Jakarta, KONTAN- Pelaksanaan Permen EDM No. 10/2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mendapatkan tantangan dari pengusaha pembangkit. Aturan ini mulai berlaku akhir Januari 2017. Dalam pasal 8 poin 2 menyebutkan risiko yang ditanggung badan usaha adalah terjadinya perubahan kebijakan/regulasi (government force majeure).
Pasal 8 itulah yang menyebabkan pinjaman dari bank tidak mudah terealisasi, akibat ketidakpercayaan bank nasional maupun internasional. Ketua Bidang Kebijakan Energi Baru dan Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butar-butar menyatakan poin 2 pasal 8 aturan itu menyebabkan bisnis ini menjadi tidak bankable di mata perbankan. “Si pengembang menanggung risiko akibat perubahan kebijakan pemerintah,” kata dia, dalam diskusi kelistrikan dengan Wakil Menteri ESDM di kantor ESDM, Selasa (9/5).
Paul menjelaskan apabila biaya investasi diturunkan dengan instrumen fiskal, mungkin masih bisa diterima. Tapi tanpa instrumen fiskal agak susah bagi pengembang ikut membangun pada kondisi yag sangat susah seperti sekarang ini,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengembang Listrik Pembangkit Tenaga Air (PLTA) Riza Husni menambahkan, banyak anggota asosiasi yang ditolak meminjam uang dari bank dalam negeri maupun luar negeri untuk membangun pembangkit energi terbarukan. Apalagi, pembangunan PLTA, kapasitas kecil, dibawah 10 megawatt (MW). “Kami sudah mencoba ke berbagai lembaga internasional. Tapi ada klausul di Permen 10 yang bikin bank tidak mau, klausul force majeure itu,” terangnya.
Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menilai, dalam Permen 10/2017, khususnya pasal 8 sangat berbeda dengan kebijakan infrastruktur yang tengah digenjot oleh pemerintah. Pasalnya, dalam aturan itu pengembang harus menanggung risiko karena ada perubahan kebijakan pemerintah.
Sementara Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyarankan, agar lebih mudah, pengembang bisa mengajukan kredit ke bank internasional. Mereka juga bisa memberikan bunga pembiayaan 2%. Jauh berbeda dengan bank nasional yang saat ini 10%-11%. “Jangan pakai bank lokal,” imbuh dia.
Terkait dengan Pasal 8 Permen No. 10/2017 Fabby bilang, force majeure itu ada untuk dua pihak yang menanggung karena ini merupakan risiko bisnis. “Kalau darurat bisnis dua-duanya kena, di sini disebutkan government force majeure. Ini wajar keadaan kahar,” tandasnya.