JAKARTA, Perwakilan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Transparansi Penerimaan Industri Ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI) Internasional, Fabby Tumiwa, menyebutkan bahwa Indonesia bisa lepas dari keanggotaan EITI jika Indonesia tidak berkomitmen untuk menyampaikan laporan penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi (migas) serta pertambangan.
Fabby mengatakan, EITI sendiri sebuah standar Internasional yang mengatur mengenai bagaimana pelaporan penerimaaan negara yang dihasilkan dari sektor migas dan menyangkut semua pajak, royalti, dan biaya yang diterima dari sektor migas dan pertambangan.
“Jika Indonesia tidak transparan dan gagal dalam EITI, maka akan berpengaruh kepada iklim investasi di dalam negeri,” kata Fabby di Sekretariat EITI Indonesia, gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (4/5).
Di samping itu kata Fabby, dengan tidak berhasilnya Indonesia, maka itu akan menurunkan reputasi dan juga menurunkan rating Indonesia di mata dunia internasional.
“Reputasi akan turun, karena Indonesia dinilai cukup baik dengan tata kelola yang cukup baik, paling tidak dari persepsi global Indonesia cukup aktif untuk memperbaiki diri terhadap perbaikan dari aspek pemberantasan KKN,” ujar Fabby.
Fabby menambahkan, kegagalan dalam EITI juga banyak implikasi untuk agenda reformasi ke dalam. Dengan adanya EITI, maka adanya proses mengintegrasikan data yang telah diberikan mandat oleh rakyat sesuai pasal 33 UUD 1945.
“Jadi untuk berhasil, maka diperlukan laporan yang baik dengan tepat waktu, bila kita gagal maka bisa set-back ke belakang,” ungkap Fabby.
Untuk itu menurut Fabby, diperlukan koordinasi yang baik dari Kementerian Perekonomian sebagai pengarah pelaksana berdasarkan Peraturan Presiden No.26 Tahun 2010 dengan mendorong agar dapat mengimplementasikan dan agar dapat berjalan dengan baik.