JAKARTA (IFT) – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tahun depan lebih penting dilakukan daripada kenaikan harga tarif tenaga listrik. Sofyan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, menyatakan hal itu disebabkan dampak penghematan subsidi dari kenaikan harga BBM bersubsidi jauh lebih besar dibandingkan kenaikan tarif listrik.
Bila kenaikan tarif listrik sebesar 15% hanya berpotensi menghemat anggaran subsidi pemerintah Rp 12 triliun, maka kenaikan harga BBM bersubsidi, jika hanya naik Rp 500 per liter, maka potensi penghematan bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Berdasarkan penghitungan IFT, dengan asumsi kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter dan harga BBM bersubsidi naik Rp 500 per liter, potensi penghematan mencapai Rp 23 triliun.
“Kalah harga BBM bersubsidi dinaikkan sedikit saja, maka penghematannya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, jadi saya setuju bila harga BBM bersubsidi naik,” ujarnya, Rabu.
Apindo menilai kenaikan tarif listrik belum terlalu penting dilakukan. Pasalnya, listrik berkaitan dengan kebutuhan langsung industri, sehingga subsidi listrik dinilai bermanfaat besar bagi industri ketimbang subsidi BBM. Apalagi, lanjut Sofyan, subsidi BBM cenderung tidak terlalu bermanfaat karena banyak tidak tepat sasaran.
Kalangan industri, ungkap dia, kini tidak menggunakan BBM bersubsidi, melainkan sudah membeli BBM dengan harga keekonomian. Dengan demikian, Apindo tidak mempermasalahkan bila harga BBM bersubsidi dinaikkan.
“Kalau pun harga BBM bersubsidi naik, kami hanya menaikkan biaya transportasi, karena untuk bahan bakar, kami sudah menggunakan solar dengan harga internasional (keekonomian),” ujarnya.
Ia tidak yakin bila pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi maupun tarif listrik secara bersamaan pada tahun depan karena itu akan memberatkan masyarakat maupun industri. “Kalau duit subsidi dipakai untuk hal yang tidak produktif kan kasian, makanya bangunlah infrastruktur,” ujarnya.
Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menilai dari sisi penghematan anggaran, sudah jelas kenaikan harga BBM bersubsidi lebih besar dibandingkan kenaikan tarif listrik. Tapi sayangnya, yang akan dilakukan pemerintah adalah menaikkan tarif listrik sebesar 15% karena sudah tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013.
“Yang semestinya dilakukan pemerintah adalah menaikkan harga BBM bersubsidi, tapi yang dilakukan adalah yang bisa dilakukan pemerintah, yakni menaikkan tarif listrik karena di dalam struktur APBN 2013 sudah mencerminkan itu,” tuturnya.
Ia berpendapat, kecil kemungkinan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dan tarif listrik secara bersamaan pada tahun depan. Pasalnya, harga minyak pada tahun depan diperkirakan tidak akan jauh berbeda dari yang ditetapkan dalam asumsi harga minyak Indonesia (ICP) pada APBN 2013 yakni US$ 100 per barel.
Jika harga minyak lebih tinggi dari asumsi tersebut, maka pilihan pemerintah tetap akan menambah subsidi ketimbang menaikkan harga BBM. “Faktor penentunya bukan lah kalkulasi fiskal, tapi kalkulasi politik, terlebih jelang Pilpres 2014, kecuali Pak Presiden SBY menentukan (menaikkan harga BBM). Para menteri tidak akan menyuarakan menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum ada lampu hijau dari Pak Presiden,” ujarnya.
DPR dan pemerintah sebelumnya telah sepakat untuk menaikkan tarif listrik sebesar 15% pada tahun depan. Dengan kenaikan tarif listrik tersebut, subsidi listrik diperkirakan mencapai Rp 78,63 triliun. Adapun asumsinya yaitu pertumbuhan penjualan listrik 9%, volume penjualan listrik 182,28 terawatthour, susut jaringan 8,5%, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik Rp 212,07 triliun, harga pokok listrik sebesar Rp 1.163 per kilowatthour (kWh), dan margin usaha sebesar 7%.
Saat ini BPP listrik sebesar Rp 1.152 per kWh, sementara tarif listrik rata-rata sebesar Rp 729 per kWh. Bila tahun depan tarif listrik dinaikkan, maka tarif listrik rata-rata diperkirakan mencapai Rp 814 per kWh, dan BPP diperkirakan sebesar Rp 1.163 per kWh.
