FABBY TUMIWA
PENGAMAT KELISTRIKAN
Subsidi Listrik Salah Sasaran
Bagaimana menanggapi rencana pemerintah menaikkan tarif listrik?
Yang perlu kita cermati, asumsi kenaikan 1015 persen itu rata-rata dari tarif. Saya, sejak dulu, kurang suka dengan rata-rata karena itu memberikan kesan yang berbeda. Dianggap orang, kalau sekarang tarifnya 100 dan rata-rata naiknya 10 persen, berarti 110.
Padahal, rata-rata tarif tidak seperti itu. Ada kelompok yang naik lebih 10 persen ada yang kurang dari itu. Bergantung pada kelompok golongan pelanggan yang mana. Ini yang menurut saya perlu segera diperjelas oleh pemerintah. Karena, sekarang saya melihat kelompok industri sudah paling tidak mempertanyakan.
Apalagi, ada pernyataan dari pemerintah bahwa golongan 450 kva ke bawah tidak akan dinaikkan. Ini bisa berdampak bahwa yang akan menanggung kenaikan terbesar itu golongan industri, bisnis, dan rumah tangga yang cukup besar. Padahal, penerima subsidi sekarang itu adalah golongan R1 450 kva dan 900 kva cukup besar.
Berapa persen subsidinya? Saya harus lihat data dulu. Tapi, kalau dari sisi tarif, golongan R1 450 kva, kalau saya tidak salah, Rp 450-an per kWh. Dengan asumsi, biaya pokok produksi listrik itu Rp 1.200, tarif itu hanya kira-kira 35 persen dari biaya pokok produksi. Hitung-hitungan saya dulu, kelompok masyarakat 450 kva dan 900 kva itu menikmati 40-an persen dari total subsidi.
Berarti, kalau 450 kva tidak naik, kelompok lain yang harus menanggung.
Pengurangan subsidi tidak tepat? Kalau menurut saya, pokok masalahnya ada di sini. Pemerintah dan DPR harus mau untuk tidak membatasi yang 450 kva dan 900 kva tidak dinaikkan. Kenaikan hingga 20 persen pada 450 kva dan 900 kva masih memungkinkan. Memang, dampak kenaikan 20 persen untuk golongan ini tidak terlalu besar. Tapi, menurut saya, harus tetap dilakukan supaya selisih antara BPP (biaya pokok penyediaan) dengan tarifnya itu tak semakin jauh. Kedua, supaya tidak ditanggung lebih besar oleh industri dan bisnis. Karena, kalau bisnis yang menanggung, implikasinya itu pada biaya produksi barang dan jasa. Kalau biaya produksi barang naik, bisa menyebabkan inflasi.
Kalau ingin mengendalikan inflasi dari kenaikan tarif dasar listrik (TDL), harusnya kelompok rumah tangga yang lebih besar dinaikkan ketimbang industri dan bisnis. Walaupun, saya setuju kenaikan harus dilakukan di semua golongan karena semuanya menerima subsidi.
Tarif listrik itu satu-satunya harga barang dan jasa yang tidak terkena inflasi. Padahal, harga lain sudah terkena inflasi dan orang tidak pernah protes. Saya melihat ini tidak sehat karena kemudian penyediaan listrik menjadi tidak optimal.
Dana yang harusnya dipakai untuk elektrifikasi itu tidak bisa dipakai karena dihabiskan untuk subsidi yang salah sasaran karena semua golongan menerima subsidi. Bisnis menerima subsidi.
Industri yang besar milik asing juga disubsidi. Rumah tangga ekspatriat disubsidi juga. Jadi, tidak tepat. Sekarang ini persoalannya bukan naik tarif, tapi subsidi salah sasaran dan itu menghambur-hamburkan dana publik. Apakah waktu kenaikan tarif listrik itu tepat?
Saya menilai, kenaikan tarif itu bukan berarti naik seperti itu. Kalau saya mengusulkan, selama ini subsidi itu tidak dibatasi. Berapa pun konsumsi listrik, saya tetap diberikan subsidi. Seharusnya, pemerintah tegas dan bisa diikuti oleh PLN. Bahwa, ada pembatasan subsidi untuk R1 450 kva, 900 kva, dan 1.300 kva. Artinya, saya setuju, pada prinsipnya tarif listrik itu harus tetap menjamin akses listrik bagi orang yang tidak mampu. Sehingga, subsidi tetap dibutuhkan.
Yang harus dilakukan pemerintah bukan bilang akan menaikkan tarif, tapi subsidi untuk tenaga listrik konsum sinya dibatasi. Dengan cara, 60 kWh pertama itu yang disubsidi. Jadi, konsumsi sampai dengan 60 kWh diberikan subsidi dan tidak perlu dinaikkan, harganya sama. Tetapi, konsumsi di atas itu harus dibayar dengan, misalnya, 75 persen dari BPP.
Masih disubsidi, tapi jumlahnya lebih kecil.
Artinya, kalau memang orang itu miskin, konsumsi 60 kWh itu luar biasa besar untuk orang miskin. Kalau di rumahnya punya AC, rice cooker, itu bukan miskin namanya. Artinya, kalau dia pengguna di atas 60 kWh per bulan, dia harus bayar sesuai tarif. Itu pun bisa dibuat, misalnya, dengan berjenjang. Katakan, di atas 60-100 kWh itu 75 persen dari BPP. Di atas 100 konsumsi kWh, mungkin bayarnya BPP.
Kalau dikenakan untuk R1, apakah akan ada dampak sosial? Menurut saya, efek sosial itu tidak. Hitungan sazya, kalau misalnya subsidi dibatasi dan pada akhirnya tagihan listrik saya naik 20 persen, jika dihitung dengan tarif sekarang, itu kira-kira antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu per bulan. Dengan konsumsi normal, kira-kira 100 kWh per bulan, tidak lebih.
Sumber: Republika.