Kenaikan tahap kedua ini sudah pasti bakal membebani masyarakat lagi.
VIVA.co.id – Pemerintah telah memutuskan untuk mencabut subsidi listrik 18,9 juta pelanggan rumah tangga mampu dengan daya R-1 atau 900 volt ampere (VA) mulai 1 Januari 2017. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan anggaran subsidi listrik pada anggaran pendapatan dan belanja negara 2017 sekitar Rp20 triliun.
Berdasarkan data pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara, saat ini ada sekitar 23 juta pelanggan listrik rumah tangga 900 VA. Hanya 4,1 juta pelanggan yang dinilai masih layak mendapatkan subsidi listrik dan tidak mengalami kenaikan tarif.
Sedangkan sebanyak 18,9 juta pelanggan rumah tangga 900 VA lainnya dinilai sudah mampu untuk membayar tarif listrik dengan harga keekonomian. Sehingga Pemerintah memutuskan menaikkan tarif listrik pelanggan mampu 900 VA secara bertahap setiap dua bulan hingga mencapai harga keekonomian.
Berdasarkan skenario Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tarif listrik rumah tangga mampu 900 VA akan mengalami kenaikan pada 1 Januari 2017, 1 Maret 2017, 1 Mei 2017, dan pada 1 Juli 2017 akan disesuaikan tarifnya bersamaan dengan 12 golongan tarif lainnya setiap tiga bulan.
Kenaikan tarif listrik pelanggan rumah tangga mampu 900 VA tahap pertama telah dilakukan pada 1 Januari lalu. Kenaikan sekitar 35 persen dari Rp605 menjadi Rp790 per kilowatt jam (kWh) atau sebulannya tagihan listrik mencapai rata-rata Rp100 ribu.
Kenaikan tarif tahap kedua dilakukan mulai hari ini, Rabu 1 Maret 2017. Kenaikan sebesar 38 persen menjadi Rp1.090 per kWh dengan rata-rata tagihan Rp137 ribu per bulan.
Sedangkan, pada bulan Mei 2017, tarif listrik akan dinaikkan lagi sebesar 24 persen atau menjadi Rp1.352 per kWh, artinya tarif listrik per bulan mencapai Rp170 ribu bagi golongan 900 VA non subsidi. Asumsi ini ditetapkan oleh PLN, dengan rata-rata konsumsi listrik R-1 untuk rumah tangga mampu per bulan sekitar 126 kWh.
“Dicabut lagi subsidinya sebagian (Maret), tahap kedua, naiknya 30 persen,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa 28 Februari 2017.
Ia mengatakan, kenaikan tersebut dilakukan sebagai langkah untuk memastikan subsidi listrik yang lebih tepat sasaran. Subsidi itu akan dialihkan melalui pemerataan pembangunan infrastruktur listrik di beberapa wilayah.
“Januari 30 persen (naik), Maret 30 persen, Juni 30 persen. Jadi, setiap dua bulan,” ujar Jarman.
Jarman mengatakan, pihaknya melayani laporan, atau pengaduan bagi masyarakat yang merasa berhak mendapat subsidi. “Kalau ada yang komplain sudah ada lewat pengaduan, sebagian sedang diproses, mereka berhak, sebagian sedang dicek,” ujarnya.
Kepala Satuan Unit Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka mengonfirmasi perihal kenaikan tarif pelanggan mampu 900 VA. Diutarakannya, kenaikan tarif tersebut masuk dalam kajian pihaknya.
Diutarakannya, kenaikan tarif listrik itu merupakan akibat dari pencabutan subsidi bagi pelanggan 900 VA terhadap golongan mampu.
“Jadi yang 900 VA kenaikannya karena pengurangan subsidi. Jadi memang sudah diatur karena pengurangan subsidi. Dicatat, ini bukan kenaikan ya, kan enggak mungkin ngelawan Permen ESDM,” kata dia saat dihubungi VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 28 Februari 2017.
Belanja rumah tangga terkena imbas
Pencabutan subsidi listrik pada pelanggan daya 900 VA secara bertahap ini cukup membebani masyarakat, khususnya kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah. Sejumlah pelanggan PLN menyatakan kenaikan tarif listrik sebesar 30 persen turut menguras keuangan rumah tangga.
Imam Mudin (39), seorang pelanggan listrik daya 900 VA mengaku ikut terkena imbas pencabutan subsidi listrik. Biaya listrik bulanannya melonjak dari sebelumnya Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu, sejak kenaikan tarif listrik 900 VA pada Januari lalu.
“Saya pakai token listrik biasanya Rp50 ribu habis dalam seminggu, tapi sejak naik Januari lalu pakai lima hari sudah cepat habisnya. Dulu biaya listrik Rp150 ribu sebulan sekarang bisa Rp200 ribu sebulan,” ujarnya kepada VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 28 Januari 2017.
Pengemudi ojek online itu mengatakan kenaikan listrik tersebut sangat membebani keuangan keluarganya. Apalagi kenaikan tarif listrik terjadi bersamaan dengan kenaikan harga pangan, biaya perpanjangan surat kendaraan bermotor, dan ongkos angkutan.
