Indonesia dan Norwegia Dorong Transisi Energi

Jakarta, 9 Juli 2024 – Indonesia dan Norwegia telah menetapkan target yang ambisius untuk transisi dan transformasi hijau. Kedua negara ini sangat penting dalam mewujudkan tujuan nol emisi di bawah Perjanjian Paris dan menjaga agar 1,5 derajat Celcius tetap dalam jangkauan.

Norwegia merupakan eksportir minyak dan pengekspor gas alam terbesar ketiga di dunia, menyumbang 2 persen dari produksi minyak mentah dunia dan 3 persen dari produksi gas alam global. Meskipun begitu, Norwegia memenuhi 92 persen kebutuhan listriknya dengan energi terbarukan, terutama dari tenaga air berdasarkan data Parlemen Eropa pada September 2023.

Menteri Bidang Energi Norwegia, Terje Asland, menegaskan bahwa perlu mengurangi emisi gas rumah kaca sembari memastikan ketersediaan energi yang cukup bagi populasi dunia yang terus bertambah. Tak hanya itu, Asland juga menekankan bahwa energi harus tersedia, terjangkau, dan memiliki emisi yang rendah. 

“Kami telah menjalin kerja sama energi dengan Indonesia sejak tahun 1995. Sebagai bentuk implementasi kerja sama tersebut, kami juga telah menggelar dialog bilateral antara kedua negara. Kami menghargai adanya kemitraan ini dan kami juga mencatat bahwa proses transisi energi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penggunaan hidrogen, teknologi penangkap dan penyimpan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS), atau pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB)  lepas pantai,” ujar Asland dalam Diskusi Tertutup Norwegia dan Indonesia yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Norwegia, Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), dan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Selasa (2/7/2024). 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan, proses transisi energi akan memiliki beberapa implikasi terhadap industri energi yang ada, baik risiko maupun peluang, terutama untuk bisnis minyak dan gas yang menyumbang sebagian besar dari pasokan energi primer dunia. Setidaknya ada tiga implikasi utama yang perlu diperhatikan.

“Pertama, menurunnya permintaan bahan bakar fosil. Dengan munculnya teknologi energi terbarukan serta berbagai sektor yang beralih ke sumber energi bersih, permintaan energi fosil diperkirakan akan menurun. Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA) berjudul Word Energy Outlook 2023, persentase bahan bakar fosil yang telah bertahan selama puluhan tahun di kisaran 80 persen, akan turun menjadi 73 persen per 2030,” papar Fabby. 

Lebih lanjut, Fabby mengatakan, kedua, adanya peningkatan regulasi dan tekanan dari pemerintah serta investor untuk mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah mengurangi emisi serta meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Fabby menegaskan, hal  ini termasuk pajak karbon, skema pengurangan emisi, subsidi untuk teknologi rendah karbon, serta larangan infrastruktur bahan bakar fosil baru dan standar lingkungan yang lebih ketat. Industri minyak dan gas harus mematuhi peraturan ini dan menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.

“Ketiga, transisi energi menuntut adanya inovasi dan adaptasi dalam teknologi dan model bisnis bagi bisnis energi. Ini berarti mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi terbarukan dan mengubah cara energi diproduksi, didistribusikan, disimpan, dan dikonsumsi. Industri minyak dan gas perlu merangkul inovasi dan memanfaatkan kompetensi serta aset untuk mengembangkan solusi dan layanan baru di pasar energi yang terus berubah,” kata Fabby. 

Andrea Scrabello, Kepala Manajemen Aset, Equinor menyatakan bahwa sistem energi global sedang mengalami transformasi. Transisi energi didefinisikan dengan restrukturisasi sistem energi untuk menyediakan energi yang cukup dan terjangkau dengan emisi karbon dioksida yang rendah. 

“Kami memiliki target untuk mengurangi karbon sekitar 20 persen pada tahun 2030. Dalam mendorong pengurangan karbon seiring transisi energi, kami memiliki beberapa strategi di antaranya mendorong pertumbuhan bernilai tinggi dalam energi terbarukan, serta menciptakan peluang solusi rendah karbon. Yang paling terpenting, diperlukan kerjasama dengan pemerintah, industri maupun institusi lainnya dalam mendorong transisi energi ini,” kata Andrea.

transisi energi, energi terbarukan, Norwegia, Indonesia, Net-Zero Emission, Perjanjian Paris, minyak dan gas, emisi karbon, teknologi karbon, energi bersih, investasi energi, perubahan iklim

Share on :

Leave a comment