JAKARTA– Tarif listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dinilai tidak menarik bagi investor. Sebab, dengan aturan itu harga listrik berbasis EBT ditetapkan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) listrik PT PLN (persero) di masing-masing wilayah.
Secara terinci, jika BPP wilayah yang akan dibangun pembangkit EBT lebih besar daripada BPP nasional maka harga diberlakukan 85% dari BPP setempat. Namun jika BPP wilayah yang akan dibangun pembangkit lebih kecil dari BPP nasional, harga yang diambil adalah sama dengan BPP wilayah setempat.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan, formula baru yang ditawarkan pemerintah itu tidak menarik bagi investor. Pasalnya, membangun pembangkit berbasis EBT, khususnya panas bumi membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit.
”Harga yang ditawarkan harus masuk akal bagi investor. Formula yang di tawarkan pemerintah tidak berimbang karena dari sisi aturan hanya menguntungkan PLN karena ditentukan berdasarkan BPP PLN. Padahal membangun pembangkit energi terbarukan seperti panas bumi memerlukan investasi yang tidak sedikit,” kata dia dalam diskusi bertajuk ”Mengungkap Fakta Pengembangan EBT” di Dewan Pers.
Dia mengatakan bahwa regulasi yang diterbitkan pemerintah seharusnya mengakomodasi keinginan pengembang. Penetapan harga menurutnya tidak hanya dilakukan oleh PLN, namun juga diberikan kesempatan bagi pengembang. Di samping itu, pemerintah juga semestinya memberikan daya tarik supaya sektor EBT dilirik pengembang, bukan sebaliknya. ”Sejauh ini pola yang diterapkan tidak ilmiah karena ditetapkan berdasarkan BPP PLN,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Dia menilai aturan baru yang mengatur harga maksimum listrik dari sejumlah energi terbarukan itu justru akan menghambat investasi di sektor EBT. Pasalnya dengan keluarnya regulasi tersebut subsidi tidak lagi diberikan kepada pengembang, di sisi lain pemerintah juga belum menyediakan skema insentif.
Menurut dia, seharusnya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu skema pemberian insentif kepada investor sebelum mengeluarkan aturan. Insentif itu, kata dia, dapat berupa suku bunga pinjaman rendah hingga pembebasan pajak.
”Ketentuan Permen ini tidak bisa dilepaskan dari insentif pemerintah khususnya mendorong biaya investasi yang tinggi mengembangkan energi terbarukan. Karena jika dilihat pengembang swasta ini harus masuk 60% untuk mengejar target (bauran energi) 23% pada 2025,” kata dia.
Dia membeberkan bahwa tren pertumbuhan energi baru terbarukan di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 1990-2010 dibandingkan dengan negara-negara lain yang secara masif menggenjot pertumbuhan EBT.
”Ini bisa dilihat bahwa listrik yang dihasilkan EBT itu walaupun besaran naik tapi persentase bauran energi justru turun,” tandasnya. Dia juga mengatakan jika dihitung dari BPP nasional maka aturan tersebut dianggap hanya akan mengembangkan potensi EBT di Indonesia bagian timur, namun menyulitkan pengembangan EBT di Indonesia bagian barat, khususnya di Jawa.
Dia menjabarkan, saat ini BPP nasional sebesar USD7,5 sen per kWh. Dengan asumsi kurs Rp13.300 per dolar AS, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akan dibangun di Papua dengan BPP wilayah mencapai USD13,67 sen per kWh listriknya akan dihargai USD11,61 sen per kWh.
Sementara jika dibangun di Jakarta dengan BPP USD5,37 sen per kWh, maka harga listriknya sesuai BPP di Jakarta. Hal itu berlaku untuk seluruh pembangkit berbasis energi baru terbarukan, kecuali pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Khusus untuk kedua jenis pembangkit tersebut, harga listrik maksimal setara dengan BPP PLN di wilayah pembangkit dibangun karena kedua jenis pembangkit memiliki risiko yang tidak dimiliki pembangkit energi baru terbarukan jenis lainnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa aturan baru tersebut ditujukan agar tarif listrik berbasis EBT menjadi lebih kompetitif. Dengan harga yang kompetitif, PLN pun wajib membeli listrik yang dihasilkan. ”Selama ini pengembangan EBT terhambat karena harga lebih tinggi dari BPP tadi. Dengan formula baru ini PLN wajib membeli seluruh listrik yang dihasilkan dari energi baru dan terbarukan,” kilahnya.
Sumber: okezone.com.