JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyesalkan keputusan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang menolak usulan pemberian subsidi energi terbarukan untuk dianggarakan pada APBN 2017 oleh pemerintah.
Usulan subisidi energi terbarukan sebesar Rp 1,3 triliun awalnya dialokasikan untuk membayar selisih biaya pokok produksi PT PLN dengan tarif tenaga listrik dari pembangkit energi terbarukan.
“Seharusnya DPR dapat mengakomodasi usulan pemerintah dan meminta penjabaran mekanisme pemberian subsidi yang lebih transparan dari pemerintah sebelum menolak usulan subsidi tersebut,” tegas Direktur IESR, Fabby Tumiwa, melalui siaran tertulis, Rabu (21/9).
Fabby bilang, penolakan ini mengirim sinyal negatif kepada investor bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengembangkan energi terbarukan. Adapun dukungan fiskal dan non-fiskal untuk pengembangan energi terbarukan, diperlukan mengingat Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan energi terbarukan menyumbang 23% bauran energi primer tahun 2025.
Target ini setara dengan 46 Gigawatt (GW) kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan. Diperlukan tambahan 37 GW pembangkit energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang untuk memenuhi target KEN.
Di tengah-tengah kompetisi memperoleh investasi nasional dan global, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dan praktek selama ini dianggap belum mendorong daya saing.
Untuk itu, kata Fabby, IESR mendesak Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM, untuk merumuskan sebuah kebijakan fiskal dan non-fiskal yang komprehensif untuk mendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia. “Kebijakan fiskal berupa pemberian fasiltas bebas pajak (tax holiday) untuk pembangkit energi terbarukan, selama masa pengembalian investasi dan penghapusan bea masuk untuk impor peralatan dan komponen pembangkit energi terbarukan,” urainya.
Sumber: kontan.co.id.