“Kenaikan listrik sangat membebani, pengeluaran bertambah. Kita terpaksa mencari tambahan uang dan belanja makanan, akibat harga naik, sedikit dikurangi,” ucapnya.
Dia meminta pemerintah mempertimbangkan lagi kenaikan tarif listrik terutama untuk pelanggan tidak mampu seperti dirinya. Dia juga berharap kenaikan harga-harga pangan, listrik, bahan bakar minyak tidak dilakukan secara serentak.
Meski Kementerian ESDM sudah membuka posko pengaduan bagi pelanggan rumah tangga 900 VA yang keberatan tarifnya dinaikkan, Imam mengatakan belum mempertimbangkan untuk meminta keringanan. Keputusan itu berdasarkan pengalaman temannya yang tidak mendapat respons positif ketika melaporkan ke lembaga konsumen.
“Teman saya sudah melapor ke lembaga konsumen minta agar tarif listrik jangan naik, tapi tidak ada tindak lanjut. Katanya pemerintah naikkan tarif listrik, karena ingin mengurangi anggaran subsidi,” katanya.
Protes kenaikan tarif listrik pelanggan 900 VA juga disuarakan oleh Rio (28). Pegawai swasta ini keberatan dengan kenaikan tarif listrik sebesar 30 persen.
“Jelas memberatkan karena 30 persen kan tidak sedikit. Apalagi nanti terus dicabut secara bertahap sampai akhir tahun,” ujarnya.
Rio mengaku kini ia harus membayar tagihan listrik rata-rata Rp400 ribu per bulan. Akibatnya, ia pun terpaksa harus berhemat dan melakukan pengetatan anggaran untuk pengeluaran kebutuhan rumah tangga lainnya.
Dia berharap pemerintah dapat mengkaji kembali pencabutan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA. “Sarannya pemerintah kalau bisa kaji lagi pencabutan subsidi atau jangan langsung 30 persen, tapi kurang dari itu,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, mengatakan kenaikan tarif listrik pelanggan 900 VA dipastikan turut mengerek belanja rumah tangga. Pengeluaran belanja untuk listrik akan terdongkrak naik karena tagihan meningkat.
Porsi belanja listrik mencapai lima sampai enam persen dari total belanja rumah tangga. Meski porsi tidak terlalu besar, namun kenaikan tagihan listrik akan menyebabkan masyarakat harus memangkas sejumlah biaya non esensial, seperti pulsa telepon dan rokok.
“Kalau ada dampak pada masyarakat yang pendapatannya tidak naik, mereka harus mengurangi biaya yang tidak esensial, seperti pulsa telepon dan rokok. Pola belanja rumah tangga akan berubah, ” ujarnya di Jakarta kepada VIVA.co.id, Selasa 28 Februari 2017.
Pemerintah perlu mewaspadai dampak kenaikan tarif listrik, karena kelompok 900 VA dari kalangan pekerja informal dan kelas menengah bawah. Dampak ekonomi terhadap mereka harus diperhatikan jangan sampai belanja rumah tangga akan terganggu.
“Tidak semua dari 18,9 juta pelanggan 900 VA mampu, mungkin saja ada secara finansial tidak mampu. Ini yang harus diperhatikan, mereka harus diperhatikan pemerintah apakah mereka bisa menerima subsidi listrik,” ujar Fabby.
Picu inflasi
Kenaikan tarif listrik 900 VA sebesar 30 persen setiap dua bulan selain dinilai memberatkan masyarakat, juga turut memicu inflasi. Kenaikan tarif listrik 900 VA pada tahap pertama mendongkrak inflasi nasional pada bulan Januari lalu.
Badan Pusat Statistik melaporkan kenaikan harga bahan bakar minyak, dan tarif listrik 900 VA berkontribusi pada lonjakan inflasi nasional sebesar 0,97 persen, pada Januari 2017. Akibatnya tidak ada satu pun kota dari 82 kota indeks harga konsumen, yang disurvei BPS, mengalami deflasi.
“Tarif listrik kita tahu ada pencabutan subsidi bagi sebagian pelanggan 900 VA, ini andilnya sekitar 0,19 persen untuk 900 VA,” kata Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara, menilai kenaikan tarif listrik mencapai 30 persen tergolong sangat tinggi dan membebani masyarakat. Dirinya mempertanyakan apakah hal tersebut sudah berdasarkan kajian yang tepat.
Kenaikan yang dimaksud, kata dia, adalah kenaikan yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Dengan melihat kondisi ekonomi saat ini, kenaikan sebesar 30 persen dinilai tidak tepat.
“Kalau 30 persen itu bukan naik bertahap, gede banget itu segitu. Mampu enggak itu masyarakat, kondisi ekonomi kan kayak begini nih, kalau naik dalam keadaan ekonomi bagus itu enggak apa-apa,” ujar dia kepada VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 28 Februari 2017.
Sumber: viva.co.id.