga Listrik Batubara yang Selaras dengan Target 1,5 ℃ di Indonesia” menyebutkan bahwa dokumen CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan) JETP Indonesia menunjukkan target yang lebih ambisius. Untuk membuatnya menjadi selaras dengan target iklim Paris 1,5 ℃ diperlukan rencana yang lebih komprehensif.

“Salah satu faktor mencolok dari sistem energi Indonesia adalah keberadaan PLTU captive yang jumlahnya cukup banyak dan saat ini kapasitasnya mencapai sekitar 15 GW. Dalam beberapa tahun ke depan akan ada tambahan 6 GW yang saat ini sedang konstruksi,” kata Maria.

Umur PLTU captive yang masih cukup muda (kebanyakan PLTU captive dibangun setelah tahun 2016), juga menjadi tantangan tersendiri sebab infrastruktur yang masih memiliki umur teknis panjang. Maria menambahkan untuk mengeksekusi target JETP terdapat sejumlah ketidakpastian, seperti ketidakpastian pemenuhan pendanaan hingga ketidakpastian metode untuk memastikan pengurangan emisi.

Akbar Bagaskara, analis sistem ketenagalistrikan IESR, menjelaskan kondisi sistem ketenagalistrikan Indonesia saat ini diharapkan biaya pokok pembangkitan Indonesia turun sebanyak 21% pada tahun 2030 dan 75% pada tahun 2050.

“Integrasi variabel energi terbarukan yang lebih besar membutuhkan penerapan teknologi penyimpanan, infrastruktur jaringan yang diperluas dan ditingkatkan, serta pengoperasian unit yang stabil dan fleksibel,” katanya.

Joseph Pangalila, Wakil Presiden Direktur Cirebon Power dalam sesi diskusi panel mengapresiasi adanya kajian ini. Hal ini dapat menjadi inisiatif yang baik dalam upaya percepatan transisi energi. 

“Harapan saya studi ini dapat ditindaklanjuti sampai implementasi. Saya pribadi ingin melihat teknologi apa yang dapat menjadi substitusi dari PLTU,” ucap Joseph.

Arionmaro Asi Simaremare, Manager Transisi Energi PT PLN, menambahkan pertumbuhan kapasitas captive di luar pulau Jawa membutuhkan inersia. 

“Salah satu cara menghilangkan terhadap kebutuhan captive ini berpindah menggunakan renewable energy atau bisa beralih menjadi dekarbonisasi dengan alih-alih dari hanya penyediaan dari coal saja namun bisa di mix dengan local renewable energy (gas, solar, wind) sehingga proses captivenya ini bisa semakin dikurangi penggunaan coalnya,” tuturnya.

Share on :

Leave a comment