Jakarta, Kompas – Jumat,27 April 2012
Pihak Indonesia, pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan swasta nasional, perlu membentuk konsorsium nasional untuk menguasai 51 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.
Untuk itu, renegosiasi kontrak perusahaan tambang itu harus dituntaskan serta kepentingan daerah perlu diakomodasi di bawah koordinasi pemerintah pusat.
Pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) sebesar 7 persen oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) seharusnya sejalan dengan tujuan divestasi. Ini berarti pembelian saham itu harus permanen untuk menguasai sumber daya alam dan bukan untuk dijual kembali.
”Saham PIP sebaiknya dikonsolidasikan dalam satu BUMN (badan usaha milik negara) yang 100 persen sahamnya dikuasai negara,” kata Marwan Batubara dari Indonesian Resources Studies (IRESS), Kamis (26/4), di Jakarta.
Divestasi saham 7 persen PT NNT oleh PIP itu saat ini sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Perdebatannya adalah apakah divestasi tersebut memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau tidak.
Pada sidang 24 April lalu, hakim MK mendengarkan saksi dari dua belah pihak yang bersengketa, yaitu Presiden dan DPR bersama Badan Pemeriksa Keuangan. MK dijadwalkan mengeluarkan putusan pekan depan (Kompas, 25/4).
Marwan Batubara mengemukakan, BUMN baru diperlukan untuk mengelola saham-saham negara di sejumlah perusahaan tambang, seperti PT Freeport Indonesia, PT NNT, PT Inalum, dan perusahaan-perusahaan lain yang akan didivestasikan. Divestasi itu sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sejauh ini, target divestasi PT NNT tidak tercapai karena upaya penguasaan oleh negara selalu gagal. Sementara perusahaan swasta domestik bersaing menguasai saham NNT, pihak asing memanfaatkan perusahaan domestik untuk mempertahankan dominasinya. Pemerintah pusat juga dinilai tidak optimal untuk membeli saham NNT.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, saat ini Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam menjadi incaran perusahaan-perusahaan asing, termasuk PIP negara-negara maju. Hal itu dipicu oleh meningkat- nya harga minyak mentah dunia dan komoditas tambang di pasar internasional serta keterbatasan ketersediaan sumber daya alam.
Melalui Sovereign Wealth Fund, atau semacam PIP, banyak negara mengincar penguasaan sumber daya alam. ”Jika membeli komoditas tambang melalui pasar, mereka harus membeli dengan harga tinggi dan persediaannya pun terbatas. Untuk itu, mereka gencar membeli saham perusahaan-perusahaan migas dan pertambangan di negara-negara berkembang,” kata Fabby Tumiwa. (EVY)
Sumber: Kompas.