Jakarta, 14 Juni 2024 – Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara masih mendominasi energi di Indonesia. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi tertinggi tahun 2023 masih didominasi batubara sekitar 40,46 persen, minyak bumi sekitar 30,18 persen, gas bumi sekitar 16,28 persen dan energi terbarukan sekitar 13,09 persen. Hal ini diungkapkan Raden Raditya Yudha Wiranegara, Manajer Riset, Institute for Essential Services Reform (IESR) pada acara Investortrust Power Talk: Masa Depan Industri Batubara di Tengah Tren Transisi Energi pada Kamis (13/6/2024).
“Lebih dari dua pertiga listrik Indonesia saat ini berasal dari pembakaran batubara, dan prediksi PLN akan adanya tambahan kapasitas sebesar 13.822 MW PLTU batubara pada tahun 2030, Indonesia menjadi negara dengan perencanaan pembangunan PLTU batubara yang terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India. Di waktu yang bersamaan, melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia juga menargetkan untuk mencapai puncak emisi dari sektor energi sebesar 295 juta metrik ton CO2 per tahun pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission di sektor energi pada tahun 2050,” kata Radit.
Radit menegaskan, sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan JETP, Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 44 persen pada 2030. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, kata Raditya, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih memasukkan rencana penambahan PLTU dengan kapasitas total 13,8 giga watt (GW). Meski demikian, seiring dengan rencana transisi energi Indonesia, PLN perlu untuk memangkas sebagian besar rencana pengembangan PLTU baru hingga 2030.
Berdasarkan studi IESR, sembilan PLTU dapat dibatalkan, sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan atau gagal memperoleh pendanaan. Selain itu, PLN juga berpotensi mengalihkan rencana pembangunan PLTU berkapasitas 220 MW menjadi pembangkit biomassa. Tidak hanya itu, bertransisi dari batubara juga dapat menghindarkan dari ketergantungan ekonomi, apalagi permintaan diproyeksikan menurun sekitar 2,3 persen pada 2026 berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA).
“Menurunnya penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara mengurangi biaya bahan bakar dan biaya variabel di seluruh sistem, yang dikombinasikan dengan pergeseran ke arah energi terbarukan yang hemat biaya, menjadi pendorong yang kuat dalam membantu penurunan biaya sistem. Dalam melaksanakan transisi energi juga diperlukan keterlibatan seluruh pihak antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat,” ujar Radit.