Jakarta, Media Indonesia. Kebutuhan lahan akan naik seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hal itu menjadi salah satu ancaman karena akan ada pengurangan tutupan kawasan hutan. Lahan hutan diprediksi akan semakin banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Indonesia memberikan target untuk pengurangan tutupan lahan tidak lebih dari 450 ribu hektare per tahun pasca-2030. Hal itu sebagai upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor lahan, alih fungsi lahan, serta kehutanan yang menjadi sektor utama dalam Dokumen Kontribusi Nasional yang Diniatkan (NDC).
“Dalam dokumen NDC kita targetkan agar pengurangan tidak lebih dari itu, bahkan kalau mau ambisius itu 325 ribu hektare per tahun,” ucap Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin saat ditemui Media Indonesia dalam peluncuran Brown to Green Report 2017, di Jakarta, Selasa (4/7).
Pengurangan tersebut, lanjut dia, tidak boleh berasal dari hutan alam dan harus masuk rencana pembangunan yang disepakati sehingga tidak ada lagi pengurangan tutupan kawasan hutan yang dilakukan secara ilegal.
Untuk itu, penguatan aspek hukum akan menjadi kunci utama menjaga angka tersebut. Selain itu, ada pula peningkatan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan produksi. Saat ini, lanjut Nur, angka pengurangan tutupan hutan yang pemerintah masukkan ke dokumen level referensi emisi hutan (FREL) dalam skema REDD+ masih di angka 920 ribu hektare per tahun hingga 2020. “Setelah itu kita tekan ke 820 ribu sebelum masuk skema pasca-2030 tersebut.” Lebih jauh, Nur menyatakan saat ini badan layanan umum (BLU) yang menurut rencana akan mengelola dana lingkungan hidup termasuk perubahan iklim masih terkendala pembentukannya. Hal itu berakibat pada mandeknya dana donor dari luar negeri yang menuntut adanya badan khusus pengelola dana perubahan iklim untuk Indonesia agar dana tersebut tidak masuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Kalau pakai mekanisme APBN itu tidak akan fleksibel karena nantinya yang mengakses dana tersebut tidak hanya pemerintah,” terang Nur.
Penguatan Hukum Tekan Deforestasi Rabu, 5 July 2017 03:05 WIB Penulis: Richaldo Y Hariandja richaldo@mediaindonesia.com ANTARA FOTO/FB Anggoro KEBUTUHAN lahan akan naik seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hal itu menjadi salah satu ancaman karena akan ada pengurangan tutupan kawasan hutan. Lahan hutan diprediksi akan semakin banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Indonesia memberikan target untuk pengurangan tutupan lahan tidak lebih dari 450 ribu hektare per tahun pasca-2030. Hal itu sebagai upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor lahan, alih fungsi lahan, serta kehutanan yang menjadi sektor utama dalam Dokumen Kontribusi Nasional yang Diniatkan (NDC). “Dalam dokumen NDC kita targetkan agar pengurangan tidak lebih dari itu, bahkan kalau mau ambisius itu 325 ribu hektare per tahun,” ucap Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin saat ditemui Media Indonesia dalam peluncuran Brown to Green Report 2017, di Jakarta, Selasa (4/7). Pengurangan tersebut, lanjut dia, tidak boleh berasal dari hutan alam dan harus masuk rencana pembangunan yang disepakati sehingga tidak ada lagi pengurangan tutupan kawasan hutan yang dilakukan secara ilegal. Untuk itu, penguatan aspek hukum akan menjadi kunci utama menjaga angka tersebut. Selain itu, ada pula peningkatan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan produksi. Saat ini, lanjut Nur, angka pengurangan tutupan hutan yang pemerintah masukkan ke dokumen level referensi emisi hutan (FREL) dalam skema REDD+ masih di angka 920 ribu hektare per tahun hingga 2020. “Setelah itu kita tekan ke 820 ribu sebelum masuk skema pasca-2030 tersebut.” Lebih jauh, Nur menyatakan saat ini badan layanan umum (BLU) yang menurut rencana akan mengelola dana lingkungan hidup termasuk perubahan iklim masih terkendala pembentukannya. Hal itu berakibat pada mandeknya dana donor dari luar negeri yang menuntut adanya badan khusus pengelola dana perubahan iklim untuk Indonesia agar dana tersebut tidak masuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Kalau pakai mekanisme APBN itu tidak akan fleksibel karena nantinya yang mengakses dana tersebut tidak hanya pemerintah,” terang Nur.
Sumber: Mediaindonesia.com.