Meskipun tarif listrik rata-rata naik 15%, namun kenaikan tarif tidak dikenakan pada golongan rumah tangga 450 voltampere (VA) dan 900 VA. Adapun rencana kenaikan 15% terdiri dari beberapa opsi, antara lain kenaikan 15% secara langsung, atau kenaikan bertahap sebesar 4,3% per tiga bulan atau kenaikan 1,6% per bulan.
Sedangkan subsidi BBM pada tahun depan disepakati sebesar Rp 193,8 triliun, terdiri dari subsidi tahun berjalan sebesar Rp 190,3 triliun dan pengurangan subsidi 2011 sebesar Rp 3,5 triliun Jumlah tersebut terdiri dari Rp 140,46 triliun untuk subsidi BBM dan BBN, Rp 26,45 triliun untuk subsidi elpiji, lalu PPN sebesar Rp 17,26 triliun. Subsidi itu dengan asumsi kuota BBM bersubsidi 46,01 juta kl, ICP US$ 100 per barel, dan harga BBM bersubsidi belum dinaikkan.
Rasio Elektrifikasi
Jarman, Direktur Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan kenaikan tarif dasar listrik 15% tahun depan akan sangat membantu pemerintah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi pada tahun depan menjadi 77,65% yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi di atas 6,5%.
“Pemerintah akan memperoleh cadangan Rp 11,8 triliun yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur kelistrikan di perdesaan,” kata Jarman di Bogor.
Menurut Jarman, dengan tambahan dana untuk infrastruktur kelistrikan sebanyak 2,5 juta pelanggan baru bisa menikmati listrik tahun depan. Namun Jarman belum dapat memastikan bagaimana penerapan kenaikan tarif dasar listrik, apakah langsung naik 15% ataukah secara bertahap, misalnya 5% per empat bulan.
Selain itu, pemerintah juga terus mengkaji penerapan skema subsidi berdasarkan volume pemakain listrik, bukan berdasarkan golongan pelanggan setelah 2014. Hal itu dilakukan agar penerima subsidi adalah mereka yang sungguh-sungguh berhak menerimanya. Ia menambahkan, tarif listrik harus terus disesuaikan setiap tahun karena biaya pokok penyediaan listrik berubah sesuai harga energi primer yang mengikuti mekanisme pasar.
Nur Pamudji, Direktur Utama PT PLN (Persero) mengatakan perseroan memperkirakan subsidi listrik pada tahun depan mencapai Rp 100 triliun seiring bertambahnya pelanggan. Dengan alokasi subsidi listrik yang disetujui Rp 89 triliun, maka kenaikan tarif listrik harus dilakukan.
Ia menilai subsidi listrik terutama pelanggan rumah tangga 900 VA ke atas dan golongan lain selain golongan rumah tangga seharusnya tidak diperlukan lagi karena tidak membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat. “Subsidi itu sama saja membakar uang, tidak ada bekasnya. Lebih baik uang itu digunakan untuk membangun infrastruktur, jalan, perumahan, sekolah yang usianya berpuluh-puluh tahun dan fisiknya ada,” kata Nur Pamudji.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services, mengatakan subsidi listrik saat ini tidak rasional. Dia menjelaskan, berdasarkan data Biro Pusat Statistik, pemerintah memberikan subsidi pelanggan rumah tangga 450 VA sebesar Rp 80.070 per bulan, Rp 95.730 untuk pelanggan rumah tangga 900 VA, Rp 109.061 untuk pelanggan rumah tangga 1.300 VA, dan Rp 197.000 untuk pelanggan rumah tangga 2200 VA.
“Penerima subsidi malahan mereka yang pemakaian listriknya di bawah 450 VA, misalnya di daerah di Nusa Tenggara Timur atau daerah lainnya yang hanya memakai dua atau tiga buah lampu yang tidak lebih dari 100 VA,” kata Fabby.
Untuk itu, dia mengusulkan agar pelanggan rumah tangga 450 VA dan 900 VA yang tidak dinaikan tarifnya tahun depan direview lagi agar subsidi bisa tepat sasaran. (*)
Sumber: Indonesia Finance Today.