Keresahan Sri Mulyani dan Beban Risiko Gagal Bayar Utang PLN

Keresahan Sri Mulyani soal kondisi keuangan PLN bukan tanpa sebab. Pendapatan yang tidak meningkat signifikan karena pertumbuhan penjualan listrik rendah dan tarif listrik yang tak naik, serta target program 35 ribu MW cukup membebani PLN.

Melalui surat kepada Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignasius Jonan, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjabarkan risiko gagal bayar utang PLN, karena kinerja keuangan menurun seiring besarnya kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang tak didukung pertumbuhan kas bersih operasi.

Dia menilai perlu penyesuaian target penyelesaian investasi PLN dalam penugasan proyek pembangkit 35 ribu MW dengan pertimbangan ketidakmampuan perusahaan memenuhi pendanaan investasi dari cashflow operasi.

Berdasarkan data laporan keuangan konsolidasi interim (tidak diaudit) PLN pada kuartai II 2017, total beban utang perusahaan listrik milik BUMN tersebut mencapai Rp 420,518 triliun. Angka itu membengkak dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 393,778 triliun.

Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai kekhawatiran Sri Mulyani soal beban keuangan PLN akibat program 35 ribu MW yang ditetapkan pemerintah pada 2014 wajar. Sebab, proyek itu disusun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 7% sesuai RPJMN.

Dalam proyek tersebut, PLN bertanggung jawab membangun 10 ribu MW pembangkit, transmisi sekaligus distribusi yang investasinya sangat besar. Sedangkan 25 ribu MW diserahkan melalui perusahaan listrik swasta atau independent power producer (IPP).

“Tapi begitu dieksekusi di 2015, dan kemudian pertumbuhan ekonomi 2015-2016 menunjukkan tidak bisa mencapai 7%,” kata Fabby saat ditemui di Hotel JW Marriot, Jakarta, Rabu (27/9/2017). Berdasarkan laporan BPS, pada 2015 pertumbuhan ekonomi RI hanya mencapai 4,7%.

Akibatnya, pertumbuhan listrik yang hanya mencapai sekitar 4 persen dari target 8 persen. Menurut Fabby, dengan kondisi tersebut seharusnya diambil langkah untuk meninjau kembali target proyek 35 ribu MW karena kebutuhannya sudah tidak sesuai dengan rencana awal.

“Artinya, IPP yang 25 ribu MW itu tidak perlu semuanya konstruksi. PLN yang 10 ribu MW mungkin juga enggak perlu konstruksi semua, dan pembangunan jaringan yang sekian ribu kilometer itu, yang kira-kira hampir Rp 300 triliun dianggarkan, itu tidak perlu juga dibangun sebanyak itu,” katanya.

Fabby mengaku sudah berkali-kali mengusulkan agar target 35 ribu MW tidak lagi dipatok harus 2019. Namun, dengan kondisi saat ini, yang jadi persoalan tidak hanya merevisi target, tapi juga masalah jenis dan kapasitas pembangkit yang akan dibangun.

Misalnya, dari total 35 ribu MW, pembangkit yang akan dibangun sebanyak 21 ribu MW adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dengan kondisi pertumbuhan yang sangat rendah, dia menilai sebaiknya tidak sebanyak itu dan harus dihitung ulang.

Menurut dia, jika pemerintah berkukuh mematok target 35 ribu MW, maka ada kemungkinan akan terjadi over supply di Jawa dengan reserve margin hingga mencapai lebih dari 40%.

“Di dalam konteks surat pernyataan dari Bu Ani (Menkeu Sri Mulyani, itu memang yang dikhawatirkan. Yang saya baca, dalam jangka pendek, revenue PLN tidak meningkat signifikan karena permintaan listriknya hanya tumbuh sekitar 2% di semester 1 kemarin, padahal ekspektasinya tumbuh 8%,” ujarnya.

Kondisi tersebut yang kemudian dinilai akan menggerus pendapatan PLN. Sebab, ada dua situasi sulit yang dihadapi perseroan. Pertama harga energi primer seperti BBM, batu bara, dan gas yang merangkak naik.

Kedua, surat-surat utang PLN yang dibuat sejak tahun 2006, beberapa di antaranya ada yang jatuh tempo pembayarannya pada 2008. Di sisi lain, investasi 35 ribu MW, khususnya untuk transmisi akan menimbulkan beban terlalu besar bagi keuangan PLN.

“Sementara Menteri ESDM sudah bilang bahwa tarif listrik tidak naik. Berarti potensi untuk menaikkan revenue tidak ada, termasuk menunda perbaikan subsidi untuk 450 VA. Tadinya kan diharapkan tahun depan itu subsidi 450 VA mulai dirasionalisasi, sehingga ada potensi tambahan revenue bagi PLN,” katanya.

Sumber: kumparan.com.

Share on :