Jakarta – Sudah 2,5 tahun pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjalan. Sejak era Jokowi, pembangunan infrastruktur digenjot, termasuk di sektor ketenagalistrikan.
Jokowi meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW pada Mei 2015 lalu. Setelah 2 tahun berlalu, dari 35.000 MW itu sebanyak 10.442 MW (29%) sudah masuk tahap konstruksi, lalu 639 MW sudah beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD).
Sementara 7.533 MW (21%) sedang dalam tahap perencanaan, 8.217 MW (23%) tahap pengadaan,8.806 MW (25%) sudah kontrak Power Purchase Agreement (PPA) tapi belum konstruksi.
Program 35.000 MW bukan proyek listrik berskala besar yang pertama. Sebelumnya ada Fast Track Program alias proyek listrik 10.000 MW. FTP terbagi menjadi 2 fase, yaitu FTP 1 pada 2006-2011 dan FTP 2 pada 2010-2014, masing-masing menargetkan pembangunan pembangkit hingga 10.000 MW dalam 5 tahun.
Hingga tahun 2014, FTP masih menyisakan banyak proyek pembangkit yang total dayanya mencapai 7.000 MW. Banyak juga proyek mangkrak yang jadi masalah di kemudian hari. Ada 34 pembangkit mangkrak yang sempat jadi sorotan.
Penyebab mangkraknya mulai dari persoalan lahan, kesalahan saat feasibility studies (FS), kontraktor pemenang lelang kehabisan uang di tengah jalan, perubahan kebijakan APBN, dan sebagainya.
Bagaimana dengan program 35.000 MW, apakah akan bernasib sama dengan FTP 1 dan 2?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai bahwa dari sisi perencanaan program 35.000 MW lebih baik. Dukungan dari pemerintah sekarang sangat kuat.
Pemerintah melakukan berbagai terobosan, terutama Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 (Perpres 4/2015) yang sangat membantu pembebasan lahan. Persyaratan untuk kontraktor di program 35.000 MW juga diperketat supaya tak ada lagi perusahaan abal-abal tak bermodal yang ikut lelang.
Dari sisi pendanaan juga program 35.000 MW lebih siap. PLN telah melakukan revaluasi aset, sehingga nilai asetnya naik dari Rp 600 triliun menjadi Rp 1.100 triliun. Kemampuan pendanaan PLN sekarang lebih kuat, ruang untuk memperoleh kredit perbankan juga makin besar.
“Kondisinya sekarang lebih bagus, perencanaan lebih baik. Pemerintah benar-benar komitmen. PLN juga dalam situasi pendanaan bagus, kalau dulu kemampuannya rendah sekali. Kalau secara persiapan, teoritis, bisa dibilang program 35.000 MW lebih baik dari FTP,” kata Fabby kepada detikFinance, Jumat (31/3/2017).
Tetapi untuk saat ini tentu sulit membandingkan capaian kedua program secara keseluruhan. Program 35.000 MW masih di tengah jalan. Hasilnya baru akan terlihat pada 2019.
“Ini kan masih 2,5 tahun lagi,” ujar Fabby.
Meski persiapan dan pendanaannya lebih baik dibanding FTP 1 dan 2, program 35.000 MW juga dapat dipastikan gagal mencapai target pada 2019. Pemerintah sendiri sudah menyadari hal ini, Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sudah pernah mengakui bahwa hanya sekitar 20.000 MW saja yang bisa selesai pada 2019.
Namun, untuk mencapai 20.000 MW pun tampaknya sulit. Sebagian besar dari 10.442 MW yang sudah mulai dibangun adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang rata-rata butuh waktu 4 tahun untuk dirampungkan. Fabby memprediksi yang bakal COD pada 2019 nanti kurang dari 20.000 MW, maksimal sekitar 19.000 MW.
“Hitung-hitungan saya (yang selesai 2019) di bawah 20.000 MW di 2019. Enggak semua yang sudah konstruksi sekarang itu masuk (COD) 2019,” kata Fabby.
Ia menjelaskan, banyak proyek-proyek besar seperti PLTU Jawa 5 berkapasitas 2.000 MW, PLTGU Jawa 1 yang kapasitasnya 1.600 MW, PLTU Sumsel 8 2×620 MW yang belum konstruksi. Ini membuat target yang sudah diturunkan hingga 20.000 MW pun susah dikejar.
Untuk mendapatkan tambahan pasokan listrik 20.000 MW di 2019, menurut Fabby, harusnya pembangkit yang sudah konstruksi sekarang sekitar 15.000 MW.
“Target di RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PLN yang baru ada tambahan 21.000 MW di 2019. Kalau mau target segitu harusnya yang sudah konstruksi sekarang di atas 15.000 MW,” paparnya.
Tapi tidak tertutup kemungkinan target di RUPTL sebesar 21.000 MW tercapai atau bahkan terlampaui. Pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) hanya butuh waktu 2 tahun saja.
Jika digenjot sekarang, lalu proyek-proyek PLTU juga dikebut, 20.000 MW bisa terlewati. Andai 20.000 MW itu tercapai, atau paling tidak melebihi 13.000 MW, jumlah pembangkit yang dibangun dalam 5 tahun program 35.000 Mw sudah melampaui 10 tahun FTP.
“Bisa saja lebih kalau ada yang diakselerasi. PLTG dan PLTGU hanya butuh waktu sekitar 2 tahun,” pungkasnya. (mca/ang)
Sumber: finance.detik.com.